Asal Usul Banyuwangi
Pada zaman
dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar
yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang
gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi
hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang
kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai
beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan
sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar
kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika
kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden
Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan
itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem,
segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa
hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa
langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita?
Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden
Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis
cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya
manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan
dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan
Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan
musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya.
Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat
penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan
mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun
keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja
Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil
seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah
lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya
bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk
membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati
menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang
budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa
marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan
berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah
tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak
diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di
hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan
matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.
“Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan
oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan
melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat
kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang
secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki
misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden
Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang
telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di
hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau
merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala
ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. ” Begitukah balasanmu padaku?”
tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud
membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun
Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong
itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang
lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai.
Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan
seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun
menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping
seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda.
Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan
kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap
percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah
hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi
berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda
dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan. “Kakak
Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda
tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan
menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening
dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan
bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap
ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris
yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah
sungai lalu menghilang. Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan
harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru
dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!”
Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan
menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa
disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi
kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
Asal Usul Telaga Warna
Zaman
dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama
Kutatanggeuhan. Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai.
Rakyatnya hidup tenang dan sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja Kutatanggeuhan bernama Prabu Suwartalaya
dan permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Raja dan ratu sangant bijaksana sehingga kerjaan yang dipimpin makmur dan
tenteram.
Semua sangat menyenangkan.
Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan
kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat
anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah lebih
baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih
melihat istrinya. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu
terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka
terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali.
Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang
diberinama Gilang Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil
itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun
kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi
putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang
manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan
sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu
mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh
menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia
17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa
aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat
banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa
menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas
dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang
sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,”
sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia
ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat
menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk
negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang
menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang
cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi
kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya.
Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan
kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri.
Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka
gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia
melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru
Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan
permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang
pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana
hening. Tiba-tiba meledaklah tangis Ratu Purbamanah. Dia sangat sedih melihat
kelakuan putrinya.Akhirnya semua pun meneteskan air mata, hingga istana pun
basah oleh air mata mereka. Mereka terus menangis hingga air mata mereka
membanjiri istana, dan tiba-tiba saja dari dalam tanah pun keluar air yang
deras, makin lama makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan Kutatanggeuhan
tenggelam dan terciptalah sebuah danau yang sangat indah.
Di hari yang cerah, kita bisa
melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal
dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun
orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di
dasar telaga.
Asal
Usul Gunung Tangkuban Perahu
tangkuban perahu
Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung
terdapat sebuah tempat rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban
Perahu. Tangkuban Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama
seperti karena bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat Parahyangan gunung itu memang
merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Diceritakan bahwa Raja Sungging
Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang
tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama
Wayungyang yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi.
Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke
keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati.
Dayang Sumbi sangat cantik dan
cerdas, banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang
diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Galau hati
Dayang Sumbi melihat kekacauan yang bersumber dari dirinya. Atas permitaannya
sendiri Dayang Sumbi mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing
jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang
tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa
malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang
mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan
dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang
Sumbi.
Dayang Sumbi pun menikahi Si Tumang
dan dikaruniai bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang
memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring
selalu ditemani bermain oleh Si Tumang yang yang dia ketahui hanya sebagai
anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang
pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sakti.
Pada suatu hari Sangkuriang berburu
di dalam hutan disuruhnya Si Tumang untuk mengejar babi betina yang bernama
Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, Sangkuriang marah dan membunuh Si
Tumang. Daging Si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu
dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya
adalah Si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang
dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka dan
diusirlah Sangkuriang.
Sangkuriang pergi mengembara
mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah
di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi,
tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang
ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya, begitu juga sebaliknya. Terjalinlah
kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui
bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya.
Dayang Sumbi pun berusaha
menjelaskan kesalahpahaman hubungan mereka. Walau demikian, Sangkuriang tetap
memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan
perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum.
Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah
pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung
ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan mejadi Gunung
Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai
dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud
Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain
putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur.
Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di
Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke
arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun
menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah
ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang
Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai
unga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut
dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
Asal
Usul Danau Toba
Pada zaman dahulu di suatu
desa di Sumatera Utara hiduplah seorang petani bernama Toba yang menyendiri di
sebuah lembah yang landai dan subur. Petani itu mengerjakan lahan pertaniannya
untuk keperluan hidupnya.
Selain mengerjakan ladangnya,
kadang-kadang lelaki itu pergi memancing ke sungai yang berada tak jauh dari
rumahnya. Setiap kali dia memancing, mudah saja ikan didapatnya karena di
sungai yang jernih itu memang banyak sekali ikan. Ikan hasil pancingannya dia
masak untuk dimakan.
Pada suatu sore, setelah pulang dari
ladang lelaki itu langsung pergi ke sungai untuk memancing. Tetapi sudah cukup
lama ia memancing tak seekor iakan pun didapatnya. Kejadian yang seperti
itu,tidak pernah dialami sebelumnya. Sebab biasanya ikan di sungai itu mudah
saja dia pancing. Karena sudah terlalu lama tak ada yang memakan umpan
pancingnya, dia jadi kesal dan memutuskan untuk berhenti saja memancing. Tetapi
ketika dia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba pancing itu disambar ikan yang
langsung menarik pancing itu jauh ketengah sungai. Hatinya yang tadi sudah
kesal berubah menjadi gembira, Karena dia tahu bahwa ikan yang menyambar
pancingnya itu adalah ikan yang besar.
Setelah beberapa lama dia biarkan
pancingnya ditarik ke sana kemari, barulah pancing itu disentakkannya, dan
tampaklah seekor ikan besar tergantung dan menggelepar-gelepar di ujung tali
pancingnya. Dengan cepat ikan itu ditariknya ke darat supaya tidak lepas.
Sambil tersenyum gembira mata pancingnya dia lepas dari mulut ikan itu. Pada
saat dia sedang melepaskan mata pancing itu, ikan tersebut memandangnya dengan
penuh arti. Kemudian, setelah ikan itu diletakkannya ke satu tempat dia pun
masuk ke dalam sungai untuk mandi. Perasaannya gembira sekali karena belum
pernah dia mendapat ikan sebesar itu. Dia tersenyum sambil membayangkan betapa
enaknya nanti daging ikan itu kalau sudah dipanggang. Ketika meninggalkan
sungai untuk pulang kerumahnya hari sudah mulai senja.
Setibanya di rumah, lelaki itu
langsung membawa ikan besar hasil pancingannya itu ke dapur. Ketika dia hendak
menyalakan api untuk memanggang ikan itu, ternyata kayu bakar di dapur rumahnya
sudah habis. Dia segera keluar untuk mengambil kayu bakar dari bawah kolong
rumahnya. Kemudian, sambil membawa beberapa potong kayu bakar dia naik kembali
ke atas rumah dan langsung menuju dapur.
Pada saat lelaki itu tiba di dapur,
dia terkejut sekali karena ikan besar itu sudah tidak ada lagi. Tetapi di
tempat ikan itu tadi diletakkan tampak terhampar beberapa keping uang emas.
Karena terkejut dan heran mengalami keadaan yang aneh itu, dia meninggalkan
dapur dan masuk kekamar.
Ketika lelaki itu membuka pintu
kamar, tiba-tiba darahnya tersirap karena didalam kamar itu berdiri seorang
perempuan dengan rambut yang panjang terurai. Perempuan itu sedang menyisir
rambutnya sambil berdiri menghadap cermin yang tergantung pada dinding kamar.
Sesaat kemudian perempuan itu tiba-tiba membalikkan badannya dan memandang
lelaki itu yang tegak kebingungan di mulut pintu kamar. Lelaki itu menjadi
sangat terpesona karena wajah perempuan yang berdiri dihadapannya luar biasa
cantiknya. Dia belum pernah melihat wanita secantik itu meskipun dahulu dia
sudah jauh mengembara ke berbagai negeri.
Karena hari sudah malam, perempuan
itu minta agar lampu dinyalakan. Setelah lelaki itu menyalakan lampu, dia
diajak perempuan itu menemaninya kedapur karena dia hendak memasak nasi untuk
mereka. Sambil menunggu nasi masak, diceritakan oleh perempuan itu bahwa dia
adalah penjelmaan dari ikan besar yang tadi didapat lelaki itu ketika memancing
di sungai. Kemudian dijelaskannya pula bahwa beberapa keping uang emas yang
terletak di dapur itu adalah penjelmaan sisiknya. Setelah beberapa minggu
perempuan itu menyatakan bersedia menerima lamarannya dengan syarat lelaki itu
harus bersumpah bahwa seumur hidupnya dia tidak akan pernah mengungkit asal
usul istrinya myang menjelma dari ikan. Setelah lelaki itu bersumpah demikian,
kawinlah mereka.
Setahun kemudian, mereka dikaruniai
seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Samosir. Anak itu sangat
dimanjakan ibunya yang mengakibatkan anak itu bertabiat kurang baik dan
pemalas.
Setelah cukup besar, anak itu
disuruh ibunya mengantar nasi setiap hari untuk ayahnya yang bekerja di ladang.
Namun, sering dia menolak mengerjakan tugas itu sehingga terpaksa ibunya yang
mengantarkan nasi ke ladang.
Suatu hari, anak itu disuruh ibunya
lagi mengantarkan nasi ke ladang untuk ayahnya. Mulanya dia menolak. Akan
tetapi, karena terus dipaksa ibunya, dengan kesal pergilah ia mengantarkan nasi
itu. Di tengah jalan, sebagian besar nasi dan lauk pauknya dia makan. Setibanya
diladang, sisa nasi itu yang hanya tinggal sedikit dia berikan kepada ayahnya.
Saat menerimanya, si ayah sudah merasa sangat lapar karena nasinya terlambat
sekali diantarkan. Oleh karena itu, maka si ayah jadi sangat marah ketika
melihat nasi yang diberikan kepadanya adalah sisa-sisa. Amarahnya makin
bertambah ketika anaknya mengaku bahwa dia yang memakan sebagian besar dari
nasinya itu. Kesabaran si ayah jadi hilang dan dia pukul anaknya sambil
mengatakan: “Anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau anak
keturunan perempuan yang berasal dari ikan!”
Sambil menangis, anak itu berlari
pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli
ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya di ceritakan
pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena
suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan
kepada anaknya itu. Si ibu menyuruh anaknya agar segera pergi mendaki bukit
yang terletak tidak begitu jauh dari rumah mereka dan memanjat pohon kayu
tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu. Tanpa bertanya lagi, si anak
segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari-lari menuju ke bukit tersebut
dan mendakinya.
Ketika tampak oleh sang ibu anaknya
sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit , dia
pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah mereka
itu. Ketika dia tiba di tepi sungai itu kilat menyambar disertai bunyi guruh
yang menggelegar. Sesaat kemudian dia melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba
berubah menjadi seekor ikan besar. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir
besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air
sungai itu sudah meluap kemana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu
mengalir. Pak Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh
genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi
danau yang sangat besar yang di kemudian hari dinamakan orang Danau Toba.
Sedang Pulau kecil di tengah-tengahnya diberi nama Pulau Samosir.
Cerita Rakyat “Asal Usul Danau
Toba”, diceritakan kembali oleh Kak Ghula
Candi Prambanan
Patung Roro
Jonggrang
Pada jaman dahulu kala di Pulau Jawa terutama di daerah Prambanan
berdiri 2 buah kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Pengging dan Kraton Boko. Kerajaan Pengging adalah kerjaan yang subur dan
makmur yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu
Damar Moyo dan mempunyai seorang putra laki-laki yang bernama Raden Bandung
Bondowoso.
Kraton Boko berada pada wilayah
kekuasaan kerajaan Pengging yang diperintah oleh seorang raja yang kejam dan
angkara murka yang tidak berwujud manusia biasa tetapi berwujud raksasa besar
yang suka makan daging manusia, yang bernama Prabu Boko. Akan tetapi Prabu Boko
memiliki seorang putri yang cantik dan jelita bak bidadari dari khayangan yang
bernama Putri Roro Jonggrang.
Prabu Boko juga memiliki patih yang
berwujud raksasa bernama Patih Gupolo. Prabu Boko ingin memberontak dan ingin
menguasai kerajaan Pengging, maka ia dan Patih Gupolo mengumpulkan kekuatan dan
mengumpulkan bekal dengan cara melatih para pemuda menjadi prajurit dan meminta
harta benda rakyat untuk bekal.
Setelah persiapan dirasa cukup, maka
berangkatlah Prabu Boko dan prajurit menuju kerajaan Pengging untuk
memberontak. Maka terjadilah perang di Kerajaan Pengging antara para prajurit Pengging
dan para prajurit Kraton Boko.
Banyak korban berjatuhan di kedua
belah pihak dan rakyat Pengging menjadi menderita karena perang, banyak rakyat
kelaparan dan kemiskinan.
Mengetahui rakyatnya menderita dan
sudah banyak korban prajurit yang meninggal, maka Prabu Damar Moyo mengutus
anaknya Raden Bandung Bondowoso maju perang melawan Prabu Boko dan terjadilan
perang yang sangat sengit antara Raden Bandung Bondowoso melawan Prabu Boko.
Karena kesaktian Raden Bandung Bondowoso maka Prabu Boko dapat dibinasakan.
Melihat rajanya tewas, maka Patih Gupolo melarikan diri. Raden Bandung
Bondowoso mengejar Patih Gupolo ke Kraton Boko.
Setelah sampai di Kraton Boko, Patih
Gupolo melaporkan pada Puteri Roro Jonggrang bahwa ayahandanya telah tewas di
medan perang, dibunuh oleh kesatria Pengging yang bernama Raden Bandung Bondowoso.
Maka menangislah Puteri Roro Jonggrang, sedih hatinya karena ayahnya telah
tewas di medan perang.
Maka sampailah Raden Bandung
Bondowoso di Kraton Boko dan terkejutlah Raden Bandung Bondowoso melihat Puteri
Loro Jonggrang yang cantik jelita, maka ia ingin mempersunting Puteri Loro
Jonggrang sebagai istrinya.
Akan
tetapi Puteri Loro Jonggrang tidak mau dipersunting Raden Bandung Bondowoso
karena ia telah membunuh ayahnya. Untuk menolak pinangan Raden Bandung
Bondowoso, maka Puteri Loro Jonggrang mempunyai siasat. Puteri Loro Jonggrang
mau dipersunting Raden Bandung Bondowoso asalkan ia sanggup mengabulkan dua
permintaan Puteri Loro Jonggrang. Permintaan yang pertama, Puteri Loro
Jonggrang minta dibuatkan sumur Jalatunda sedangkan permintaan kedua, Puteri
Loro Jonggrang minta dibuatkan 1000 candi dalam waktu satu malam.
Raden
Bandung Bondowoso menyanggupi kedua permintaan puteri tersebut. Segeralah Raden
Bandung Bondowoso membuat sumur Jalatunda dan setelah jadi ia memanggil Puteri
Loro Jonggrang untuk melihat sumur itu.
Kemudian Puteri Loro Jonggrang
menyuruh Raden Bandung Bondowoso masuk ke dalam sumur. Setelah Raden Bandung
Bondowoso masuk ke dalam sumur, Puteri Loro Jonggrang memerintah Patih Gupolo
menimbun sumur dan Raden Bandung Bondowoso pun tertimbun batu di dalam sumur.
Puteri Loro Jonggrang dan Patih Gupolo menganggap bahwa Raden Bandung Bondowoso
telah mati di sumur akan tetapi di dalam sumur ternyata Raden Bandung Bondowoso
belum mati maka ia bersemedi untuk keluar dari sumur dan Raden Bandung Bondowoso
keluar dari sumur dengan selamat.
Raden Bandung Bondowoso menemui
Puteri Loro Jonggrang dengan marah sekali karena telah menimbun dirinya dalam
sumur. Namun karena kecantikan Puteri
Loro Jonggrang kemarahan Raden Bandung Bondowoso pun mereda.
Kemudian
Puteri Loro Jonggrang menagih janji permintaan yang kedua kepada Raden Bandung
Bondowoso untuk membuatkan 1000 candi dalam waktu 1 malam. Maka segeralah Raden
Bandung Bondowoso memerintahkan para jin untuk membuat candi akan tetapi pihak
Puteri Loro Jonggrang ingin menggagalkan usaha Raden Bandung Bondowoso membuat
candi. Ia memerintahkan para gadis menumbuk dan membakar jerami supaya
kelihatan terang untuk pertanda pagi sudah tiba dan ayam pun berkokok
bergantian.
Mendengar ayam berkokok dan orang
menumbuk padi serta di timur kelihatan terang maka para jin berhenti membuat
candi. Jin melaporkan pada Raden Bandung Bondowoso bahwa jin tidak dapat
meneruskan membuat candi yang kurang satu karena pagi sudah tiba. Akan tetapi
firasat Raden Bandung Bondowoso pagi belum tiba. Maka dipanggillah Puteri Loro
Jonggrang disuruh menghitung candi dan ternyata jumlahya 999 candi, tinggal 1
candi yang belum jadi.
Maka Puteri Loro Jonggrang tidak mau
dipersunting Raden Bandung Bondowoso. Karena ditipu dan dipermainkan maka Raden
Bandung Bondowoso murka sekali dan mengutuk Puteri Loro Jonggrang “Hai Loro
Jonggrang candi kurang satu dan genapnya seribu engkaulah orangnya”. Maka aneh
bin ajaib Puteri Loro Jonggrang berubah ujud menjadi arca patung batu.
Dan sampai sekarang arca patung Loro
Jonggrang masih ada di Candi Prambanan
dan Raden Bandung Bondowoso mengutuk para gadis di sekitar Prambanan menjadi
perawan kasep (perawan tua) karena telah membantu Puteri Loro Jonggrang.
Dan menurut kepercayaan orang dahulu
bahwa pacaran di candi Prambanan
akan putus cintanya.
Aryo Menak dan Tujuh Bidadari
Aryo Menak adalah seorang pemuda
yang sangat gemar mengembara ke tengah hutan. Pada suatu bulan purnama, ketika
dia beristirahat dibawah pohon di dekat sebuah danau, dilihatnya cahaya sangat
terang berpendar di pinggir danau itu. Perlahan-lahan ia mendekati sumber
cahaya tadi. Alangkah terkejutnya, ketika dilihatnya tujuh orang bidadari
sedang mandi dan bersenda gurau disana.
Ia sangat terpesona oleh kecantikan mereka. Timbul keinginannya
untuk memiliki seorang diantara mereka. Iapun mengendap-endap, kemudian dengan
secepatnya diambil sebuah selendang dari bidadari-bidadari
itu.
Tak lama kemudian, para bidadari
itu selesai mandi dan bergegas mengambil pakaiannya masing-masing. Merekapun
terbang ke istananya di sorga kecuali yang termuda. Bidadari
itu tidak dapat terbang tanpa selendangnya. Iapun sedih dan menangis.
Aryo Menak kemudian mendekatinya. Ia
berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ditanyakannya apa yang terjadi pada bidadari
itu. Lalu ia mengatakan: “Ini mungkin sudah kehendak para dewa agar bidadari
berdiam di bumi untuk sementara waktu. Janganlah bersedih. Saya akan berjanji
menemani dan menghiburmu.”
Bidadari
itu rupanya percaya dengan omongan Arya Menak. Iapun tidak menolak ketika Arya
Menak menawarkan padanya untuk tinggal di rumah Arya Menak. Selanjutnya Arya
Menak melamarnya. Bidadari itupun menerimanya.
Dikisahkan, bahwa bidadari
itu masih memiliki kekuatan gaib. Ia dapat memasak sepanci nasi hanya dari
sebutir beras. Syaratnya adalah Arya Menak tidak boleh menyaksikannya.
Pada suatu hari, Arya Menak menjadi
penasaran. Beras di lumbungnya tidak pernah berkurang meskipun bidadari
memasaknya setiap hari. Ketika isterinya tidak ada dirumah, ia mengendap ke
dapur dan membuka panci tempat isterinya memasak nasi. Tindakan ini membuat
kekuatan gaib isterinya sirna.
Bidadari
sangat terkejut mengetahui apa yang terjadi. Mulai saat itu, ia harus memasak
beras dari lumbungnya Arya Menak. Lama kelamaan beras itupun makin berkurang.
Pada suatu hari, dasar lumbungnya sudah kelihatan. Alangkah terkejutnya bidadari
itu ketika dilihatnya tersembul selendangnya yang hilang. Begitu melihat
selendang tersebut, timbul keinginannya untuk pulang ke sorga. Pada suatu
malam, ia mengenakan kembali semua pakaian sorganya. Tubuhnya menjadi ringan,
iapun dapat terbang ke istananya.
Arya Menak menjadi sangat sedih.
Karena keingintahuannya, bidadari
meninggalkannya. Sejak saat itu ia dan anak keturunannya berpantang untuk memakan
nasi
(Disadur dari Ny. S.D.B. Aman,”Aryo
Menak and His Wife,” Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976)
Legenda Telaga Bidadari
Telaga itu tidak seberapa lebar dan
dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan
kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau
kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah
keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika
pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap
madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung
namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang
gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi
racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Daerah
itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri
dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh
karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup
suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang
Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung
datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan
melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah
itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta,
semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah
bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke
dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon
itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu
Pulut.
Akan
tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah.
“Heran,”
ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung
tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring
di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan
sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan
lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak
terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang
Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya
membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu
tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah
berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara
hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya.
Matanya diusap-usap.
Ternyata,
ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga.
Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka
bersembur-semburan air.
“Aku
ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk
mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Dari
tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk
menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di
kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas
bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain
sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah
seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung
(tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam
kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika
ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan
paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan,
ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang
Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan
Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama
hamba.”
Tidak
ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama
Awang Sukma.
Awang
Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri
bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi,
antara ketampanan dan kecantikan,
kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih
mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya
mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya
memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa
yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri
bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan
ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya.
Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata,
suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama
kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan
putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal,
tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada
suaminya.
“Aku
harus kembali,” katanya dalam hati.
Kemudian,
putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang
belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil
menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma
terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan
istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai.
Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah
putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji
kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan.
Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang
menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa
meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya.
Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak
mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada
Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi
nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk
wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota
Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang.
Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah
Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Asal
Nama Kota Surabaya
sura dan boyo
Setidaknya ada tiga keterangan tentang muasal nama Surabaya.
Keterangan pertama menyebutkan, nama Surabaya awalnya adalah Churabaya, desa
tempat menyeberang di tepian Sungai Brantas. Hal itu
tercantum dalam prasasti Trowulan I tahun 1358 Masehi. Nama Surabaya juga
tercantum dalam Pujasastra Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca. Dalam
tulisan itu Surabaya (Surabhaya) tercantum dalam pujasastra tentang perjalanan
pesiar pada tahun 1365 yang dilakukan Hayam Wuruk, Raja Majapahit.
Namun Surabaya sendiri diyakini oleh para ahli telah ada
pada tahun-tahun sebelum prasasti-prasasti tersebut dibuat. Seorang peneliti Belanda,
GH Von Faber dalam karyanya En Werd Een Stad Geboren (Telah Lahir Sebuah Kota)
membuat hipotesis, Surabaya didirikan Raja Kertanegara tahun 1275, sebagai
pemukiman baru bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan
Kemuruhan tahun 1270 M.
Versi berikutnya, nama Surabaya berkait erat dengan cerita
tentang perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling.
Konon, setelah mengalahkan tentara Tartar (Mongol), Raden Wijaya yang merupakan
raja pertama Majapahit, mendirikan kraton di Ujung Galuh, sekarang kawasan
pelabuhan Tanjung Perak, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin
daerah itu. Lama-lama Jayengrono makin kuat dan mandiri karena menguasai ilmu
Buaya, sehingga mengancam kedaulatan Majapahit.
Untuk menaklukkan Jayengrono, diutuslah Sawunggaling yang
menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai
Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung tujuh hari
tujuh malam dan berakhir tragis, keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Dalam versi lainnya lagi, kata Surabaya muncul dari mitos
pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), perlambang
perjuangan antara darat dan laut. Penggambaran pertarungan itu terdapat dalam
monumen suro dan boyo yang ada dekat kebun binatang di Jalan Setail Surabaya
Versi terakhir, dikeluarkan pada tahun 1975, ketika Walikota
Subaya Soeparno menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya.
Ini berarti pada tahun 2005 Surabaya sudah berusia 712 tahun. Penetapan itu
berdasar kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk pemerintah kota bahwa
nama Surabaya berasal dari kata sura ing bhaya yang berarti keberanian
menghadapi bahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar