Resensi Buku IX/1
TUGAS BAHASA INDONESIA PENGERTIAN RESENSI DAN CONTOHNYA "
A. Pengertian Resen. jika dari
bahasa Latin, revidere (kata kerja) atau recensie. Artinya
“melihat kembali, menimbang, atau menilai.” Tindakan meresensi mengandung “memberikan
penilaian, mengungkapkan kembali isi pertunjukan, membahas, dan mengkritiknya.”
Dalam buku
Bahasa dan Sastra Indoneisa (yang ditulis Euis Sulastri dkk) Istilah resensi
berasal dari bahasa Belanda, resentie, yang berarti kupasan atau
pembahasan. Jadi, pengertian resensi adalah kupasan atau pembahasan tentang
buku, film, atau drama yang biasanya disiarkan melalui media massa, seperti
surat kabar atau majalah.
Pada Kamus
Sinonim Bahasa Indonesia disebutkan bahwa resensi adalah pertimbangan,
pembicaraan, atau ulasan buku. Akhir-akhir ini, resensi buku lebih dikenal
dengan istilah timbangan buku.
Apa sih
tujuan Resensi Buku itu?
adalah
memberi informasi kepada masyarakat akan kehadiran suatu buku, apakah ada hal
yang baru dan penting atau hanya sekadar mengubah buku yang sudah ada.
Kelebihan dan kekurangan buku adalah objek resensi, tetapi pengungkapannya
haruslah merupakan penilaian objektif dan bukan menurut selera pribadi si
pembuat resensi. Umumnya, di akhir ringkasan terdapat nilai-nilai yang dapat diambil
hikmahnya.
Pembuat
resensi disebut resensator. Sebelum membuat resensi, resensator harus membaca buku itu terlebih
dahulu. Sebaiknya, resensator memiliki pengetahuan yang memadai, terutama yang
berhubungan dengan isi buku yang akan diresensi.
Ada beberapa
syarat untuk meresensi (membuat resensi) buku
1.
Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit, dan tebal buku.
2.
Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi pengarang,
atau hal yang berhubungan dengan tema atau isi
3.
Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut.
4.
Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan.
Resensi
adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu
buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD. Tujuan resensi
adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu
patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. Yang akan kita bahas pada
buku ini adalah resensi buku. Resensi buku adalah ulasan sebuah buku yang di
dalamnya terdapat data-data buku, sinopsis buku, bahasan buku, atau kritikan
terhadap buku.
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.
Ada yang berpendapat bahwa minimal ada tiga jenis resensi buku.
1. Informatif, maksudnya, isi dari resensi hanya secara singkat dan umum dalam menyampaikan keseluruhan isi buku.
2. Deskriptif, maksudnya, ulasan bersifat detail pada tiap bagian/bab.
3. Kritis, maksudnya, resensi berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.
Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Alhasil, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.
B. Unsur-unsur Resensi
Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
1. Membuat judul resensi
Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.
2. Menyusun data buku
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.
Ada yang berpendapat bahwa minimal ada tiga jenis resensi buku.
1. Informatif, maksudnya, isi dari resensi hanya secara singkat dan umum dalam menyampaikan keseluruhan isi buku.
2. Deskriptif, maksudnya, ulasan bersifat detail pada tiap bagian/bab.
3. Kritis, maksudnya, resensi berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.
Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Alhasil, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.
B. Unsur-unsur Resensi
Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
1. Membuat judul resensi
Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.
2. Menyusun data buku
Data buku biasanya disusun sebagai berikut:
a. judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan judul aslinya.);
b. pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku.);
c. penerbit;
d. tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa);
e. tebal buku;
f. harga buku (jika diperlukan).
3. Membuat pembukaan
Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
a. memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh;
b. membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain;
c. memaparkan kekhasan atau sosok pengarang;
d. memaparkan keunikan buku;
e. merumuskan tema buku;
f. mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku;
g. mengungkapkan kesan terhadap buku;
h. memperkenalkan penerbit;
i. mengajukan pertanyaan;
j. membuka dialog.
4. Tubuh atau isi pernyataan resensi buku
Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:
a. sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis;
b. ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya;
c. keunggulan buku;
d. kelemahan buku;
e. rumusan kerangka buku;
f. tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit);
g. adanya kesalahan cetak.
5. Penutup resensi buku
Bagian penutup, biasnya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.
Resensi Buku Pengetahuan : Telaah
Kualitas Air
Judul : Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan
Sumber Daya dan Lingkungan Perairan
Penulis : Hefni Effendi
Penerbit :
Kanisius, Yogyakarta, 2003
Tebal : 258 halaman
Buku non fiksi karya Hefni Effendi ini memuat berbagai macam pengetahuan
dan penjelasan tentang air. Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan
untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Pesatnya laju
pembangunan di negara kita telah menyebabkan menurunnya kualitas air yang ada.
Kondisis ini menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk
hidup yang bergantung pada sumber daya air. Sehingga diperlukan pengelolaan dan
perlindungan sumber daya air secara seksama. Tetapi minimnya pengetahuan
tentang kualitas dan pengelolaan air menyebabkan usaha ini tidak berjalan
secara maksimal.
Buku ini tidak hanya membahas tentang tingkatan kualitas air tetapi juga
membahas banyak hal menarik lainnya. Seperti misalnya karakteristik air,
bagaimana sifat air secara umum dan siklus hidrologinya. Karakteristik badan
air yang meliputi air permukaan dan air tanah. Buku ini membahas secara rinci
tentang parameter-parameter kualitas air, khususnya parameter fisika dan kimia.
Buku ini juga membahas tentang ion-ion yang dapat terkandung di dalam air serta
bentuk-bentuk pencemaran yang dapat terjadi.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, buku ilmu pengetahuan ini ditulis
oleh Hefni Effendi. Beliau merupakan dosen tetap pada Jurusan Manajemen Sumber
Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Selain sudah
menyelesaikan program master pada The University of Sheffield, Inggris, beliau
juga telah banyak mengikuti berbagai pelatihan dan seminar tentang pengelolaan,
perairan, dan pengelolaan limbah, baik sebagai pembicara maupun sebagai peserta
sehingga sudah pasti beliau memiliki segudang pengalaman dan pengetahuan yang
dapat dibagikan lewat buku Telaah Kualitas Air ini.
Selain dapat menambah pengetahuan, kelebihan lain dari buku ini yaitu
bahasa yang digunakan jelas dan mudah dipahami serta dapat menjelaskan hal-hal
yang sulit dengan kalimat yang mudah dimengerti. Selain itu, buku ini juga
mengandung berbagai macam rumus kimia dan fisika yang disertai pula dengan
contoh-contoh soalnya yang membuat kita dapat memahami rumus tersebut. Susunan
isi buku pun sangat terstruktur dan bertahap sehingga antara satu bagian dengan
bagian yang lain terdapat kesinambungan yang jelas.
Tetapi, buku ini merupakan buku yang berat untuk dibaca oleh anak-anak
maupun remaja sekolah (SMP ataupun SMA), karena isinya merupakan gabungan dari
teori kimia, fisika dan biologi serta merupakan satu kesatuan yang kompleks
yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sehingga walaupun bahasa yang
digunakan jelas dan lugas tetapi secara keseluruhan buku ini memuat suatu topik
yang berat untuk dipahami oleh anak-anak usia sekolah. Selain itu buku ini
hanya berisi pengetahuan-pengetahuan tentang kualitas air dan pencemaran air
tetapi tidak terdapat cara-cara untuk menjaga kualitas air dari pencemaran
sehingga tidak terdapat solusi dalam mengatasi masalah pencemaran air ini.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, buku ini tetap memiliki
ketertarikan tersendiri dan merupakan sumber informasi yang sangat lengkap dan
akurat yang mungkin tidak dapat ditemukan pada buku-buku yang lain.
Bagaimanapun juga, air merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam
kehidupan makhluk hidup sehingga sudah sepantasnya kita menjaga dan melestarikan
air dari berbagai pencemaran dengan terlebih dahulu mengenal sifat dan karakter
dari air itu sendiri.
CONTOH
RESENSI
ERAGON
Judul Buku :
Eragon
Pengarang : Christopher Paolini
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 568 halaman
Pengarang : Christopher Paolini
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 568 halaman
Christopher
Paolini sangat menyukai kisah-kisah fantasi dan fiksi ilmiah. Ia menulis novel
pertamanya, Eragon, selepas lulus SMU pada usianya yang kelima belas. Sekarang
ia tinggal bersama keluarganya di Paradise Valley, Montana, Amerika Serikat. Ia
menjadi penulis terlaris di New York Times ketika berumur Sembilan belas. Pada
awalnya, ia merencanakan membuat tiga buku saja, namun karena kerumitan buku
ketiga, menjadi lebih tebal daripada yang ia perkirakan, maka ia memperpanjang
kisah Eragon menjadi empat buku. Trilogi Warisan menjadi siklus Warisan.
Sinopsis
Di daratan Alagaesia, hiduplah Klan Penunggang Naga dengan naga-naganya, yang senantiasa menjaga ketentraman kehidupan daratan Alagaesia. Negeri pun mengalami masa kejayaan. Namun, Klan Penunggang Naga punah karena salah seorang berkhianat dan membujuk Penunggang-Penunggang lain mengikuti jejaknya. Maka pertumpahan darah antar penunggang pun terjadi, dan Kaum Terkutuk (penunggang yang berkhianat) memenangi pertarungannya. Sang pengkhianat bernama Galbatorix, yang sekarang menjadi raja Alagaesia. Ia memerintah dengan kejam, sehingga beberapa orang yang setia pada klan Penunggang memberontak dan membentuk kelompok Varden. Galbatorix memiliki 3 butir telur naga, yang ia tunggu bertahun-
Di daratan Alagaesia, hiduplah Klan Penunggang Naga dengan naga-naganya, yang senantiasa menjaga ketentraman kehidupan daratan Alagaesia. Negeri pun mengalami masa kejayaan. Namun, Klan Penunggang Naga punah karena salah seorang berkhianat dan membujuk Penunggang-Penunggang lain mengikuti jejaknya. Maka pertumpahan darah antar penunggang pun terjadi, dan Kaum Terkutuk (penunggang yang berkhianat) memenangi pertarungannya. Sang pengkhianat bernama Galbatorix, yang sekarang menjadi raja Alagaesia. Ia memerintah dengan kejam, sehingga beberapa orang yang setia pada klan Penunggang memberontak dan membentuk kelompok Varden. Galbatorix memiliki 3 butir telur naga, yang ia tunggu bertahun-
tahun untuk
menetas di bawah kekuasaannya, sehingga 3 orang Penunggang baru akan menjadi
anak buahnya. Sayangnya, salah satu telur berhasil dicuri para Varden. Arya,
wanita elf, merupakan salah satu dari yang terlibat pencurian telur naga dari
Galbatorix, berniat membawanya ke Varden, kelompok berbagai ras yang menentang
Galbatorix. Disergap oleh Durza, Shade. Dan Arya pun dengan sihir memindahkan
telur tersebut ke Pegunungan Spine. Arya ditahan oleh Durza, dan dijadikan
tawanan di Gil’ead. Eragon, anak petani berusia lima belas tahun yang tinggal
di Carvahall, terkejut ketika menemukan batu biru mengilap di pegunungan Spine
ketika sedang berburu. Eragon membawa batu itu ke pertanian tempat ia bersama
pamannya, Garrow, dan sepupunya, Roran. Garrow dan alhmarhumah istrinya, Marian
yang membesarkan Eragon. Selena, ibu Eragon adalah saudara Garrow yang
menitipkan anaknya, Eragon untuk tinggal bersamanya, dan ia pergi karena suatu
hal. Tidak ada yang
tahu soal ayahnya. Roran yang usianya sebentar lagi genap akan dijadikan tentara oleh kerjaan,
memutuskan untuk pergi merantau dan pergi dari Carvahall agar tidak dijadikan tentara kerajaan.
Beberapa hari kemudian, batu itu menetas dan didapati bahwa batu tersebut merupakan telur naga. Ketika Eragon menyentuh anak naga betina itu, di telapak tangannya muncul tanda berwarna keperakan, dan terbentuk ikatan tak terputuskan antara Eragon dengan naga itu. Naga itu bernama Saphira. Galbatorix yang mengetahui kehilangan telur itu, memberikan tugas kepada Shade untuk mencari batu yang dulu merupakan telur Saphira. Ia mengingat ramalan kaum Varden bahwa waktu bagi penunggang naga akan tiba, dan Galbatorix akan ditantang dan dikalahkan pada suatu saat. Durza pun memanggil dua Ra’zac, makhluk asing berpenampilan bengis dan tiba di Carvahall, Eragon dan Saphira berhasil menghindari mereka, tetapi kedua Ra’zac menghancurkan rumah Eragon dan membunuh Garrow. Eragon bersumpah akan mencari dan membunuh Ra’zac. Bersama brom, pendongeng Carvahall, Eragon dan Saphira menuju selatan untuk bergabung dengan kaum Varden. Selama perjalanan, Eragon belajar bertarung dan
menggunakan sihir.. Brom memberinya pedang merah bernama Zar’roc, yang dulu merupakan pedang Penunggang Naga, walaupun si pendongeng itu tidak mau mengatakan bagaimana ia bisa memperolehnya. Mereka pun mengunjungi kota Teirm, membeli perbekalan. Eragon diramali oleh ahli tanaman obat, Angela bahwa peperangan dekat di depan mata. Lewat mimpinya Eragon mengetahui bahwa Arya berada di Gil’ead, dengan segenap keberanian ia berniat untuk membebaskan Arya. Eragon bertemu dengan Shade, ketika Shade hendak membunuh Eragon, Brom datang untuk menyelamatkan Eragon dan ia pun terkena tusukan dari pedang Shade. Dengan bantuan Murtagh, Eragon melarikan dri dari penjara sambil membawa Arya dan Brom. Arya telah diracun dan butuh bantuan medis dari kaum Varden segera. Brom sekarat dan akhirnya meninggal. Ia dikuburkan dengan sihir oleh Saphira. Eragon dan Saphira pun mendapati bahwa Brom adalah penunggang pula.
tahu soal ayahnya. Roran yang usianya sebentar lagi genap akan dijadikan tentara oleh kerjaan,
memutuskan untuk pergi merantau dan pergi dari Carvahall agar tidak dijadikan tentara kerajaan.
Beberapa hari kemudian, batu itu menetas dan didapati bahwa batu tersebut merupakan telur naga. Ketika Eragon menyentuh anak naga betina itu, di telapak tangannya muncul tanda berwarna keperakan, dan terbentuk ikatan tak terputuskan antara Eragon dengan naga itu. Naga itu bernama Saphira. Galbatorix yang mengetahui kehilangan telur itu, memberikan tugas kepada Shade untuk mencari batu yang dulu merupakan telur Saphira. Ia mengingat ramalan kaum Varden bahwa waktu bagi penunggang naga akan tiba, dan Galbatorix akan ditantang dan dikalahkan pada suatu saat. Durza pun memanggil dua Ra’zac, makhluk asing berpenampilan bengis dan tiba di Carvahall, Eragon dan Saphira berhasil menghindari mereka, tetapi kedua Ra’zac menghancurkan rumah Eragon dan membunuh Garrow. Eragon bersumpah akan mencari dan membunuh Ra’zac. Bersama brom, pendongeng Carvahall, Eragon dan Saphira menuju selatan untuk bergabung dengan kaum Varden. Selama perjalanan, Eragon belajar bertarung dan
menggunakan sihir.. Brom memberinya pedang merah bernama Zar’roc, yang dulu merupakan pedang Penunggang Naga, walaupun si pendongeng itu tidak mau mengatakan bagaimana ia bisa memperolehnya. Mereka pun mengunjungi kota Teirm, membeli perbekalan. Eragon diramali oleh ahli tanaman obat, Angela bahwa peperangan dekat di depan mata. Lewat mimpinya Eragon mengetahui bahwa Arya berada di Gil’ead, dengan segenap keberanian ia berniat untuk membebaskan Arya. Eragon bertemu dengan Shade, ketika Shade hendak membunuh Eragon, Brom datang untuk menyelamatkan Eragon dan ia pun terkena tusukan dari pedang Shade. Dengan bantuan Murtagh, Eragon melarikan dri dari penjara sambil membawa Arya dan Brom. Arya telah diracun dan butuh bantuan medis dari kaum Varden segera. Brom sekarat dan akhirnya meninggal. Ia dikuburkan dengan sihir oleh Saphira. Eragon dan Saphira pun mendapati bahwa Brom adalah penunggang pula.
Naganya
dibunuh oleh Morzan, salah satu kaum terkutuk. Dikejar segerombolan Urgal,
mereka melarikan diri ke Varden. Sesampainya di Varden, Eragon memperkenalkan
diri kepada Ajihad, pemimpin Varden sebagai penunggang dan menunjukkan naganya.
Arya segera diobati oleh kaum Varden, dan Murtagh dipenjara, karena keturunan
Morzan, yang merupakan kaum terkutuk
atau sekutu Galbatorix. Morzan terbunuh oleh Brom. Murtagh, secara tidak berhasil meyakinkan bahwa ia mencela perbuatan ayahnya dan meninggalkan Galbatorix untuk menjalani hidupnya sendiri. Durza menggalang kekuatan seluruh pasukan Galbatorix untuk menyerang Varden.
Pasukan Galbatorix datang melalui terowongan-terowongan kurcaci. Pertempuran terjadi. Durza yang sedemikian kuat, dengan mudah membuat kewalahan Saphira dan Eragon. Namun akhirnya Eragon mendapatkan saat yang tepat untuk menikam jantung Durza. Pertarungan pun dimenangi oleh kaum Varden. Ketika Eragon sadarkan diri, Arya tengah di perjalanan menuju Ellesmera, ibukota para elf. Eragon secara telepatis dihubungi sosok yang menyebut diriinya sebagai Togira
Ikonoka-si Cacat yang Utuh. Di akhir buku ini, Eragon memutuskan bahwa ia akan menemukan Togira Ikonoka ini dan berguru kepadanya.
atau sekutu Galbatorix. Morzan terbunuh oleh Brom. Murtagh, secara tidak berhasil meyakinkan bahwa ia mencela perbuatan ayahnya dan meninggalkan Galbatorix untuk menjalani hidupnya sendiri. Durza menggalang kekuatan seluruh pasukan Galbatorix untuk menyerang Varden.
Pasukan Galbatorix datang melalui terowongan-terowongan kurcaci. Pertempuran terjadi. Durza yang sedemikian kuat, dengan mudah membuat kewalahan Saphira dan Eragon. Namun akhirnya Eragon mendapatkan saat yang tepat untuk menikam jantung Durza. Pertarungan pun dimenangi oleh kaum Varden. Ketika Eragon sadarkan diri, Arya tengah di perjalanan menuju Ellesmera, ibukota para elf. Eragon secara telepatis dihubungi sosok yang menyebut diriinya sebagai Togira
Ikonoka-si Cacat yang Utuh. Di akhir buku ini, Eragon memutuskan bahwa ia akan menemukan Togira Ikonoka ini dan berguru kepadanya.
Tetralogi
buku Eragon sangat menarik untuk dibaca, memberikan inspirasi bagi para
pembacanya. Bertemakan petualangan, buku Eragon mengombinasikan sihir dengan
perang tradisional. Penulis benar-benar memiliki konsep yang kuat, imajinasinya
tinggi menjadikan cerita yang fiksi menjadi terlihat lebih nyata.
Penulis ahli dalam mendeskripsikan secara rinci setiap kejadian dan setiap tokoh, memberikan gambaran yang jelas akan apa yang ada dan yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Menggunakan alur maju mundur, menjadikan semua yang terkandung di dalamnya penting dan terlihat kesinambungannya di akhir cerita. Latar cerita ini ada di daratan Alagaesia, namun tidak disebutkan waktunya (tahun). Eragon merupakan tokoh yang protagonis, terlihat dari sikap-sikapnya yang baik dan ingin membela semua rakyatnya. Durza bersifat antagonis, sama seperti Galbatorix, yang mengedepankan kepentingan diri sendiri dan ingin menguasai seluruh Alagaesia di kekuasaan tangannya. Murtagh merupakan orang yang semula protagonis, walaupun ayahnya merupakan tokoh yang antagonis. Kekurangan pada buku ini, walaupun setiap kejadiannya dideskripsikan secara rinci, namun kejadian tiap harinya, seperti apa yang seorang tokoh makan dan apa yang seorang tokoh minum, tidak dijabarkan seperti pada novel-novel lain. Tokoh Eragon sangat mendominasi dan terkesan sangat hebat juga tak terkalahkan, jarang sekali terjatuh, dan hampir selalu berhasil dan menjadi pemenang dalam setiap konflik
atau pertarungan. Kita dapat mengambil amanat dari buku ini bahwa, jadilah pemain, jangan hanya menjadi penonton. Inisiatif ketika mendapatkan masalah dan utamakan kepentingan warga dibandingkan dengan kepentingan pribadi masing-masing.
Penulis ahli dalam mendeskripsikan secara rinci setiap kejadian dan setiap tokoh, memberikan gambaran yang jelas akan apa yang ada dan yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Menggunakan alur maju mundur, menjadikan semua yang terkandung di dalamnya penting dan terlihat kesinambungannya di akhir cerita. Latar cerita ini ada di daratan Alagaesia, namun tidak disebutkan waktunya (tahun). Eragon merupakan tokoh yang protagonis, terlihat dari sikap-sikapnya yang baik dan ingin membela semua rakyatnya. Durza bersifat antagonis, sama seperti Galbatorix, yang mengedepankan kepentingan diri sendiri dan ingin menguasai seluruh Alagaesia di kekuasaan tangannya. Murtagh merupakan orang yang semula protagonis, walaupun ayahnya merupakan tokoh yang antagonis. Kekurangan pada buku ini, walaupun setiap kejadiannya dideskripsikan secara rinci, namun kejadian tiap harinya, seperti apa yang seorang tokoh makan dan apa yang seorang tokoh minum, tidak dijabarkan seperti pada novel-novel lain. Tokoh Eragon sangat mendominasi dan terkesan sangat hebat juga tak terkalahkan, jarang sekali terjatuh, dan hampir selalu berhasil dan menjadi pemenang dalam setiap konflik
atau pertarungan. Kita dapat mengambil amanat dari buku ini bahwa, jadilah pemain, jangan hanya menjadi penonton. Inisiatif ketika mendapatkan masalah dan utamakan kepentingan warga dibandingkan dengan kepentingan pribadi masing-masing.
Nama :
Megawati
Kelas : 3ea
10
NPM :
10208791
Tugas :
Bahasa Indonesia
Majalah
Bakti, No. 263 THXX Mei
MENELADANI
KEPEMIMPINAN YORITOMO
Judul
: Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira
Penulis
: Eiji Yoshikawa
Penerbit :
Kansha Books, Jakarta
Cetakan : I,
Januari 2013
Tebal
: 394 halaman
ISBN
: 978-602-97196-7-3
Kekalahan Klan Minamoto oleh Klan
Taira pada perang Heiji masih menyisakan luka yang sangat mendalam. Namun,
kondisi negeri saat ini sangat terpuruk akibat keserakahan klan Taira. Tidak
sedikit rakyat yang geram atas kepemimpinan klan Taira. Kondisi itu
menguntungkan Yoritomo yang ingin melakukan balas dendam dengan menjatuhkan
Taira no Kiyomori.
Buku kedua dari dwilogi Minamoto no
Yoritomo merangkai perjalanan sejarah yang tidak akan dilupakan oleh klan Minamoto.
Tibalah waktunya bagi Klan Minamoto untuk melakukan balas dendam atas klan
Taira yang sudah meruntuhkan puing-puing klan Minamoto.
Kemewahan dan keserakahan akan
menghancurkan segala hal yang sudah dicapai. Sejarah mencatat, tidak sedikit
kerajaan yang terpecah-belah, bahkan mengalami kehancuran, disebabkan oleh
penguasa yang serakah. Inilah kisah detik-detik kehancuran dinasti Taira yang
sedang berada di atas awan.
Bagaimana tidak, jika digambarkan ada 100 orang, yang
sangat takut kepada Nyuudou Kiyomori adalah 100 orang. Sedangkan orang yang
membenci Nyuudou mencapai 90 orang atau lebih dalam 100 orang. Hanya sebagian
kecil yang tak membenci Nyuudou karena sudah mengenal kepribadiannya. mereka
menginginkan Nyuudou tetap menjabat dan memerintah secara riang. (Halaman
23).
Salah satu kharisma dari Yoritomo
adalah ketika dia dan pasukannya mengalami kekalahan saat perang di gunung
Ishibashi. Tentara yang tidak seimbang menjadi penyebab utama kekalahan bagi
pasukan Yoritomo. Yakni klan Minamoto hanya berjumlah 300 orang, sedangkan
pihak Taira lebih dari 3.000. Walaupun mengalami kekalahan dari klan Taira,
Yoritomo dengan gaya kepemimpinannya yang kharismatik membuat semua prajurit
tetap dalam api yang berkobar.
Yoritomo terlahir sebagai rakyat
jelata, tanpa harta tanpa dara penguasa, dan seroang anak yang diasingkan ke
Izu. Dia malah dapat memahami buruknya keadaan dan dapat melihat harapan
tersebut. Dia sungguh-sungguh berimpati atas semgant revolusi mereka daripada
seorang pribadi. (halaman 97). Dengan itulah banyak yang ikut berpartisipasi
dan bergabung dengannya untuk menggulingkan klan Taira.
Sebagai seorang pemimpin, Yoritomo
sangat memiliki karakter yang tegas dan teguh pendirian serta disiplin. Bahkan,
ketika bala bantuan sebanyak 20.000 pasukan datang terlambat, dengan tegas dia
mengatakan, “Pasaukan 20.000 orang, bahkan seratus ribu orang pun tak ada
gunanya jika terlambat. Keterlambatan adalah larangan pertama bagi kaum
ksatria…” (halaman 145).
Namun kharisma itu tidak memudar
dari sosok Yoritomo. Pasukan itu tetap setia menunggu sampai kemarahannya reda.
Bahkan, kabar ada bala bantuan ini sampai ke telinga Nyuudou Kiyomori. Setiap
kali informasi baru, jumlah pasukan Yoritomo terus bertambah.
Harapan Yoritomo untuk dapat
menggulingkan klan Taira bertambah besar setelah dirinya bertemu dengan adiknya
setelah 20 tahun berpisah. Minamoto no Kurou Yushitsune dialah anak bungsu dari
mendiang Yoshitomo yang terpisah dengan saudaranya saat kerusuhan Heiji.
Kegagahan yang sudah dicapai tidak
terlepas dari peran adiknya, Kurou Yoshitsune. Merasa siap, Yoritomo menunjuk
adiknya, Yushitsune, untuk memimpin peneyerbuan ke ibukota. Keberhasilan
Yoshitsune menguasai ibukota membuat prajurit dan mantan Kaisar semakin
mencintainya. Hal tersebut membuat Yoritomo ingin menyingkirkan sang adik.
Di sisi lain, klan Taira siap
merebut kembali Ibukota, dan hanya Yoshitsune yang menjadi harapan klan
Minamoto. Eiji Yoshikawa memang piawai dalam menghasilkan karya dengan genre
fiksi sejarah. Buku kedua ini mengajak kita untuk menyelami jiwa pemimpin pada
diri Yoritomo yang berapi-api dalam membela kedaulatan rakyatnya. Di samping
menyelami jiwa samurai dalam diri Yoshitsune, yang pandai dalam membuat
strategi perang.
Jerih payah selama ini menghasilkan
wilayah timur sampai Hitachi dan Shinano tunduk kepada Yoritomo. Tapi Fujiwara
no Hidehiradi Oushu belum menyatakan akan memihak klan Minamoto. Apalagi
wilayah Barat dari Sagami, seluruhnya masih di bawah kekuasaan klan Taira.
(halaman 214). Buku ini menjawab rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan yang
muncul saat membaca buku pertama. Silahkan untuk disimak dalam buku Minamoto no
Yoritomo II yang diterbitkan dan ditermahkan oleh Penerbit Kansha (Mahda)
Books.
Karakter Yoritomo yang tegas dan
kuat dalam membawa pasukannya ke pintu gerbang pencerahan patut dijadikan
tauladan. Begitu juga dengan prinsip-prinsip ksatria yang terdapat di dalamnya.
Yakni ksatria harus menjadi teladan bagi rakyat dalam kehidupan sehari-hari.
Selain tidak melupakan introspeksi diri dan keadaban. Itulah yang diajarkan
Yoritomo kepada semua pasukannya.
Eiji mengajak para pembaca untuk
menyelami kembali sejarah kerajaan Jepang melalui karya sastra. Buah
tangan yang satu ini menghadirkan tokoh yang memiliki jiwa pemimpin pada diri
Yoritomo, dan jiwa ksatria pada Yoshitsune. Yoshitsune memang dikenal sebagai
ksatria yang memiliki strategi dan kecerdasan luar biasa dalam berperang.
Keduanya mengjarkan pembaca untuk tidak mencampuradukkan antara masalah pribadi
atau keluarga dengan masalah kepentingan umum. Setiap karya Eiji Yoshikawa memang
menghadirkan kisah-kisah yang sarat dengan nilai historis.
Segala kekurangan yang ada
dalamnya, tetap membuat buku ini layak untuk dibaca, terutama bagi yang concerndalam
novel sejarah. Penyajiannya sangat berwarna, mulai dari aspek ketegangan,
kesedihan, sampai lelucon yang akan menyelingi pembaca dalam menelusuri setiap
lembarnya.
Karena dari buku ini kita belajar
tentang keberanian, kedisiplinan, kesetiaan, etika berperang, menjadi pemimpin
yang inspiratif dan bangkit dari keterpurukan. Selain, tentunya saja belajar
tentang sejarah Jepang
Angkringan Warta on Friday, February 22, 2013
Judul : Gadis Pakarena
Penulis : Krisna Pabichara
Penyunting : Salahuddien Gz
Penerbit : Dolphin, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : 250 Halaman
ISBN : 978-979-17998-6-7
Kebudayaan merupakan hasil karya,
cipta dan karsa manusia. Budaya memberikan warna yang beragam bagi kehidupan
manusia. Tapi ketika hasil karya, cipta dan karsa itu dilandasi
oleh sifat kelaki-lakian, maka lahirlah budaya patriarkhi.
Jika boleh kita bagi, budaya itu ada
yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan tidak. Budaya yang
yang perlu diperhatikan adalah budaya yang sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Bukan justru budaya yang mengesampingkan keadilan, kesetaraan dan
penghargaan atas hak orang lain.
Akibat kuatnya budaya patriarkhi,
perempuan selalu menjadi objek pemarginalan, penghukuman dan diskriminasi.
Dengan bentuk demikian, dalam prakteknya terdapat unsur kelaki-lakian yang
lebih menonjol pada beberapa tradisi di Indonesia.
Gadis Pakarena mengeksplorasi
bentuk-bentuk itu dalam setting budaya Bugis di Makassar. Kisah-kisahnya sangat
mengagumkan sekaligus mengharukan. Di dalamnya juga kaya dengan analisis
fenomena sosial terkait tradisi, seksualitas dan perempuan.
Buku ini terdiri atas empat belas
kisah. Kisah di awali dengan kisah laduka, gadis pakarena, arajang, mengawini
ibu, rumah panggun di kaki bukit, sampai pada hati perempuan sunyi dan riwayat
tiga layar.
Bagian pertama berkisah tentang
seorang pemuda yang menikah di usia muda (nikah dini). Perjuangan untuk
memberikan nafkah sang istri tercinta pun kandas di tengah jalan. Laduka tidak
ingin kembali sebelum mendapatkan uang untuk acara sunatan anaknya. Dalam
perjalanan pulang dari tempat perantauan, Laduka mengalami kecelakaan.
Perjuangan Laduka itu didasari atas
filosofi orang Bugis “kualleangi tallanga na towaliya” (lebih baik
karam di tangah laut dari pada pulang bertangan hampa). Filosofi ini
menggambarkan orang Bugis mempunyai karakter kuat dan pantang menyerah.
Bagian “Gadis Pakarena,”
menceritakan tentang percintaan lintas etnis dan suku. Pemuda pribumi Makasar
yang jatuh cinta dengan Kim Mei yang merupakan keturunan Tionghoa.
Keluarga pemuda Makasar itu sangat
memegang adat istiadat. Sehingga percintaannya pun tidak mendapatkan restu dari
kedua belah keluarga. Karena di antara keluarga mereka saling ‘bermusuhan’.
Pada akhirnya Mei pun dibawa pindah oleh keluarganya ke Jakarta.
Cinta memang tak dapat dipaksakan.
Tapi ketika cinta itu bersemi juga tak dapat dicegah oleh siapapun dan ditolak
oleh apapun. Begitu juga saat cinta itu hadir dalam atmosfir ras, suku, agama,
dan adat yang berbeda. Pemuda Makasar itu lebih memilih cinta dari pada tradisi
yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya.
(hal. 26).
Kisah ini diakhir dengan kabar duka,
meninggalnya Mei akibat diperkosa. Mei merupakan gadis yang pandai menyajikan
tarian khas Makasar, Pakarena. Sehingga kekasihnya menyebutnya sebagai gadis
pakarena.
Pernikahan lintas suku memang
menjadi momok bagi sebagian orang di Indonesia. Apalagi pernikahan lintas
agama. Pasti akan menimbulkan reaksi dan penolakan yang sangat besar.
Setiap etnis atau suku memiliki
hukum adat yang berbeda. Dan hal itu harus diikuti sekalipun tidak sesuai
dengan kehendak kita. Salah satunya dalam bentuk larangan nikah lintas suku
atau etnis. Sebagian penganut agama tertentu juga memiliki aturan mengenai
nikah lintas agama yang didasarkan atas doktrinasi Kitab Suci. Tapi itulah
keunikan dan kelebihan masyarakat Indonesia.
“Arajang” berkisah tentang calabai,
yakni laki-laki yang menyerupai perempuan. Kisah ini bermula saat anak yang
dijuluki tu masagala itu memiliki ‘kelebihan’. Dengan
kelebihan-kelebihan itu sampai ayahnya berkata, “kamu memang lelaki paling
hebat, nak. Ayah sangat bangga kepadamu.” (hal. 40).
Akhirnya dia pun mengalami
pengusiran dari keluarga, terutama dari sang ayah. Dirinya dilarang kembali ke
rumah sebelum menjadi laki-laki. Itulah kata terakhir yang dia dapatkan dari ayahnya
tercinta.
Saat mengalami keputusasaan, dia
merasakan adanya ‘tarikan’ spiritual. Tarikan itu membawa dirinya pada
keputusan untuk menjadi Bissu. Bissu adalah kaum pendeta yang tidak mempunyai
golongan gender. Bissu tidak mengenal gender laki-laki maupun perempuan.
Kisah yang mengharukan
sekaligus memilukan. Budaya kelaki-lakian (patriakhi) memaksa seseorang
berkarakter sesuai dengan jenis kelaminnya. Kalau laki-lakia harus ‘jantan’,
sedangkan perempuan harus kemayu, dan sebagainya.
Apabila ada laki-laki yang
menyerupai sifat seperti perempuan akan mengalami stigma dan diskriminasi. Baik
itu dari pihak keluarganya sendiri maupun masyarakat sekitar.
Kisah berjudul “Mengawini Ibu”,
menceritakan perilaku suami yang tak tau diri. Sisi lain menggambarkan seorang
istri yang sabar sampai akhir hayatnya. Perselingkuhan demi perselingkuhan
dilakukannya dengan tanpa menghiraukan istrinya. Gambaran seorang suami yang
tidak memiliki ‘rasa’ betapa sakitnya dikhianati.
Sang istri yang begitu setia dan
sabar menerima semua perlakuan suaminya yang mementingkan hawa nafsunya.
Terlebih setelah ia tak dapat memenuhi ‘amarah’ bathiniyah suaminya. Sosok
istri sekaligus ibu yang sangat tegar menghadapi setiap cobaan yang menimpanya.
Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen
ini menyuguhkan horizon kehidupan yang tak terduga. Banyak ragam kehidupan dan
permasalahan sosial dan gender terungkap di dalam buku yang diterbitkan kembali
oleh penerbit Dolphin. Dengan membacanya akan memberikan kita inklusifitas
dalam memandang fenomena kehidupan.
Makna yang terkandung dalam buku ini
juga menjadi curhatan sekaligus kritikan. Keprihatinan terhadap kondisi bangsa
dan negara yang tidak kunjung memberikan penyelesaian atas problem-problem
sosial.
Dengan demikian, melalui karyanya
ini, Krisna Pabichara ingin mengajak kita untuk berfikir secara kritis terkait
kebudayaan. Menjadikan budaya sebagai identitas kebangsaan. Di sisi
lain, kita harus meninggalkan budaya yang mengesampingkan aspkek
kemanusiaan dan keadilan.
Judul
: Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga
dan Mengelola Alam
Penulis
: Ibrahim Abdul-Matin
Penerjemah
: Aisyah
Penerbit
: Zaman, Jakarta
Cetakan
: I, 2012
Tebal
: 318 Halaman
ISBN
: 978-979-024-319-4
Peresensi : Ahmad Suhendra
Banyaknya bencana yang terjadi dibelahan dunia membuat semua orang prihatin. Mulai dari krisis air sampai pada pemanasan global. Semua itu cukup untuk membuktikan bahwa alam sedang mengalami kerusakan. Penyebabnya adalah tindakan manusia yang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.
Padahal, Islam menegaskan bahwa semua manusia adalah penjaga bumi. Islam memberikan banyak inspirasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sejak 14 abad yang lalu, Islam sudah mengajarkan umat untuk peduli kepada alam. Karena Islam tidak hanya menaruh perhatian pada persoalan spiritual dan sosial, melainkan juga menginspirasi umat untuk peduli kepada alam.
Buku bertajuk Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam ini menjawab kegelisahan tersebut. Dengan menyuguhkan masalah dan solusi terkait isu-isu lingkungan yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Yakni berupa prinsip yang didasarkan atas kesadaran menjalankan Islam seraya berkomitmen kepada lingkungan.
Buku setebal 318 halaman ini menyuguhkan kisah-kisah inspiratif, perjalanan hidup penulisnya, ajakan gaya hidup Islami dan pemikiran terkait kepeduliaan terhadap alam. Bahwa prinsip-prinsip pelestarian lingkungan itu ada dalam Islam. Oleh sebab itu, Ibrahim Abdul-Matin menawarkan konsep ‘Agama Hijau’ (greendeen) sebagai inspirasi mengelola alam.
Pria muslim berkulit hitam itu menguraikan kandungan ini sebanyak enam belas bab. Kemudian dikelompokkan dalam empat tema besar. Empat isu penting terkait lingkungan itu adalah energi, air, limbah dan makanan.
Penjelasan mengenai ‘Agama Hijau’ (greendeen) terdapat dalam halaman 21 – 34 bagian awal buku ini. ‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta).
Di dalamnya dijelaskan bahwa ‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan. Prinsip pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Hidup dengan cara ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.
Prinsip kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di seluruh semesta. Hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti melihat segala sesuatu di alam ini sebagai tanda (ayat) keagungan Sang Pencipta. Prinsip ketiga, menjadi penjaga (khalifah) bumi. Dengan prinsip ini berarti memahami bahwa manusia harus melakukan apa pun untuk menjaga, melindungi, dan mengelola semua karunia yang terkandung di dalam alam.
Prinsip keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pelindung planet ini. Mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti mengetahui bahwa manusia dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai pelindung alam. Prinsip kelima, memperjuangkan keadilan (‘adl). Orang yang ingin hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) harus memahami bahwa masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi sering kali harus menanggung efek negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Prinsip keenam, dan hidup selaras dengan alam (mizan). Segala sesuatu diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna (mizan). Upaya menghormati keseimbangan itu dapat berupa memandang bumi sebagai masjid. Tatanan hukum dan aturan dalam Islam bertujuan untuk menjaga keseimbangan ini. Prinsip-prinsip itu adalah panduan yang menuntun untuk melestarikan lingkungan (alam) berdasarkan inspirasi ‘Agama Hijau’ (greendeen).
Dengan prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa Islam mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa Islam bersesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Enam prinsip itu juga dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan asas agama Islam.
Dengan perspektif ‘Agama Hijau’ (greendeen) manusia akan memiliki kesadaran dan berpandangan bahwa bumi adalah masjid. Bumi adalah masjid merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa manusia merupakan bagian dari struktur penciptaan yang menakjubkan. Maka, semua yang ada di dalamnya suci. (hal. 19). Hal ini berdasarkan Hadis Nabi saw. yang berbunyi, “Di mana pun kamu berada saat waktu shalat tiba, kerjakanlah shalat. Sebab, bumi ini adalah masjid.”
Begitu juga dalam memandang dan memanfaatkan sumber daya air. Air adalah medium pemahaman, keimanan, dan kebijaksanaan. Air sekaligus menjadi sarana penting untuk mengamalkan Islam. Air memiliki peran yang sangat fundamental dalam Islam. Salah satu syarat sah shalat adalah kesucian fisik dengan air. (hal. 178).
Dengan hal itu, Ibrahim menekankan bahwa pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan air. Di antara langkah penting untuk mengelola air dengan baik adalah memperbiki jalur distribusi air sehingga benar-benar terjamin kebersihannya. Karena akses terhadap air merupakan kunci kebahagiaan bagi setiap orang. (hal. 185).
Ibrahim mengemukakan beberapa contoh personal maupun komunitas dalam menerapkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Misalnya, dia mengemukakan bahwa ada sebuah kmunitas muslim yang hidup sepenuhnya tanpa jaringan listrik di Chiapas, Meksiko. Pengalaman menuntun mereka memegang prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) dengan cara mengekspresikan keimanan yang bersesuaian dengan cintanya kepada planet ini dan kepada Tuhan. (hal. 171).
Buku yang diterbitkan dan diterjemahkan oleh Penerbit Zaman ini menggambarkan pengalaman hidup Ibrahim dan muslim Amerika dalam mengamalkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Selain untuk warga Amerika, buku ini juga dapat memberikan inspirasi dan membuka horizon dalam mengelola alam di negara-negara berkembang dan atau mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia.
Karena di dalamnya tidak hanya menawarkan solusi dan alternatif dalam menjaga dan pengelolaan lingkungan. Buku ini juga menyadarkan kita dari budaya konsumerisme. Uraiannya juga membuktikan bahwa Islam memiliki keberpihakan dalam mengupayakan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Hal ini jelas tertera dalam al-Qur’an dan Hadis.
Banyaknya bencana yang terjadi dibelahan dunia membuat semua orang prihatin. Mulai dari krisis air sampai pada pemanasan global. Semua itu cukup untuk membuktikan bahwa alam sedang mengalami kerusakan. Penyebabnya adalah tindakan manusia yang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.
Padahal, Islam menegaskan bahwa semua manusia adalah penjaga bumi. Islam memberikan banyak inspirasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sejak 14 abad yang lalu, Islam sudah mengajarkan umat untuk peduli kepada alam. Karena Islam tidak hanya menaruh perhatian pada persoalan spiritual dan sosial, melainkan juga menginspirasi umat untuk peduli kepada alam.
Buku bertajuk Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam ini menjawab kegelisahan tersebut. Dengan menyuguhkan masalah dan solusi terkait isu-isu lingkungan yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Yakni berupa prinsip yang didasarkan atas kesadaran menjalankan Islam seraya berkomitmen kepada lingkungan.
Buku setebal 318 halaman ini menyuguhkan kisah-kisah inspiratif, perjalanan hidup penulisnya, ajakan gaya hidup Islami dan pemikiran terkait kepeduliaan terhadap alam. Bahwa prinsip-prinsip pelestarian lingkungan itu ada dalam Islam. Oleh sebab itu, Ibrahim Abdul-Matin menawarkan konsep ‘Agama Hijau’ (greendeen) sebagai inspirasi mengelola alam.
Pria muslim berkulit hitam itu menguraikan kandungan ini sebanyak enam belas bab. Kemudian dikelompokkan dalam empat tema besar. Empat isu penting terkait lingkungan itu adalah energi, air, limbah dan makanan.
Penjelasan mengenai ‘Agama Hijau’ (greendeen) terdapat dalam halaman 21 – 34 bagian awal buku ini. ‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta).
Di dalamnya dijelaskan bahwa ‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan. Prinsip pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Hidup dengan cara ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.
Prinsip kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di seluruh semesta. Hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti melihat segala sesuatu di alam ini sebagai tanda (ayat) keagungan Sang Pencipta. Prinsip ketiga, menjadi penjaga (khalifah) bumi. Dengan prinsip ini berarti memahami bahwa manusia harus melakukan apa pun untuk menjaga, melindungi, dan mengelola semua karunia yang terkandung di dalam alam.
Prinsip keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pelindung planet ini. Mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti mengetahui bahwa manusia dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai pelindung alam. Prinsip kelima, memperjuangkan keadilan (‘adl). Orang yang ingin hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) harus memahami bahwa masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi sering kali harus menanggung efek negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Prinsip keenam, dan hidup selaras dengan alam (mizan). Segala sesuatu diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna (mizan). Upaya menghormati keseimbangan itu dapat berupa memandang bumi sebagai masjid. Tatanan hukum dan aturan dalam Islam bertujuan untuk menjaga keseimbangan ini. Prinsip-prinsip itu adalah panduan yang menuntun untuk melestarikan lingkungan (alam) berdasarkan inspirasi ‘Agama Hijau’ (greendeen).
Dengan prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa Islam mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa Islam bersesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Enam prinsip itu juga dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan asas agama Islam.
Dengan perspektif ‘Agama Hijau’ (greendeen) manusia akan memiliki kesadaran dan berpandangan bahwa bumi adalah masjid. Bumi adalah masjid merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa manusia merupakan bagian dari struktur penciptaan yang menakjubkan. Maka, semua yang ada di dalamnya suci. (hal. 19). Hal ini berdasarkan Hadis Nabi saw. yang berbunyi, “Di mana pun kamu berada saat waktu shalat tiba, kerjakanlah shalat. Sebab, bumi ini adalah masjid.”
Begitu juga dalam memandang dan memanfaatkan sumber daya air. Air adalah medium pemahaman, keimanan, dan kebijaksanaan. Air sekaligus menjadi sarana penting untuk mengamalkan Islam. Air memiliki peran yang sangat fundamental dalam Islam. Salah satu syarat sah shalat adalah kesucian fisik dengan air. (hal. 178).
Dengan hal itu, Ibrahim menekankan bahwa pemerintah seharusnya bertanggung jawab atas pengelolaan air. Di antara langkah penting untuk mengelola air dengan baik adalah memperbiki jalur distribusi air sehingga benar-benar terjamin kebersihannya. Karena akses terhadap air merupakan kunci kebahagiaan bagi setiap orang. (hal. 185).
Ibrahim mengemukakan beberapa contoh personal maupun komunitas dalam menerapkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Misalnya, dia mengemukakan bahwa ada sebuah kmunitas muslim yang hidup sepenuhnya tanpa jaringan listrik di Chiapas, Meksiko. Pengalaman menuntun mereka memegang prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) dengan cara mengekspresikan keimanan yang bersesuaian dengan cintanya kepada planet ini dan kepada Tuhan. (hal. 171).
Buku yang diterbitkan dan diterjemahkan oleh Penerbit Zaman ini menggambarkan pengalaman hidup Ibrahim dan muslim Amerika dalam mengamalkan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Selain untuk warga Amerika, buku ini juga dapat memberikan inspirasi dan membuka horizon dalam mengelola alam di negara-negara berkembang dan atau mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia.
Karena di dalamnya tidak hanya menawarkan solusi dan alternatif dalam menjaga dan pengelolaan lingkungan. Buku ini juga menyadarkan kita dari budaya konsumerisme. Uraiannya juga membuktikan bahwa Islam memiliki keberpihakan dalam mengupayakan ‘Agama Hijau’ (greendeen). Hal ini jelas tertera dalam al-Qur’an dan Hadis.
Selasa, 23 Oktober 2012
Kisah Jurnalis di Balik Berita
Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Aryanto
Penerbit: Metagraf
Tahun: 2012
Tebal: 227 halaman
Harga: Rp. 47.000
Wartawan adalah profesi yang
memiliki risiko tinggi. Intimidasi serta ancaman kekerasan adalah hal yang
mengintipnya setiap saat. Hanya idealisme dan keterpanggilan yang membuat
seorang juru berita bertahan dengan profesi itu.
Menjabarkan semua itu dalam
sebuah manuskrip yang teoritis hanya akan menghasilkan sebuah pemahaman yang
kering. Berbeda jika hal itu dideskripsikan ataupun dituturkan si juru berita.
Itulah yang membuat buku ini
menarik disimak sebagai sebuah teks yang menggambarkan mozaik kecil jagat
jurnalistik, khususnya di Indonesia. Dari sini pembaca tidak hanya mencerap
ikhwal kerja jurnalistik, melainkan juga berbagai dinamika yang terjadi di
dalamnya.
Buku yang menceritakan kembali
pengalaman para wartawan memang bukan barang baru. Seperti dikutip dalam
pengantar buku ini, pernah terbit buku Jagat Wartawan Indonesia yang
ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah juga terbit Pistol dan
Pembalut Wanita yang merupakan antologi pengalaman wartawan media cetak
yang bertugas di Bandung di tahun 2007.
Namun yang membedakan Jurnalis
Berkisah dengan buku-buku tersebut ialah disertakannya satu ataupun dua
"kasus", berkenaan dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang
membuat cerita mengenai para wartawan ini semakin bernas.
Misalnya saja Mauluddin Anwar
yang terbang ke Lebanon untuk meliput perang yang terjadi di Beirut. Petikan
kisah mereka saat berada di medan pertempuran akan menjadi hal menarik
tersendiri bagi pembaca.
Memakai sudut pandang para
wartawan dari berbagai jenis media, buku ini bagaikan sebuah representasi dunia
media. Lihat saja, di dalamnya ada penuturan Najwa Shihab yang mewakili
televisi berita, Telni Rusmitantri yang bergelut di tabloid hiburan, Tosca
Santoso yang malang melintang di jurnalisme radio, Erwin Arnada yang pernah
memimpin Palyaboy Indonesia, ataupun Linda Christanty yang membangun sindikasi Aceh
News Service.
Satu hal yang mengikat kesepuluh
jurnalis dalam buku ini, yakni kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang ada petikan kisah-kisah heroik dari
para wartawan tersebut. Namun itu bukan titik sentral, namun sebagai pintu
masuk pada persoalan yang lebih besar.
Memang, juru berita adalah
manusia biasa. Mereka memiliki ketakutan, mereka sempat gentar, pernah
terpojokkan. Sebut saja kutipan kisah Linda Christanty yang sempat merasa ragu
ketika mendapat tawaran untuk untuk tinggal di Aceh. Memang, Aceh sebagai medan
konflik bukanlah tempat yang dimimpikan banyak orang. Tapi toh semua itu
ditepisnya. Kepedulianlah yang membawanya terbang ke Aceh.
Benar saja, ketika tiba di
Serambi Mekkah, banyak hal yang dapat dilakukan oleh Linda. Memberikan
penyadaran melalui berbagai medium adalah hal yang diupayakannnya. Termasuk
memberdayakan banyak orang muda untuk berbuat lebih banyak bagi Aceh lewat
dunia jurnalistik.
Lewat buku ini pembaca tidak
hanya akan menjumpai romantisme dunia jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia
jurnalistik terutama ketika ia berbenturan dengan berbagai kepentingan. Di sini
neralitas dan keberpihakan harus mencari bentuknya kembali.***
menurutku:
|
Senin, 24 September 2012
Mengamati Poster Propaganda Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung
Dari: Taschen.Com
|
Judul: Chinese Propaganda Posters
Essay: Anchee Min, Duo Duo, dan Stefan R Landsberger
Penerbit: Taschen, Jerman, 2011
Halaman: 320 halaman
Harga; HK $ 128
Buku ini memang lebih memiliki banyak gambar ketimbang teks.
Namun gambar yang termuat di dalam bukanlah gambar biasa. Gambar tersebut tak lain
poster-poster propaganda Mao Tse Tung ketika ia memgang kekuasaan di Cina.
Seperti halnya banyak pemegang kekuasaan, Mao pun ingin mempertahankan
statusnya sebagai pemimpin partai. Apalagi ia mencetuskan Revolusi Kebudayaan
di negeri itu hingga tahun 1970-an. Ia menyebutanya Great Leap.
Dari poster propaganda tersebut, Mao tidak hanya mempopulerkan Revolusi
Kebudayaan, melainkan juga berusaha untuk mengultuskan dirinya. Usahanya boleh
dibilang berhasil. Buktinya hingga kini masih banyak orang yang percaya dengan
kebenaran ajaran Mao.
Dalam poster-poster yang termuat dalam buku ini, Mao menggambarkan
dirinya sebagai sosok yang dicintai oleh rakyatnya, dan dapat membawa
Cina ke arah yang kebih baik, Cina yang lebih makmur di bawah pemerintahan
partai komunis.
Bahkan beberapa poster memperlihatkan pentingnya “melupakan”
kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa, untuk kepentingan partai.
Tapi toh dari beberapa catatan litartur yang ada, usaha Mao ternyata
hanya isapan jempol. Usaha untuk memakmurkan Cina justru membawa penderitaan
bagi rakyat. Bagaimana tidak, ketika Mao berkuasa kemiskinan semakin
menjadi-jadi, kebebasan menjadi barang langka, dan tekanan terjadi kepada
mereka yang dianggap memiiki orientasi ke Barat.
Poster-poster yang ada dalam buku ini paling tiak menjadi sebuah
“monumen” yang mengingatkan kembali kepada siapa saja bahwa kekuasaan cenderung
melanggengkan diri, dengan menghalalkan segala cara.
Kekurangan buku ini, menurut hemat saya, tidak adanya sebuah analisa
yang memadai atas poster-poster tersebut. Poster-poster tersebut hanya memiliki
data seputar pembuatnya, judul, dan latar belakang dibuatnya poster tersebut.
Jika saja poster tersebut dilengkapi dengan kajian yang mendalam dengan
melibatkan metodologi tertentu, semisal semiotik, maka buku ini akan menjadi
lebih bernas.***
Salah satu contoh poster dalam buku,
dari www.taschen.com
|
Contoh poster lain dalam buku: www.taschen.com
|
*) Catatan: buku ini diperoleh penulis dalam perjalanan menuju Hong
Kong pada bulan September 2012. Tidak ada catatan apakah buku dijual di
Indonesia atau tidak. info: www.taschen.com
menurutku:
|
Selasa, 18 September 2012
Mendengarkan Konsumen di Media Sosial
Judul: Likeable Social
Media
Penulis: Dave Kerpen
Penerbit: Mc Graw Hill
Halaman: 260 halaman
Harga: US $ 20
Media sosial itu seksi! Demikian sering disebut oleh
para marketer. Bagaimana tidak, dengan media sosial, para marketer dapat
menjangkau target yang sangat spesifik dengan biaya yang relatif lebih murah
ketimbang media tradisional seperti televisi.
Persoalannya, bagaimana seorang marketer harus
menyusun strategi agar kampanye yang dilakukan lewat media
sosial dapat memberikan efek yang positif.
Buku Likeable Social Media ini memberikan semacam pedoman bagai mereka yang
ingin menggunakan media sosial seperti Facebook ataupun Twitter. Penulis buku
ini, Dave Kerpen, memberikan segudang tips agar sebuah produk mendapat respon
yang baik sehingga dapat memberikan efek viral yang sempurna.
Beberapa tips yang disampaikan dalam buku ini antara
lain dengan memosisikan para dengan calon pelanggan. Ia harus dapat
mengerti kemauan dan keinginan para calon konsumen.
Artinya, marketer harus dapat mendengar keinginan
pelanggan. It's
about listening!
Begitu dikatakan oleh Dave Kerpen. Mendegarkan konsumen dan calon konsumen
menjadi hal yang esensial. Konsumen harus didengarkan, baik pujian
hingga cacian mengenai produk yang kita tawarkan.
Mengapa demikian? Karena esensi dari media sosial
marketing adalah mendengarkan dan memberikan respon. Tanpa hal ini, sulit bagi
marketer untuk meningkatkan brand enggagemnet konsumen.
Nah, jika anda adalah peminat social media marketing,
liriklah buku ini.
menurutku:
|
Rabu, 25 Juli 2012
Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia
Judul: Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)
Memahami Jakarta pada masa
kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari
situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian
membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang
dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.
Pada bagian awal buku ini
pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17 ternyata
tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu perbudakan mendapat
tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial.
Penyebabnya pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja
murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.
Akibatnya budak tidak hanya
didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku, Sulawesi atupun
Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka, hingga Filipina.
Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian
hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan
tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan (hal.
31-57).
Kemunculan budak dan pendatang
ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot).
Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina
misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku
ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada keributan. Akibatya
pemerintah harus membatasi perjudian.
Namun, situasinya menjadi
dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa memperoleh
pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun pesta-pesta yang
menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam pajak kepada
pemerintah Batavia.
Masalah lain yang juga sering
muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk agama. Hal ini
terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para pendeta Kristen
terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal.
239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang
dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.
Hal yang harus dicatat mengenai
hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah kenyataan Islam yang
terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah
Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang
agama Katolik.
Pada halaman 217-220 bahkan
disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”, sebaliknya banyak
ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini
menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.
Hal berbeda dialami oleh
praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik
keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan.
Tidak mengherankan jika pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.
Buku ini menarik untuk
memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang
banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi
dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca
lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.
Simak saja buku Semerbak
Bunga di Bandung Raya (1998) yang ditulis oleh Haryoto Kunto. Banyak
cerita dan fakta tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu,
namun disampaikan dengan cara yang “renyah”, menawan , dengan bumbu-bumbu yang
jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk
dinikmati.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar