1.Kisah Cinta Jaka Tarub dan Nawang Wulan
Jaka Tarub dan Nawang Wulan – Dahulu kala, hidup
seorang laki-laki yang hidup sendiri di sebuah desa. Laki-laki ini adalah Jaka
Tarub. Dulu jaka tarub hidup dengan ibu angkatnya yaitu Mbok Randa Tarub.
Sebelum ibu angkatnya meninggal, jaka tarub adalah anak yang rajin. Menggarap
sawah dan melakukan pekerjaannya untuk sang ibu. Mbok Randa begitu menyayangi
Jaka Tarub seperti anak kandungnya sendiri. Namun, setelah Mbok Randa
meninggal, Jaka Tarub merasa bimbang dan sedih. Sedih di tinggal oleh Ibunya,
sedih hidup sendiri dan bingung untuk siapa dia bekerja. Tidak ada seseorang
lagi yang menikmati hasil kerjanya.
Jaka tarub tidak lagi bersemangat bekerja sehingga
sawahnya terbengkalai. Suatu hari jaka tarub pergi berburu daging rusa. Dia
sangat berselera untuk memakan daging rusa, karena dimalamnya dia bermimpi
memakan daging rusa. Setengah hari sudah Jaka Tarub berburu, tapi tak ada
seekorpun rusa yang ditemuinya. Lelah mencari kesana-kesini, jaka tarub
beristirahat di bawah pohon. Bersama semilir angin, Jaka Tarub mendengar suara
tawa canda di telaga. Diapun menghampiri dengan rasa penasarannya.
Dilihatnya 7 wanita cantik sedang bermain air. Mereka
adalah 7 bidadari yang turun dari khayangan. Jaka Tarub begitu terpukau akan
kecantikan bidadari-bidadari itu. Disamping telaga, Jaka Tarub melihat 7
selendang milik bidadari-bidadari. Kemudian di ambillah satu dari 7 selendang.
Saat para bidadari hendak kembali kekhayangan, salah satu bidadari gelisah
karena selendangnya hilang. Selendang yang di ambil Jaka Tarub itu adalah milik
Nawang Wulan. Keenam bidadari yang lain
ikut mencari selendang milik Nawang Wulan, tapi tidak ketemu juga. Karena waktu
mereka sudah habis untuk bermain didunia, keenam bidadari kembali kekhayangan.
Disaat Nawang Wulan sendiri menangis dan meratapi nasibnya, Jaka Tarub menemui
Nawang Wulan dengan jantung berdebar-debar. Jaka Tarub saat itu merasa mendapatkan
cinta dari pasangan hidup nya dan
diajaknya ke rumah. Beberapa bulan kemudian mereka menikah dan melahirkan
seorang anak yang bernama Nawangsih.
Keberadaan Nawangsih di sampingnya, Jaka Tarub merasa
bahagia. Semangatnya hidup kembali, sawah yang terbengkalai kini dirawatnya
lagi dan mereka hidup bahagia. Suatu hari, Nawang Wulang hendak pergi kekali
dan perpesan kepada Jaka Tarub suaminya “Kakang, aku hendang ke kali, dan aku
sedang ememasak nasi, tolong jaga apinya tapi jangan sesekali membuka tutup kukusan
itu”. Setelah istrinya pergi, muncul rasa penasaran “ Apa yang ada di dalam
kukusan itu”. Dengan rasa penasarannya,
Jaka Tarub membuka tutup kukusan dan melihat setangkai padi didalamnya.
“Ternyata selama ini istriku memasak hanya dengan setangkai padi, bisa menjadi
satu kukusan penuh” kata jaka tarub dengan bergumam. Setelah istrinya kembali,
Nawang Wulan membuka tutup kukusannya dan setangkai padi tidak berubah. Nawang
Wulan tahu kalau kukusan telah dibuka oleh suaminya.Karena itu, Nawang Wulan
merasa sedikit kecewa dengan suaminya. Kini kekuatannya hilang dan harus
memasak seperti manusia normal. Hari demi hari, persediaan padi kini mulai
berkurang. Sampai sudah di saat persediaan padi tinggal sedikit, Nawang
Menemukan selendangnya di bawah tumpukan padi. Sekarang dia pun tahu bahwa yang
mencuri selendang itu adalah Jaka Tarub, suaminya.
Di pakai segera selendang itu dan menemui suaminya. “
Kakang, maafkan aku, aku harus kembali ke khayangan, jagalah anak kita
Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar rumah. Setiap malam taruh Nawangsih di
dangau itu dan aku akan kesana menyusuinya, tapi kakang janganlah mendekat.”
Setelah berkata demikian, kembalilah Nawang Wulan kekhayangan. Jaka Tarub tidak
ingin membuat orang yang dicintainya kecewa lagi. Dia menuruti perkataan
istrinya. Setiap malam Jaka Tarub hanya bisa memandangi Nawang Wulan yang
sedang bermain dengan Ibunya. Saat Nawangsih tertidur, Nawang Wulan kembali
kekhayangan. Terus dan terus begitu setiap malamnya sampai Nawangsih Besar.
Walau Nawang Wulan sudah tidak menemui anaknya lagi, tapi disaat Jaka Tarub dan
Nawangsih sedang kesulitan, sesuatu selalu ada untuk membantu mereka. Konon
Bantuan itu adalah Nawang Wulan. Disetiap malam di setiap waktu, Jaka Tarub dan
Nawangsih berharap orang yang disayanginya
kembali bersama mereka
.................................................................................................
2.Legenda Danau Toba
Di sebuah desa di
wilayah Sumatera, hidup SEOrang
petani. Ia SEOrang
petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa
mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya
usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di
suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai.
"Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar," gumam petani
tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya
terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang
indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat
dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. "Tunggu, aku jangan
dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku."
Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya,
ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu
berubah wujud menjadi SEOrang
gadis yang cantik jelita. "Bermimpikah aku?," gumam petani.
"Jangan takut pak, aku juga manusia
seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku
dari kutukan Dewata," kata gadis itu. "Namaku Puteri, aku tidak
keberatan untuk menjadi istrimu," kata gadis itu SEOlah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah
mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu
mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika
janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah
penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. "Dia
mungkin bidadari yang turun dari langit," gumam mereka. Petani merasa
sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk
mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet.
Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam
hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat
menjatuhkan keberhasilan usaha petani. "Aku tahu Petani itu pasti
memelihara makhluk halus! " kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai
ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan
semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petan dan
istri bertambah, karena istri Petani melahirkan SEOrang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera.
Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi SEOrang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis
tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang
tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga
dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat
jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak.
Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka.
"Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!" kata
Petani kepada istrinya. "Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda
memang SEOrang
suami dan ayah yang baik," puji Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada
batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat
tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja.
Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya,
sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera
sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya.
"Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !," umpat
si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya,
seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari
bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin
deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi
dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau.
Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di
tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.
3.Legenda
Rawa Pening (Cerita Dari Jawa Tengah)
Dahulu kala, warga
desa Ngebel terkejut melihat seekor ular yang sangat besar. Karena takut ular
itu akan menyerang mereka, warga desa beramai-ramai menangkap ular yang bernama
Baru Klinting itu. Setelah tertangkap ular itu dibunuh dan dagingnya disantap
dalam sebuah pesta. Hanya satu warga desa yang tidak mereka ajak menikmati
pesta itu, yaitu seorang nenek tua miskin bernama Nyai Latung.
Beberapa hari
kemudian muncul seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak
kumal dan tidak terawat, bahkan kulitnya pun ditumbuhi penyakit. Anak itu
mendatangi setiap rumah dan meminta makanan kepada warga desa. Namun tak
seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan
mencaci makinya.
Akhirnya ia tiba di
rumah yang terakhir, rumah Nyai Latung. Di depan rumah reot itu Nyai Latung
sedang menumbuk padi dengan lesung.
“Nenek,” kata anak
itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”
Nenek Latung
mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung
memandangi anak itu dengan iba. “Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma
punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau, nek. Nasi
saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek segera
mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk
anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.
“Siapa namamu, nak?
Di mana ayah ibumu?”“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau tinggal saja
di sini menemani nenek,”
“Terima kasih, nek.
Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang
baik hati kepadaku.”Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang
tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan
kepada Nyai Latung.
“Nek, nanti jika nenek
mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan selamat.”
Meskipun tidak
mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru Klinting masuk
ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang
lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.
“Ayo... siapa yang
bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak mengejek
Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada
yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba,
semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap
tidak ada yang berhasil.
Akhirnya Baru
Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas
menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras.
Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai
tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.
Nyai Latung
mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan
segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan
makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya
sudah mati tenggelam.
Setelah beberapa
lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung Nyai Latung
terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia yang selamat dari
banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.
Air tidak
seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang
sekarang disebut Rawa Pening. Rawa Pening terletak di daerah Ambarawa.
Rawa Pening luasnya
2670 hektare. Sekarang digunakan untuk pengairan dan budi daya ikan selain juga
menjadi tempat wisata. Enceng gondok yang memenuhi permukaannya digunakan untuk
bahan kerajinan dan keperluan lain. Sedangkan air sungai Tuntang yang berhulu
di danau itu digunakan untuk pembangkit listrik. Namun sekarang Rawa Pening
mengalami pendangkalan dan dikhawatirkan lambat laun akan lenyap bila tetap
dibiarkan seperti saat ini.
.......................................................................................................................................................................
4. Malin Kundang
Pada
suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki
yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga
memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang
dengan mengarungi lautan yang luas.
Maka
tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan,
dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke
kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk
mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering
mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang
mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka
tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah
beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang
mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri
seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah
menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda
kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin
kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju
dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin
Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan
bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan
diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang
berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak”,
ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata.
Kapal
yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan
Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang
ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah
perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak
laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh
bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal
tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya
tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin
segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin
Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin
Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa
tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah
sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar
adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja,
Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak
kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah
menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi
istrinya.
Berita
Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada
ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira
anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke
dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah
beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang
besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu
Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat
indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di
atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin
Kundang beserta istrinya.
Malin
Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat,
ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah
ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku,
mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk
Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan
pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri,
sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin
Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah
tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin
Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku
agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan
dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia
tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak,
ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia
anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang.
Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan
akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
.................................................................................
5. Cerita Rakyat: Legenda Ande Ande Lumut
Klething
Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya
mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh
Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.
Sementara
itu ibu janda mengajak ketiga anak gadisnya ke Dadapan untuk melamar Ande-Ande
Lumut. Di perjalanan mereka tiba di sebuah sungai yang sangat lebar. Tidak ada
jembatan atau perahu yang melintas. Mereka kebingungan. Lalu mereka melihat seekor
kepiting raksasa menghampiri mereka.“Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau
kuseberangkan?”
Mereka
tentu saja mau.“Tentu saja kalian harus memberiku imbalan.”“Kau mau uang?
Berapa?” tanya ibu janda.
“Aku
tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
Mereka
terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai
pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan
mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.
Sesampainya
di rumah mbok Randa, mereka minta bertemu dengan Ande-Ande Lumut.
Mbok
Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis
cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”“Ibu,” sahut
Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka, aku tidak mau mengambil kekasih Yuyu
Kangkang sebagai isteriku.”Ibu Janda dan ketiga anak gadisnya terkejut
mendengar jawaban Ande-Ande Lumut. Bagaimana pemuda itu tahu bahwa mereka tadi
bertemu dengan kepiting raksasa itu? Dengan kecewa mereka pun pulang.
Di
rumah, Klething Kuning sudah menyelesaikan semua tugasnya berkat bantuan bangau
ajaib. Bangau itu memberinya sebatang lidi.
Ketika
ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi
menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja
mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning.
Klething
Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar. Kepiting raksasa itu
mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya ke seberang sungai.
“Gadis
cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang
“Tidak
usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.
“Ayolah,
kau tak perlu membayar,” Yuyu Kangkang mengejarnya.”Cukup sebuah ci… Aduh!”
Klething
Kuning mencambuk Yuyu Kangkang dengan lidi pemberian bangau. Kepiting raksasa
itu pun lari ketakutan.
Klething
Kuning kemudian mendekati tepi air sungai dan menyabetkan lidinya sekali lagi.
Air sungai terbelah, dan ia pun bisa berjalan di dasar sungai sampai ke
seberang.
Klething
Kuning akhirnya tiba di rumah Mbok Randa. Mbok Randa menerimanya sambil
mengernyitkan hidung karena baju Klething Kuning bau kotoran ayam. Ia pun
menyilakan gadis itu masuk lalu ia pergi ke kamar Ande-Ande Lumut.
“Ande
anakku, ada seorang gadis cantik, tetapi kau tak perlu menemuinya. Bajunya bau
sekali, seperti bau kotoran ayam. Biar kusuruh ia pulang saja.”“Aku akan
menemuinya, Ibu,” kata Ande-Ande Lumut.“Tetapi… ia…,” sahut Mbok Randa.
“Ia
satu-satunya gadis yang menyeberang tanpa bantuan Yuyu Kangkang, ibu. Ialah
gadis yang aku tunggu-tunggu selama ini.”
Mbok Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande
Lumut menemui gadis itu.
Klething
Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji
Asmarabangun.
“Sekartaji,
akhirnya kita bertemu lagi,” kata Raden Panji.
Raden
Panji kemudian membawa Dewi Sekartaji dan Mbok Randa Dadapan ke Jenggala. Raden
Panji dan Dewi Sekartaji pun menikah. Kerajaan Kediri dan Jenggala pun
dipersatukan kembali.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
6.Timun mas
Cerita Rakyat Jawa Tengah
Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang
suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup
bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.
“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.
Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.
Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.
“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.
Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.
Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.
Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.