Translate

Sabtu, 31 Agustus 2013

Resensi Buku Kls IX/1


Resensi Buku   IX/1
TUGAS BAHASA INDONESIA  PENGERTIAN RESENSI DAN CONTOHNYA "

A.    Pengertian Resen. jika dari bahasa Latin,  revidere  (kata kerja) atau recensie. Artinya “melihat kembali, menimbang, atau menilai.” Tindakan meresensi mengandung “memberikan penilaian, mengungkapkan kembali isi pertunjukan, membahas, dan mengkritiknya.”
Dalam buku Bahasa dan Sastra Indoneisa (yang ditulis Euis Sulastri dkk) Istilah resensi berasal dari bahasa Belanda,  resentie, yang berarti kupasan atau pembahasan. Jadi, pengertian resensi adalah kupasan atau pembahasan tentang buku, film, atau drama yang biasanya disiarkan melalui media massa, seperti surat kabar atau majalah.
Pada Kamus Sinonim Bahasa Indonesia disebutkan bahwa resensi adalah pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan buku. Akhir-akhir ini, resensi buku lebih dikenal dengan istilah  timbangan buku.
Apa sih tujuan Resensi Buku itu?
adalah memberi informasi kepada masyarakat akan kehadiran suatu buku, apakah ada hal yang baru dan penting atau hanya sekadar mengubah buku yang sudah ada. Kelebihan dan kekurangan buku adalah objek resensi, tetapi pengungkapannya haruslah merupakan penilaian objektif dan bukan menurut selera pribadi si pembuat resensi. Umumnya, di akhir ringkasan terdapat nilai-nilai yang dapat diambil hikmahnya.
Pembuat resensi disebut resensator. Sebelum membuat resensi, resensator harus membaca buku itu terlebih dahulu. Sebaiknya, resensator memiliki pengetahuan yang memadai, terutama yang berhubungan dengan isi buku yang akan diresensi.

Ada beberapa syarat untuk meresensi (membuat resensi) buku
1.      Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit, dan tebal buku.
2.      Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi pengarang,    
         atau hal yang berhubungan dengan tema atau isi
3.      Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut.
4.      Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan.

Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. Yang akan kita bahas pada buku ini adalah resensi buku. Resensi buku adalah ulasan sebuah buku yang di dalamnya terdapat data-data buku, sinopsis buku, bahasan buku, atau kritikan terhadap buku.

Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.

Ada yang berpendapat bahwa minimal ada tiga jenis resensi buku.

1. Informatif, maksudnya, isi dari resensi hanya secara singkat dan umum dalam menyampaikan keseluruhan isi buku.
2. Deskriptif, maksudnya, ulasan bersifat detail pada tiap bagian/bab.
3. Kritis, maksudnya, resensi berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.

Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Alhasil, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.

B. Unsur-unsur Resensi

Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:

1. Membuat judul resensi

Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.

2. Menyusun data buku

Data buku biasanya disusun sebagai berikut:
a. judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan judul aslinya.);
b. pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku.);
c. penerbit;
d. tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa);
e. tebal buku;
f. harga buku (jika diperlukan).

3. Membuat pembukaan
Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
a. memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh;
b. membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain;
c. memaparkan kekhasan atau sosok pengarang;
d. memaparkan keunikan buku;
e. merumuskan tema buku;
f. mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku;
g. mengungkapkan kesan terhadap buku;
h. memperkenalkan penerbit;
i. mengajukan pertanyaan;
j. membuka dialog.

4. Tubuh atau isi pernyataan resensi buku

Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:

a. sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis;

b. ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya;

c. keunggulan buku;

d. kelemahan buku;

e. rumusan kerangka buku;

f. tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit);

g. adanya kesalahan cetak.

5. Penutup resensi buku


Bagian penutup, biasnya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.









Resensi Buku Pengetahuan : Telaah Kualitas Air


Judul       : Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan
Penulis   : Hefni Effendi
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 2003
Tebal      : 258 halaman

    Buku non fiksi karya Hefni Effendi ini memuat berbagai macam pengetahuan dan penjelasan tentang air. Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Pesatnya laju pembangunan di negara kita telah menyebabkan menurunnya kualitas air yang ada. Kondisis ini menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. Sehingga diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara seksama. Tetapi minimnya pengetahuan tentang kualitas dan pengelolaan air menyebabkan usaha ini tidak berjalan secara maksimal.

    Buku ini tidak hanya membahas tentang tingkatan kualitas air tetapi juga membahas banyak hal menarik lainnya. Seperti misalnya karakteristik air, bagaimana sifat air secara umum dan siklus hidrologinya. Karakteristik badan air yang meliputi air permukaan dan air tanah. Buku ini membahas secara rinci tentang parameter-parameter kualitas air, khususnya parameter fisika dan kimia. Buku ini juga membahas tentang ion-ion yang dapat terkandung di dalam air serta bentuk-bentuk pencemaran yang dapat terjadi.

    Seperti yang sudah disebutkan di atas, buku ilmu pengetahuan ini ditulis oleh Hefni Effendi. Beliau merupakan dosen tetap pada Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Selain sudah menyelesaikan program master pada The University of Sheffield, Inggris, beliau juga telah banyak mengikuti berbagai pelatihan dan seminar tentang pengelolaan, perairan, dan pengelolaan limbah, baik sebagai pembicara maupun sebagai peserta sehingga sudah pasti beliau memiliki segudang pengalaman dan pengetahuan yang dapat dibagikan lewat buku Telaah Kualitas Air ini.

    Selain dapat menambah pengetahuan, kelebihan lain dari buku ini yaitu bahasa yang digunakan jelas dan mudah dipahami serta dapat menjelaskan hal-hal yang sulit dengan kalimat yang mudah dimengerti. Selain itu, buku ini juga mengandung berbagai macam rumus kimia dan fisika yang disertai pula dengan contoh-contoh soalnya yang membuat kita dapat memahami rumus tersebut. Susunan isi buku pun sangat terstruktur dan bertahap sehingga antara satu bagian dengan bagian yang lain terdapat kesinambungan yang jelas.

    Tetapi, buku ini merupakan buku yang berat untuk dibaca oleh anak-anak maupun remaja sekolah (SMP ataupun SMA), karena isinya merupakan gabungan dari teori kimia, fisika dan biologi serta merupakan satu kesatuan yang kompleks yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sehingga walaupun bahasa yang digunakan jelas dan lugas tetapi secara keseluruhan buku ini memuat suatu topik yang berat untuk dipahami oleh anak-anak usia sekolah. Selain itu buku ini hanya berisi pengetahuan-pengetahuan tentang kualitas air dan pencemaran air tetapi tidak terdapat cara-cara untuk menjaga kualitas air dari pencemaran sehingga tidak terdapat solusi dalam mengatasi masalah pencemaran air ini.

    Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, buku ini tetap memiliki ketertarikan tersendiri dan merupakan sumber informasi yang sangat lengkap dan akurat yang mungkin tidak dapat ditemukan pada buku-buku yang lain. Bagaimanapun juga, air merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam kehidupan makhluk hidup sehingga sudah sepantasnya kita menjaga dan melestarikan air dari berbagai pencemaran dengan terlebih dahulu mengenal sifat dan karakter dari air itu sendiri.



CONTOH RESENSI
ERAGON
Judul Buku : Eragon
Pengarang : Christopher Paolini
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 568 halaman
Christopher Paolini sangat menyukai kisah-kisah fantasi dan fiksi ilmiah. Ia menulis novel pertamanya, Eragon, selepas lulus SMU pada usianya yang kelima belas. Sekarang ia tinggal bersama keluarganya di Paradise Valley, Montana, Amerika Serikat. Ia menjadi penulis terlaris di New York Times ketika berumur Sembilan belas. Pada awalnya, ia merencanakan membuat tiga buku saja, namun karena kerumitan buku ketiga, menjadi lebih tebal daripada yang ia perkirakan, maka ia memperpanjang kisah Eragon menjadi empat buku. Trilogi Warisan menjadi siklus Warisan.
Sinopsis
Di daratan Alagaesia, hiduplah Klan Penunggang Naga dengan naga-naganya, yang senantiasa menjaga ketentraman kehidupan daratan Alagaesia. Negeri pun mengalami masa kejayaan. Namun, Klan Penunggang Naga punah karena salah seorang berkhianat dan membujuk Penunggang-Penunggang lain mengikuti jejaknya. Maka pertumpahan darah antar penunggang pun terjadi, dan Kaum Terkutuk (penunggang yang berkhianat) memenangi pertarungannya. Sang pengkhianat bernama Galbatorix, yang sekarang menjadi raja Alagaesia. Ia memerintah dengan kejam, sehingga beberapa orang yang setia pada klan Penunggang memberontak dan membentuk kelompok Varden. Galbatorix memiliki 3 butir telur naga, yang ia tunggu bertahun-
tahun untuk menetas di bawah kekuasaannya, sehingga 3 orang Penunggang baru akan menjadi anak buahnya. Sayangnya, salah satu telur berhasil dicuri para Varden. Arya, wanita elf, merupakan salah satu dari yang terlibat pencurian telur naga dari Galbatorix, berniat membawanya ke Varden, kelompok berbagai ras yang menentang Galbatorix. Disergap oleh Durza, Shade. Dan Arya pun dengan sihir memindahkan telur tersebut ke Pegunungan Spine. Arya ditahan oleh Durza, dan dijadikan tawanan di Gil’ead. Eragon, anak petani berusia lima belas tahun yang tinggal di Carvahall, terkejut ketika menemukan batu biru mengilap di pegunungan Spine ketika sedang berburu. Eragon membawa batu itu ke pertanian tempat ia bersama pamannya, Garrow, dan sepupunya, Roran. Garrow dan alhmarhumah istrinya, Marian yang membesarkan Eragon. Selena, ibu Eragon adalah saudara Garrow yang menitipkan anaknya, Eragon untuk tinggal bersamanya, dan ia pergi karena suatu hal. Tidak ada yang
tahu soal ayahnya. Roran yang usianya sebentar lagi genap akan dijadikan tentara oleh kerjaan,
memutuskan untuk pergi merantau dan pergi dari Carvahall agar tidak dijadikan tentara kerajaan.
Beberapa hari kemudian, batu itu menetas dan didapati bahwa batu tersebut merupakan telur naga. Ketika Eragon menyentuh anak naga betina itu, di telapak tangannya muncul tanda berwarna keperakan, dan terbentuk ikatan tak terputuskan antara Eragon dengan naga itu. Naga itu bernama Saphira. Galbatorix yang mengetahui kehilangan telur itu, memberikan tugas kepada Shade untuk mencari batu yang dulu merupakan telur Saphira. Ia mengingat ramalan kaum Varden bahwa waktu bagi penunggang naga akan tiba, dan Galbatorix akan ditantang dan dikalahkan pada suatu saat. Durza pun memanggil dua Ra’zac, makhluk asing berpenampilan bengis dan tiba di Carvahall, Eragon dan Saphira berhasil menghindari mereka, tetapi kedua Ra’zac menghancurkan rumah Eragon dan membunuh Garrow. Eragon bersumpah akan mencari dan membunuh Ra’zac. Bersama brom, pendongeng Carvahall, Eragon dan Saphira menuju selatan untuk bergabung dengan kaum Varden. Selama perjalanan, Eragon belajar bertarung dan
menggunakan sihir.. Brom memberinya pedang merah bernama Zar’roc, yang dulu merupakan pedang Penunggang Naga, walaupun si pendongeng itu tidak mau mengatakan bagaimana ia bisa memperolehnya. Mereka pun mengunjungi kota Teirm, membeli perbekalan. Eragon diramali oleh ahli tanaman obat, Angela bahwa peperangan dekat di depan mata. Lewat mimpinya Eragon mengetahui bahwa Arya berada di Gil’ead, dengan segenap keberanian ia berniat untuk membebaskan Arya. Eragon bertemu dengan Shade, ketika Shade hendak membunuh Eragon, Brom datang untuk menyelamatkan Eragon dan ia pun terkena tusukan dari pedang Shade. Dengan bantuan Murtagh, Eragon melarikan dri dari penjara sambil membawa Arya dan Brom. Arya telah diracun dan butuh bantuan medis dari kaum Varden segera. Brom sekarat dan akhirnya meninggal. Ia dikuburkan dengan sihir oleh Saphira. Eragon dan Saphira pun mendapati bahwa Brom adalah penunggang pula.
Naganya dibunuh oleh Morzan, salah satu kaum terkutuk. Dikejar segerombolan Urgal, mereka melarikan diri ke Varden. Sesampainya di Varden, Eragon memperkenalkan diri kepada Ajihad, pemimpin Varden sebagai penunggang dan menunjukkan naganya. Arya segera diobati oleh kaum Varden, dan Murtagh dipenjara, karena keturunan Morzan, yang merupakan kaum terkutuk
atau sekutu Galbatorix. Morzan terbunuh oleh Brom. Murtagh, secara tidak berhasil meyakinkan bahwa ia mencela perbuatan ayahnya dan meninggalkan Galbatorix untuk menjalani hidupnya sendiri. Durza menggalang kekuatan seluruh pasukan Galbatorix untuk menyerang Varden.
Pasukan Galbatorix datang melalui terowongan-terowongan kurcaci. Pertempuran terjadi. Durza yang sedemikian kuat, dengan mudah membuat kewalahan Saphira dan Eragon. Namun akhirnya Eragon mendapatkan saat yang tepat untuk menikam jantung Durza. Pertarungan pun dimenangi oleh kaum Varden. Ketika Eragon sadarkan diri, Arya tengah di perjalanan menuju Ellesmera, ibukota para elf. Eragon secara telepatis dihubungi sosok yang menyebut diriinya sebagai Togira
Ikonoka-si Cacat yang Utuh. Di akhir buku ini, Eragon memutuskan bahwa ia akan menemukan Togira Ikonoka ini dan berguru kepadanya.
Tetralogi buku Eragon sangat menarik untuk dibaca, memberikan inspirasi bagi para pembacanya. Bertemakan petualangan, buku Eragon mengombinasikan sihir dengan perang tradisional. Penulis benar-benar memiliki konsep yang kuat, imajinasinya tinggi menjadikan cerita yang fiksi menjadi terlihat lebih nyata.
Penulis ahli dalam mendeskripsikan secara rinci setiap kejadian dan setiap tokoh, memberikan gambaran yang jelas akan apa yang ada dan yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Menggunakan alur maju mundur, menjadikan semua yang terkandung di dalamnya penting dan terlihat kesinambungannya di akhir cerita. Latar cerita ini ada di daratan Alagaesia, namun tidak disebutkan waktunya (tahun). Eragon merupakan tokoh yang protagonis, terlihat dari sikap-sikapnya yang baik dan ingin membela semua rakyatnya. Durza bersifat antagonis, sama seperti Galbatorix, yang mengedepankan kepentingan diri sendiri dan ingin menguasai seluruh Alagaesia di kekuasaan tangannya. Murtagh merupakan orang yang semula protagonis, walaupun ayahnya merupakan tokoh yang antagonis. Kekurangan pada buku ini, walaupun setiap kejadiannya dideskripsikan secara rinci, namun kejadian tiap harinya, seperti apa yang seorang tokoh makan dan apa yang seorang tokoh minum, tidak dijabarkan seperti pada novel-novel lain. Tokoh Eragon sangat mendominasi dan terkesan sangat hebat juga tak terkalahkan, jarang sekali terjatuh, dan hampir selalu berhasil dan menjadi pemenang dalam setiap konflik
atau pertarungan. Kita dapat mengambil amanat dari buku ini bahwa, jadilah pemain, jangan hanya menjadi penonton. Inisiatif ketika mendapatkan masalah dan utamakan kepentingan warga dibandingkan dengan kepentingan pribadi masing-masing.


Nama : Megawati
Kelas : 3ea 10
NPM : 10208791
Tugas : Bahasa Indonesia


Majalah Bakti, No. 263 THXX Mei
MENELADANI KEPEMIMPINAN YORITOMO


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg4J-Iwk_uogUR8ItWr_TxgkCzU5xQv-RdsRp0KE0-fjvABEZJk4SOBDF4bNzduQQPdlNNKyeVDi7kLRFauo82U8qEW7VhniFMjP9U6d0JOmjH7WdnLcsZa1PAuR8D9FLyyvTwKxwHUnzh1/s1600/gambar+buku+minamoto+no+yoritomo.jpg

Judul            : Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira
Penulis          : Eiji Yoshikawa
Penerbit        : Kansha Books, Jakarta
Cetakan        : I, Januari 2013
Tebal            : 394 halaman
ISBN            : 978-602-97196-7-3

Kekalahan Klan Minamoto oleh Klan Taira pada perang Heiji masih menyisakan luka yang sangat mendalam. Namun, kondisi negeri saat ini sangat terpuruk akibat keserakahan klan Taira. Tidak sedikit rakyat yang geram atas kepemimpinan klan Taira. Kondisi itu menguntungkan Yoritomo yang ingin melakukan balas dendam dengan menjatuhkan Taira no Kiyomori.
Buku kedua dari dwilogi Minamoto no Yoritomo merangkai perjalanan sejarah yang tidak akan dilupakan oleh klan Minamoto. Tibalah waktunya bagi Klan Minamoto untuk melakukan balas dendam atas klan Taira yang sudah meruntuhkan puing-puing klan Minamoto.

Kemewahan dan keserakahan akan menghancurkan segala hal yang sudah dicapai. Sejarah mencatat, tidak sedikit kerajaan yang terpecah-belah, bahkan mengalami kehancuran, disebabkan oleh penguasa yang serakah. Inilah kisah detik-detik kehancuran dinasti Taira yang sedang berada di atas awan.
Bagaimana tidak, jika digambarkan ada 100 orang, yang sangat takut kepada Nyuudou Kiyomori adalah 100 orang. Sedangkan orang yang membenci Nyuudou mencapai 90 orang atau lebih dalam 100 orang. Hanya sebagian kecil yang tak membenci Nyuudou karena sudah mengenal kepribadiannya. mereka menginginkan  Nyuudou tetap menjabat dan memerintah secara riang. (Halaman 23).
Salah satu kharisma dari Yoritomo adalah ketika dia dan pasukannya mengalami kekalahan saat perang di gunung Ishibashi. Tentara yang tidak seimbang menjadi penyebab utama kekalahan bagi pasukan Yoritomo. Yakni klan Minamoto hanya berjumlah 300 orang, sedangkan pihak Taira lebih dari 3.000. Walaupun mengalami kekalahan dari klan Taira, Yoritomo dengan gaya kepemimpinannya yang kharismatik membuat semua prajurit tetap dalam api yang berkobar.
Yoritomo terlahir sebagai rakyat jelata, tanpa harta tanpa dara penguasa, dan seroang anak yang diasingkan ke Izu. Dia malah dapat memahami buruknya keadaan dan dapat melihat harapan tersebut. Dia sungguh-sungguh berimpati atas semgant revolusi mereka daripada seorang pribadi. (halaman 97). Dengan itulah banyak yang ikut berpartisipasi dan bergabung dengannya untuk menggulingkan klan Taira.
Sebagai seorang pemimpin, Yoritomo sangat memiliki karakter yang tegas dan teguh pendirian serta disiplin. Bahkan, ketika bala bantuan sebanyak 20.000 pasukan datang terlambat, dengan tegas dia mengatakan, “Pasaukan 20.000 orang, bahkan seratus ribu orang pun tak ada gunanya jika terlambat. Keterlambatan adalah larangan pertama bagi kaum ksatria…” (halaman 145).
Namun kharisma itu tidak memudar dari sosok Yoritomo. Pasukan itu tetap setia menunggu sampai kemarahannya reda. Bahkan, kabar ada bala bantuan ini sampai ke telinga Nyuudou Kiyomori. Setiap kali informasi baru, jumlah pasukan Yoritomo terus bertambah.
Harapan Yoritomo untuk dapat menggulingkan klan Taira bertambah besar setelah dirinya bertemu dengan adiknya setelah 20 tahun berpisah. Minamoto no Kurou Yushitsune dialah anak bungsu dari mendiang Yoshitomo yang terpisah dengan saudaranya saat kerusuhan Heiji.
Kegagahan yang sudah dicapai tidak terlepas dari peran adiknya, Kurou Yoshitsune. Merasa siap, Yoritomo menunjuk adiknya, Yushitsune, untuk memimpin peneyerbuan ke ibukota. Keberhasilan Yoshitsune menguasai ibukota membuat prajurit dan mantan Kaisar semakin mencintainya. Hal tersebut membuat Yoritomo ingin menyingkirkan sang adik.
Di sisi lain, klan Taira siap merebut kembali Ibukota, dan hanya Yoshitsune yang menjadi harapan klan Minamoto. Eiji Yoshikawa memang piawai dalam menghasilkan karya dengan genre fiksi sejarah. Buku kedua ini mengajak kita untuk menyelami jiwa pemimpin pada diri Yoritomo yang berapi-api dalam membela kedaulatan rakyatnya. Di samping menyelami jiwa samurai dalam diri Yoshitsune, yang pandai dalam membuat strategi perang.
Jerih payah selama ini menghasilkan wilayah timur sampai Hitachi dan Shinano tunduk kepada Yoritomo. Tapi Fujiwara no Hidehiradi Oushu belum menyatakan akan memihak klan Minamoto. Apalagi wilayah Barat dari Sagami, seluruhnya masih di bawah kekuasaan klan Taira. (halaman 214). Buku ini menjawab rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat membaca buku pertama. Silahkan untuk disimak dalam buku Minamoto no Yoritomo II yang diterbitkan dan ditermahkan oleh Penerbit Kansha (Mahda) Books.
Karakter Yoritomo yang tegas dan kuat dalam membawa pasukannya ke pintu gerbang pencerahan patut dijadikan tauladan. Begitu juga dengan prinsip-prinsip ksatria yang terdapat di dalamnya. Yakni ksatria harus menjadi teladan bagi rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Selain tidak melupakan introspeksi diri dan keadaban. Itulah yang diajarkan Yoritomo kepada semua pasukannya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6rgwkLpesnpbAMa2X0lrV6IfqYKYHzfyBQxDkaAry5uoXspP-_vXCtAAQHw9bM_NEItjdTXi3O8iumx5wzOaMknDM98QSSrOQqjWDAPGPosOnkxN1YSq7WgoXmp2DWIMaZXsQlYzF2Lxg/s1600/Resensi+Minamoto_Majalah+Bhakti+No.+263+THXX+.jpg
Eiji mengajak para pembaca untuk menyelami kembali sejarah kerajaan Jepang melalui karya sastra. Buah tangan yang satu ini menghadirkan tokoh yang memiliki jiwa pemimpin pada diri Yoritomo, dan jiwa ksatria pada Yoshitsune. Yoshitsune memang dikenal sebagai ksatria yang memiliki strategi dan kecerdasan luar biasa dalam berperang. Keduanya mengjarkan pembaca untuk tidak mencampuradukkan antara masalah pribadi atau keluarga dengan masalah kepentingan umum. Setiap karya Eiji Yoshikawa memang menghadirkan kisah-kisah yang sarat dengan nilai historis. 
 Segala kekurangan yang ada dalamnya, tetap membuat buku ini layak untuk dibaca, terutama bagi yang concerndalam novel sejarah. Penyajiannya sangat berwarna, mulai dari aspek ketegangan, kesedihan, sampai lelucon yang akan menyelingi pembaca dalam menelusuri setiap lembarnya.
Karena dari buku ini kita belajar tentang keberanian, kedisiplinan, kesetiaan, etika berperang, menjadi pemimpin yang inspiratif dan bangkit dari keterpurukan. Selain, tentunya saja belajar tentang sejarah Jepang


Angkringan Warta on Friday, February 22, 2013


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitDlAqo8V01jnOgWRuKzLnOBK3QB5rUbAP2azOhQh_CJatC9CEMy13L0RuPFcrLhTWzMPSqyxeDks4CRueN5bzA36JUpoheNtsZ6XA3ozUYAni6x_QquViXl4b0rKXSYczYvHfVq4zef0f/s320/Cover-Buku-Gadis-Pakarena-Khrisna-Pabichara.jpg

Judul            : Gadis Pakarena
Penulis          : Krisna Pabichara
Penyunting   : Salahuddien Gz
Penerbit        : DolphinJakarta
Cetakan        : I, 2012
Tebal            : 250 Halaman
ISBN            : 978-979-17998-6-7

Kebudayaan merupakan hasil karya, cipta dan karsa manusia. Budaya memberikan warna yang beragam bagi kehidupan manusia. Tapi ketika hasil karya, cipta dan karsa itu dilandasi oleh  sifat kelaki-lakian, maka lahirlah budaya patriarkhi.
Jika boleh kita bagi, budaya itu ada yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan tidak. Budaya yang yang perlu diperhatikan adalah budaya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan justru budaya yang mengesampingkan keadilan, kesetaraan dan penghargaan atas hak orang lain.
Akibat kuatnya budaya patriarkhi, perempuan selalu menjadi objek pemarginalan, penghukuman dan diskriminasi. Dengan bentuk demikian, dalam prakteknya terdapat unsur kelaki-lakian yang lebih menonjol pada beberapa tradisi di Indonesia.
Gadis Pakarena mengeksplorasi bentuk-bentuk itu dalam setting budaya Bugis di Makassar. Kisah-kisahnya sangat mengagumkan sekaligus mengharukan. Di dalamnya juga kaya dengan analisis fenomena sosial terkait tradisi, seksualitas dan perempuan.
Buku ini terdiri atas empat belas kisah. Kisah di awali dengan kisah laduka, gadis pakarena, arajang, mengawini ibu, rumah panggun di kaki bukit, sampai pada hati perempuan sunyi dan riwayat tiga layar.
Bagian pertama berkisah tentang seorang pemuda yang menikah di usia muda (nikah dini). Perjuangan untuk memberikan nafkah sang istri tercinta pun kandas di tengah jalan. Laduka tidak ingin kembali sebelum mendapatkan uang untuk acara sunatan anaknya. Dalam perjalanan pulang dari tempat perantauan, Laduka mengalami kecelakaan.
Perjuangan Laduka itu didasari atas filosofi orang Bugis “kualleangi tallanga na towaliya” (lebih baik karam di tangah laut dari pada pulang bertangan hampa). Filosofi ini menggambarkan orang Bugis mempunyai karakter kuat dan pantang menyerah.
Bagian “Gadis Pakarena,” menceritakan tentang percintaan lintas etnis dan suku. Pemuda pribumi Makasar yang jatuh cinta dengan Kim Mei yang merupakan keturunan Tionghoa.
Keluarga pemuda Makasar itu sangat memegang adat istiadat. Sehingga percintaannya pun tidak mendapatkan restu dari kedua belah keluarga. Karena di antara keluarga mereka saling ‘bermusuhan’. Pada akhirnya Mei pun dibawa pindah oleh keluarganya ke Jakarta.
Cinta memang tak dapat dipaksakan. Tapi ketika cinta itu bersemi juga tak dapat dicegah oleh siapapun dan ditolak oleh apapun. Begitu juga saat cinta itu hadir dalam atmosfir ras, suku, agama, dan adat yang berbeda. Pemuda Makasar itu lebih memilih cinta dari pada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya. (hal. 26).
Kisah ini diakhir dengan kabar duka, meninggalnya Mei akibat diperkosa. Mei merupakan gadis yang pandai menyajikan tarian khas Makasar, Pakarena. Sehingga kekasihnya menyebutnya sebagai gadis pakarena.
Pernikahan lintas suku memang menjadi momok bagi sebagian orang di Indonesia. Apalagi pernikahan lintas agama. Pasti akan menimbulkan reaksi dan penolakan yang sangat besar.
Setiap etnis atau suku memiliki hukum adat yang berbeda. Dan hal itu harus diikuti sekalipun tidak sesuai dengan kehendak kita. Salah satunya dalam bentuk larangan nikah lintas suku atau etnis. Sebagian penganut agama tertentu juga memiliki aturan mengenai nikah lintas agama yang didasarkan atas doktrinasi Kitab Suci. Tapi itulah keunikan dan kelebihan masyarakat Indonesia.
“Arajang” berkisah tentang calabai, yakni laki-laki yang menyerupai perempuan. Kisah ini bermula saat anak yang dijuluki tu masagala itu memiliki ‘kelebihan’. Dengan kelebihan-kelebihan itu sampai ayahnya berkata, “kamu memang lelaki paling hebat, nak. Ayah sangat bangga kepadamu.” (hal. 40).
Akhirnya dia pun mengalami pengusiran dari keluarga, terutama dari sang ayah. Dirinya dilarang kembali ke rumah sebelum menjadi laki-laki. Itulah kata terakhir yang dia dapatkan dari ayahnya tercinta.
Saat mengalami keputusasaan, dia merasakan adanya ‘tarikan’ spiritual. Tarikan itu membawa dirinya pada keputusan untuk menjadi Bissu. Bissu adalah kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender. Bissu tidak mengenal gender laki-laki maupun perempuan.
 Kisah yang mengharukan sekaligus memilukan. Budaya kelaki-lakian (patriakhi) memaksa seseorang berkarakter sesuai dengan jenis kelaminnya. Kalau laki-lakia harus ‘jantan’, sedangkan perempuan harus kemayu, dan sebagainya.
Apabila ada laki-laki yang menyerupai sifat seperti perempuan akan mengalami stigma dan diskriminasi. Baik itu dari pihak keluarganya sendiri maupun masyarakat sekitar.
Kisah berjudul “Mengawini Ibu”, menceritakan perilaku suami yang tak tau diri. Sisi lain menggambarkan seorang istri yang sabar sampai akhir hayatnya. Perselingkuhan demi perselingkuhan dilakukannya dengan tanpa menghiraukan istrinya. Gambaran seorang suami yang tidak memiliki ‘rasa’ betapa sakitnya dikhianati.
Sang istri yang begitu setia dan sabar menerima semua perlakuan suaminya yang mementingkan hawa nafsunya. Terlebih setelah ia tak dapat memenuhi ‘amarah’ bathiniyah suaminya. Sosok istri sekaligus ibu yang sangat tegar menghadapi setiap cobaan yang menimpanya.
Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini menyuguhkan horizon kehidupan yang tak terduga. Banyak ragam kehidupan dan permasalahan sosial dan gender terungkap di dalam buku yang diterbitkan kembali oleh penerbit Dolphin. Dengan membacanya akan memberikan kita inklusifitas dalam memandang fenomena kehidupan.
Makna yang terkandung dalam buku ini juga menjadi curhatan sekaligus kritikan. Keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan negara yang tidak kunjung memberikan penyelesaian atas problem-problem sosial.
Dengan demikian, melalui karyanya ini, Krisna Pabichara ingin mengajak kita untuk berfikir secara kritis terkait kebudayaan. Menjadikan budaya sebagai identitas kebangsaan. Di sisi lain,  kita harus meninggalkan budaya yang mengesampingkan aspkek kemanusiaan dan keadilan.


Judul            : Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam 
Penulis          : Ibrahim Abdul-Matin 
Penerjemah   : Aisyah 
Penerbit        : Zaman, Jakarta 
Cetakan        : I, 2012 
Tebal            : 318 Halaman 
ISBN            : 978-979-024-319-4
Peresensi    : Ahmad Suhendra

Banyaknya bencana yang terjadi dibelahan dunia membuat semua orang prihatin. Mulai dari krisis air sampai pada pemanasan global. Semua itu cukup untuk membuktikan bahwa alam sedang mengalami kerusakan. Penyebabnya adalah tindakan manusia yang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Padahal, Islam menegaskan bahwa semua manusia adalah penjaga bumi. Islam memberikan banyak inspirasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sejak 14 abad yang lalu, Islam sudah mengajarkan umat untuk peduli kepada alam. Karena Islam tidak hanya menaruh perhatian pada persoalan spiritual dan sosial, melainkan juga menginspirasi umat untuk peduli kepada alam.



Buku bertajuk Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam ini menjawab kegelisahan tersebut. Dengan menyuguhkan masalah dan solusi terkait isu-isu lingkungan yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Yakni berupa prinsip yang didasarkan atas kesadaran menjalankan Islam seraya berkomitmen kepada lingkungan.


Buku setebal 318 halaman ini menyuguhkan kisah-kisah inspiratif, perjalanan hidup penulisnya, ajakan gaya hidup Islami dan pemikiran terkait kepeduliaan terhadap alam. Bahwa prinsip-prinsip pelestarian lingkungan itu ada dalam Islam. Oleh sebab itu, Ibrahim Abdul-Matin menawarkan konsep ‘Agama Hijau’ (greendeen) sebagai inspirasi mengelola alam.


Pria muslim berkulit hitam itu menguraikan kandungan ini sebanyak enam belas bab. Kemudian dikelompokkan dalam empat tema besar. Empat isu penting terkait lingkungan itu adalah energi, air, limbah dan makanan.


Penjelasan mengenai ‘Agama Hijau’ (greendeen) terdapat dalam halaman 21 – 34 bagian awal buku ini. ‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta).


Di dalamnya dijelaskan bahwa ‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan. Prinsip pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Hidup dengan cara ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.


Prinsip kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di seluruh semesta. Hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti melihat segala sesuatu di alam ini sebagai tanda (ayat) keagungan Sang Pencipta. Prinsip ketiga, menjadi penjaga (khalifah) bumi. Dengan prinsip ini berarti memahami bahwa manusia harus melakukan apa pun untuk menjaga, melindungi, dan mengelola semua karunia yang terkandung di dalam alam.


Prinsip keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pelindung planet ini. Mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti mengetahui bahwa manusia dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai pelindung alam. Prinsip kelima, memperjuangkan keadilan (‘adl). Orang yang ingin hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) harus memahami bahwa masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi sering kali harus menanggung efek negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan.


Prinsip keenam, dan hidup selaras dengan alam (mizan). Segala sesuatu diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna (mizan). Upaya menghormati keseimbangan itu dapat berupa memandang bumi sebagai masjid. Tatanan hukum dan aturan dalam Islam bertujuan untuk menjaga keseimbangan ini. Prinsip-prinsip itu adalah panduan yang menuntun untuk melestarikan lingkungan (alam) berdasarkan inspirasi ‘Agama Hijau’ (greendeen).


Dengan prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa Islam mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa Islam bersesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Enam prinsip itu juga dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan asas agama Islam.


Dengan perspektif ‘Agama Hijau’ (greendeen) manusia akan memiliki kesadaran dan berpandangan bahwa bumi adalah masjid. Bumi adalah masjid merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa manusia merupakan bagian dari struktur penciptaan yang menakjubkan. Maka, semua yang ada di dalamnya suci. (hal. 19). Hal ini berdasarkan Hadis Nabi saw. yang berbunyi, “Di mana pun kamu berada saat waktu shalat tiba, kerjakanlah shalat. Sebab, bumi ini adalah masjid.”


Begitu juga dalam memandang dan memanfaatkan sumber daya air. Air adalah medium pemahaman, keimanan, dan kebijaksanaan. Air sekaligus menjadi sarana penting untuk mengamalkan Islam. Air memiliki peran yang sangat fundamental dalam Islam. Salah satu syarat sah shalat adalah kesucian fisik dengan air. (hal. 178).


Dengan hal itu, Ibrahim menekankan bahwa pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan air. Di antara langkah penting untuk mengelola air dengan baik adalah memperbiki jalur distribusi air sehingga benar-benar terjamin kebersihannya. Karena akses terhadap air merupakan kunci kebahagiaan bagi setiap orang. (hal. 185).


Ibrahim mengemukakan beberapa contoh personal maupun komunitas dalam menerapkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Misalnya, dia mengemukakan bahwa ada sebuah kmunitas muslim yang hidup sepenuhnya tanpa jaringan listrik di Chiapas, Meksiko. Pengalaman menuntun mereka memegang prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) dengan cara mengekspresikan keimanan yang bersesuaian dengan cintanya kepada planet ini dan kepada Tuhan. (hal. 171).


Buku yang diterbitkan dan diterjemahkan oleh Penerbit Zaman ini menggambarkan pengalaman hidup Ibrahim dan muslim Amerika dalam mengamalkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Selain untuk warga Amerika, buku ini juga dapat memberikan inspirasi dan membuka horizon dalam mengelola alam di negara-negara berkembang dan atau mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia.


Karena di dalamnya tidak hanya menawarkan solusi dan alternatif dalam menjaga dan pengelolaan lingkungan. Buku ini juga menyadarkan kita dari budaya konsumerisme. Uraiannya juga membuktikan bahwa Islam memiliki keberpihakan dalam mengupayakan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Hal ini jelas tertera dalam al-Qur’an dan Hadis.

Selasa, 23 Oktober 2012

Kisah Jurnalis di Balik Berita


Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Aryanto
Penerbit: Metagraf
Tahun: 2012
Tebal:  227 halaman
Harga: Rp. 47.000

Wartawan adalah profesi yang memiliki risiko tinggi. Intimidasi serta ancaman kekerasan adalah hal yang mengintipnya setiap saat. Hanya idealisme dan keterpanggilan yang membuat seorang juru berita bertahan dengan profesi itu.
Menjabarkan semua itu dalam sebuah manuskrip yang teoritis hanya akan menghasilkan sebuah pemahaman yang kering. Berbeda jika hal itu dideskripsikan ataupun dituturkan si juru berita.
Itulah yang membuat buku ini menarik disimak sebagai sebuah teks yang menggambarkan mozaik kecil jagat jurnalistik, khususnya di Indonesia. Dari sini pembaca tidak hanya mencerap ikhwal kerja jurnalistik, melainkan juga berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya.
Buku yang menceritakan kembali pengalaman para wartawan memang bukan barang baru. Seperti dikutip dalam pengantar buku ini, pernah terbit buku Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah juga terbit Pistol dan Pembalut Wanita yang merupakan antologi pengalaman wartawan media cetak yang bertugas di Bandung di tahun 2007.
Namun yang membedakan Jurnalis Berkisah dengan buku-buku tersebut ialah disertakannya satu ataupun dua "kasus", berkenaan dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang membuat cerita mengenai para wartawan ini semakin bernas.
Misalnya saja Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk meliput perang yang terjadi di Beirut. Petikan kisah mereka saat berada di medan pertempuran akan menjadi hal menarik tersendiri bagi pembaca.   
Memakai sudut pandang para wartawan dari berbagai jenis media, buku ini bagaikan sebuah representasi dunia media. Lihat saja, di dalamnya ada penuturan Najwa Shihab yang mewakili televisi berita, Telni Rusmitantri yang bergelut di tabloid hiburan, Tosca Santoso yang malang melintang di jurnalisme radio, Erwin Arnada yang pernah memimpin Palyaboy Indonesia, ataupun Linda Christanty yang membangun sindikasi Aceh News Service.
Satu hal yang mengikat kesepuluh jurnalis dalam buku ini, yakni kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang ada petikan kisah-kisah heroik dari para wartawan tersebut. Namun itu bukan titik sentral, namun sebagai pintu masuk pada persoalan yang lebih besar.
Memang, juru berita adalah manusia biasa. Mereka memiliki ketakutan, mereka sempat gentar, pernah terpojokkan. Sebut saja kutipan kisah Linda Christanty yang sempat merasa ragu ketika mendapat tawaran untuk untuk tinggal di Aceh. Memang, Aceh sebagai medan konflik bukanlah tempat yang dimimpikan banyak orang. Tapi toh semua itu ditepisnya. Kepedulianlah yang membawanya terbang ke Aceh.
Benar saja, ketika tiba di Serambi Mekkah, banyak hal yang dapat dilakukan oleh Linda. Memberikan penyadaran melalui berbagai medium adalah hal yang diupayakannnya. Termasuk memberdayakan banyak orang muda untuk berbuat lebih banyak bagi Aceh lewat dunia jurnalistik.
Lewat buku ini pembaca tidak hanya akan menjumpai romantisme dunia jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia jurnalistik terutama ketika ia berbenturan dengan berbagai kepentingan. Di sini neralitas dan keberpihakan harus mencari bentuknya kembali.***

menurutku: 

Senin, 24 September 2012

Mengamati Poster Propaganda Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung

Dari: Taschen.Com

 Judul:  Chinese Propaganda Posters
Essay: Anchee Min, Duo Duo, dan Stefan R Landsberger
Penerbit: Taschen, Jerman,  2011
Halaman: 320 halaman
Harga; HK $ 128

Buku ini  memang lebih memiliki banyak gambar ketimbang teks. Namun gambar yang termuat di dalam bukanlah gambar biasa. Gambar tersebut tak lain poster-poster propaganda Mao Tse Tung ketika ia memgang kekuasaan di Cina.

Seperti halnya banyak pemegang kekuasaan, Mao pun ingin mempertahankan statusnya sebagai pemimpin partai. Apalagi ia mencetuskan Revolusi Kebudayaan di negeri itu hingga tahun 1970-an. Ia menyebutanya Great Leap.

Dari poster propaganda tersebut, Mao tidak hanya mempopulerkan Revolusi Kebudayaan, melainkan juga berusaha untuk mengultuskan dirinya. Usahanya boleh dibilang berhasil. Buktinya hingga kini masih banyak orang yang percaya dengan kebenaran ajaran Mao.

Dalam poster-poster yang termuat dalam buku ini, Mao menggambarkan dirinya sebagai sosok yang dicintai oleh rakyatnya, dan  dapat membawa Cina ke arah yang kebih baik, Cina yang lebih makmur di bawah pemerintahan partai komunis.

Bahkan beberapa poster memperlihatkan pentingnya “melupakan” kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa, untuk kepentingan partai.

Tapi toh dari beberapa catatan litartur yang ada, usaha Mao ternyata hanya isapan jempol. Usaha untuk memakmurkan Cina justru membawa penderitaan bagi rakyat. Bagaimana tidak, ketika Mao berkuasa kemiskinan semakin menjadi-jadi, kebebasan menjadi barang langka, dan tekanan terjadi kepada mereka yang dianggap memiiki orientasi ke Barat.

Poster-poster yang ada dalam buku ini paling tiak menjadi sebuah “monumen” yang mengingatkan kembali kepada siapa saja bahwa kekuasaan cenderung melanggengkan diri, dengan menghalalkan segala cara.

Kekurangan buku ini, menurut hemat saya, tidak adanya sebuah analisa yang memadai atas poster-poster tersebut. Poster-poster tersebut hanya memiliki data seputar pembuatnya, judul, dan latar belakang dibuatnya poster tersebut. Jika saja poster tersebut dilengkapi dengan kajian yang mendalam dengan melibatkan metodologi tertentu, semisal semiotik, maka buku ini akan menjadi lebih bernas.***

Salah satu contoh poster dalam buku, dari www.taschen.com

Contoh poster lain dalam buku: www.taschen.com

*) Catatan: buku ini diperoleh penulis dalam perjalanan menuju Hong Kong pada bulan September 2012. Tidak ada catatan apakah buku dijual di Indonesia atau tidak. info: www.taschen.com 

menurutku: 

Selasa, 18 September 2012

Mendengarkan Konsumen di Media Sosial


Judul: Likeable Social Media
Penulis: Dave Kerpen
Penerbit: Mc Graw Hill
Halaman: 260 halaman
Harga: US $ 20

Media sosial itu seksi! Demikian sering disebut oleh para marketer. Bagaimana tidak, dengan media sosial, para marketer dapat menjangkau target yang sangat spesifik dengan biaya yang relatif lebih murah ketimbang media tradisional seperti televisi.
Persoalannya, bagaimana seorang marketer harus menyusun strategi agar kampanye yang dilakukan lewat media sosial dapat memberikan efek yang positif.
Buku Likeable Social Media ini memberikan semacam pedoman bagai mereka yang ingin menggunakan media sosial seperti Facebook ataupun Twitter. Penulis buku ini, Dave Kerpen, memberikan segudang tips agar sebuah produk mendapat respon yang baik sehingga dapat memberikan efek viral yang sempurna.
Beberapa tips yang disampaikan dalam buku ini antara lain dengan memosisikan para dengan calon pelanggan. Ia harus dapat mengerti kemauan dan keinginan para calon konsumen.
Artinya, marketer harus dapat mendengar keinginan pelanggan. It's about listening! Begitu dikatakan oleh Dave Kerpen. Mendegarkan konsumen dan calon konsumen menjadi hal yang esensial. Konsumen harus didengarkan, baik pujian hingga cacian mengenai produk yang kita tawarkan.
Mengapa demikian? Karena esensi dari media sosial marketing adalah mendengarkan dan memberikan respon. Tanpa hal ini, sulit bagi marketer untuk meningkatkan brand enggagemnet konsumen.
Nah, jika anda adalah peminat social media marketing, liriklah buku ini.


menurutku: 

Rabu, 25 Juli 2012

Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia

Judul: Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)


Memahami Jakarta pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.

Pada bagian awal buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17 ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu  perbudakan mendapat tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya  pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.

Akibatnya budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan (hal. 31-57).

Kemunculan budak dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot). Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi perjudian.

Namun, situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam pajak kepada pemerintah Batavia.

Masalah lain yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.

Hal yang harus dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang agama Katolik.

Pada halaman 217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”, sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.

Hal  berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.

Buku ini menarik untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.

Simak saja buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1998) yang ditulis oleh Haryoto Kunto.  Banyak cerita dan fakta tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu, namun disampaikan dengan cara yang “renyah”, menawan , dengan bumbu-bumbu yang jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk dinikmati.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar