Naskah dramaa
Malin Kundang
PROLOG: dulu, hiduplah seorang wanita tua dengan anaknya
yang bernama Malin. Mereka hidup menderita dan bergantung pada hasil hutan.]
Ibu: "Malin, datang ke sini anak, membantu saya untuk membawa kayu bakar ini. "
Malin: "Ya ibu, tunggu sebentar." (Malin membantu ibunya)
Malin: "Ibu, berapa lama kita akan bertahan dengan kondisi ini? Saya ingin ada perubahan dalam hidup kita."
Ibu: "Entahlah, Ibu tidak tahu Malin, kita harus bersabar dan jangan berhenti berdoa kepada Allah. "
Malin: "Ibu, aku punya ide, biarkan aku pergi untuk mengubah keberuntungan saya? Siapa tahu aku akan menjadi orang kaya."
Ibu: ...
[Malin dan ibunya kembali ke rumah, tapi ibunya hanya diam tentang ide. Setelah mereka tiba di rumah.]
Malin: "Bu, bagaimana dengan ide saya?"
Ibu: "Saya pikir itu bukan ide yang baik anakku. Karena, jika kamu pergi, siapa yang akan menjagaku di sini."
Malin: "Tapi Ibu, jika saya tidak mengubah peruntungan, bagaimana kita bisa bertahan? Saya berjanji Ibu, jika bisa menjadi orang kaya, saya akan kembali. Tenang saja Ibu, saya akan berbicara dengan Dayat, supaya menengok Ibu setiap hari hingga saya kembali ke rumah."
[Ibu Malin tidak bisa melarang apa Malin inginkan. Akhirnya, dia setuju dengan ide Malin.]
Ibu: "Baiklah, jika itu memang keinginanmu, Malin! Tapi, kamu harus pegang janjimu untuk kembali ke kampung ini."
[Malin pergi ke rumah Dayat untuk memintanya menjaga ibunya, hingga ia kembali dari perantauan membawa uang yang banyak. Dayat merupakan sahabat Malin, yang selalu ke mana-mana suka maupun duka.]
Dayat: "Kamu mau ke mana, Malin?"
Malin: "Besok, aku akan merantau untuk mengubah nasib."
Dayat: "Apa? Jika kamu pergi merantau, siapa yang akan menjaga Ibumu di sini?"
Malin: "Karena itu, aku mendatangimu. Aku ingin menjaga Ibuku—tengoklah ia setiap hari itu sudah cukup baginya—hingga aku kembali.”
Dayat: "Oh, baiklah kalau begitu. Ingat pesanku untukmu, jangan lupakan kita yang ada di sini, Malin."
[Keesokan harinya, Ibu Malin mengantarkan anaknya ke pelabuhan.]
Ibu: "Jaga dirimu baik-baik, Nak. Cepatlah pulang, setelah kamu sukses di rantau.”
Malin: "Ya Ibu, doakan saya supaya saya cepat mendapat rezeki yang banyak.”
Malin: “Dayat, tolong kamu jaga Ibu saya baik-baik. Terima kasih sebelumnya. Selamat tinggal.”
Dayat: "Jangan khawatirkan soal itu, Malin. Saya berjanji akan merawat ibumu sepenuh jiwa raga saya. Jaga dirimu baik-baik. "
Ibu: "Selamat jalan, Anakku."
Dayat: "Selamat jalan, Malin."
[Akhirnya, Malin memulai peruntungannya di perantauan. Ia pergi berlayar dengan saudagar kaya. Di kapal, Kapten memberinya pekerjaan sebagai kru. Kapten memiliki putri semata wayang, yang telah menjadi seorang anak gadis cantik. Nama anak gadis Kapten adalah Ningrum. Ketika Malin melihatnya, ia jatuh hati. Hal ini memberikan semangat kepada Malin untuk bekerja lebih giat lagi.]
Malin: (Berkata di dalam hati, saat melihat Ningrum mendatanginya) "Ningrum sangat cantik. Aku menyukainya, dan harus menikahinya. Dengan begitu, jika sesuatu terjadi pada ayahnya, warisannya akan jatuh ke tanganku, sehingga aku akan menjadi orang kaya.”
Ningrum: "Apakah kamu melihat ayahku?”
Malin: "Hmm, saya tidak melihatnya. Mungkin ia pergi ke dapur. Cobalah ke sana untuk melihatnya."
Ningrum: "Oh, baiklah. Saya akan ke sana menemuinya."
Malin: [Tersenyum] "Ya, silakan Nona. Apakah perlu kuantar?”
Ningrum: [Hanya tersenyum, sambil berjalan meninggalkan Malin.]
[Sementara itu, di kampung halaman Malin, Ibu Malin sangat gelisah. Ia resah bagaimana Malin menjalani kehidupannya di perantauan. Apakah Malin sehat? Apakah Malin bisa menjaga dirinya baik-baik? Semua pertanyaan-pertanyaan khas orang tua yang khawatir akan anaknya menggelayut menjadi beban pikiran Ibu Malin. Sementara itu, ia juga khawatir Malin tidak pulang kembali ke kampung halamannya, dan melupakan dirinya.]
Ibu: "Dayat, saya rindu sekali dengan Malin. Kira-kira, kapankah ia kembali? Apakah ia baik-baik saja saat ini?
Dayat: "Jangan takut, Ibu. Malin akan pulang. Ia telah berjanji. Sementara itu, biarkan saya menjaga Ibu.”
Ibu: "Ya, terima kasih, Dayat. Entah, apa jadinya saya tanpa bantuanmu."
Dayat: “Jangan terlalu dipikirkan, Ibu.”
[Suatu hari, kapten memanggil Malin, karena ia akan menaikkan jabatan Malin atas prestasi kerjanya selama ini. Dengan jabatan ini, dalam beberapa tahun, membuat Malin menjadi orang kaya.]
Malin: "Sekarang, saya kaya raya. Saya dapat membeli semuanya dengan uang saya. Karena itu, Ningrum harus menikah dengan saya.”
[Semakin hari, Ibu Malin semakin merindukan anaknya. Ketuaannya membuat ia lelah menunggu Malin. Namun, Dayat selalu memberikan dukungan untuk Ibu Malin, bahwa Malin yang akan datang kembali dan orang kaya.]
Dayat: "Jangan sedih, Ibu."
Ibu: "Saya lelah, Dayat. Saya lelah menunggu Malin. Kita tidak pernah mendapatkan berita dari Malin sedikit pun.”
Dayat: "Saya percaya Ibu, bahwa Malin akan datang kembali dan menjadi orang kaya.”
Ibu: "Apakah kamu yakin, Dayat?"
Dayat: "Ya, Ibu. Jangan sedih lagi ibu."
[Setelah Malin telah menjadi orang kaya, Malin menikahi Ningrum. Mereka hidup bahagia dan menjadi pasangan yang romantis.]
Malin: “Sayang, apa yang sedang kamu pikirkan?”
Ningrum: “Malin suamiku, kita kan sudah menikah. Bagaimana kalau kita berbulan madu?”
Malin: “Sepertinya, itu ide bagus, bagaimana kalau kita Pulau Dua Angsa?”
Ningrum: “Wah, pulau itu sangat bagus. Saya setuju.”
Malin: “Oke! Kalau begitu, kita ke sana besok.”
[Keesokan harinya, Malin serta istrinya berlayar ke Pulau Dua Angsa. Dalam perjalanannya, mereka singgah ke kampung halaman Malin, untuk mengisi berbagai perbekalan. Tapi, Malin tidak menemui Ibunya seperti yang telah dijanjikan. Ia hanya berjalan-jalan di sekitar dermaga saja. Ketika itu, Dayat – sahabat Malin – melihatnya.]
Dayat: "Malin? Apakah dia Malin? Ya, seperti dia adalah Malin. Saya harus mengatakan itu kepada Ibunya."
[Dayat pergi ke rumah Ibu Malin untuk mengabarkan kedatangan Malin. Ia sangat senang mengetahui Malin datang ke kampung halamannya. Jika, Ibu Malin mengetahui berita ini, tentu hatinya bahagia.]
Dayat: "Ibu... Ibu ..."
Ibu: "Ya, saya di sini, Dayat."
Dayat: "Ibu, Malin pulang. Ia ada di pelabuhan sekarang. Tampaknya, ia telah menjadi orang kaya sekarang!"
Ibu: "Apa kamu yakin kalau yang kamu lihat adalah Malin?"
Dayat: "Ya, saya yakin Bu. Saya tidak mungkin bisa melupakan wajahnya. Saya masih ingat wajah Malin."
Ibu: "Jika apa yang kamu lihat benar, ayo temani saya pergi ke sana."
[Dayat mendampingi Ibu Malin untuk menemui anaknya. Sesampainya di pelabuhan, Ibu Malin memang melihat anaknya. Saking harunya, air mata keluar dari matanya. Ia memanggil Malin dari kejauhan untuk kemudian mendekatinya.]
Ibu: "Malin, Malin, anakku! Malin …"
Ningrum: "Siapa itu wanita tua, Suamiku?"
[Malin tidak menjawab pertanyaan Ningrum, karena tenggorokannya tercekat tidak bisa menjawab pertanyaannya dari istrinya.]
Ningrum: "Siapa dia, Suamiku?"
Ibu: “Malin, siapa ia? Apakah ia Istrimu? Ia sungguh wanita yang sangat cantik.“ [Ibu Malin membuka tangannya untuk memeluk menantunya.]
Ningrum: [Tapi, Ningrum menepis pelukan itu.] "Issh, jangan sentuh aku!"
Malin: "Jangan kamu menyentuhnya! Dasar wanita kotor! Kulitmu bisa mengotori kulitnya!"
Ningrum: "Siapa wanita tua ini, Malin? Benarkah ia Ibumu? Uh, ia benar-benar sangat kotor."
Malin: "Saya tidak tahu. Saya tidak mengenal wanita ini. "
Ibu: "Malin, anakku. Kenapa kamu ini, Nak? Apa salah Ibu? Aku ini Ibumu. Ibumu. Kamu telah berjanji untuk kembali ke kampung ini untuk menemuiku, jika kamu sudah kaya. Sekarang kamu sudah kaya, dan bukankah kedatanganmu ke sini untuk menemuiku?”
Malin: "Cih, Ibuku? Mengaku-ngaku saja kamu sebagai Ibu? Saya tidak mengenal kamu. Jika saya kaya, tentu Ibu saya juga kaya. Tidak sepertimu, kotor dan bau!”
Ibu: "MALIN!!!” [Ibu Malin berkata keras.]
Ibu: “Saya Ibumu—ibu yang telah melahirkanmu! Saya bisa mengatakan fakta tentang dirimu."
Ningrum: "Pergi saja kamu, wanita tua."
Ibu: "Malin ... Malin ..."
Malin: "Pergi. Pergilah sekarang, kamu!"
Dayat: "MALIN! Lupakah kamu terhadap Ibumu? Lupakah kamu terhadap saya—sahabat baikmu? Ini Ibumu, Malin. Ibumu."
Malin: "Tidak, saya tidak lupa. Saya benar-benar tidak mengenal kamu dan wanita tua itu. Seingat saya, saya tidak pernah memiliki sahabat sepertimu."
Dayat: "Jahat, kamu! Celakalah kamu, Malin."
Ibu: "Ingat saya, Nak? Saya adalah ibumu."
Dayat: "Tolong, ingat ibumu, Malin. Ia selalu menunggumu kembali ke kampung halamanmu. Ingatlah janjimu, Malin."
[Malin tidak peduli. Ia menyeret Ibunya dengan kasar, hingga wanita tua itu jatuh tersungkur.]
Malin: Jangan panggil aku sebagai anakmu, wanita kotor! Ayo, Ningrum, kita harus pergi secepatnya dari tempat ini sebelum wanita ini mengotori wajah kita."
Ningrum: "Ya, Suamiku."
[Setelah mendorong paksa Ibunya pergi, Malin kembali ke kapalnya. Sementara Ibunya, masih berteriak memanggil-manggil namanya.]
Ibu: “Malin ... Malin ... Jangan biarkan Ibumu Malin!!!“
[Hilang sudah kesabaran Ibu Malin melihat tingkah anaknya. Lalu, dengan kesal ia mengucap asal kalimat “jadilah batu!”. Kata-kata seorang Ibu yang sedang marah menjadi doa yang didengar oleh Tuhan.]
Ibu: “Ya Tuhan, kenapa anakku seperti itu? Apa salahku? Apa dosaku? Ia sama sekali melupakanku. Saya tidak terima perlakuan itu darinya. Sekarang hilang sudah kesabaranku. Aku mengutuknya: Jadilah batu!!!”
[Setelah itu, tiba-tiba datanglah badai menghancurkan Kapal Malin, petir menyambar tubuhnya. Dan ...]
Malin: “Apa yang terjadi? Tubuh saya tidak bisa digerakkan! Maafkan saya, Ibu. Maafkan saya ...!”
Ningrum: “Apa yang terjadi? Apa yang terjadimu, Malin? Kamu kenapa?”
[EPILOG: Malin pun berubah menjadi batu, ketika ia meminta ampun kepada Ibunya. Kapal, kru serta istrinya tenggelam ke dasar laut. Itulah hasil jika kita memberontak kepada orang tua kami terutama untuk ibu kita.]
Ibu: "Malin, datang ke sini anak, membantu saya untuk membawa kayu bakar ini. "
Malin: "Ya ibu, tunggu sebentar." (Malin membantu ibunya)
Malin: "Ibu, berapa lama kita akan bertahan dengan kondisi ini? Saya ingin ada perubahan dalam hidup kita."
Ibu: "Entahlah, Ibu tidak tahu Malin, kita harus bersabar dan jangan berhenti berdoa kepada Allah. "
Malin: "Ibu, aku punya ide, biarkan aku pergi untuk mengubah keberuntungan saya? Siapa tahu aku akan menjadi orang kaya."
Ibu: ...
[Malin dan ibunya kembali ke rumah, tapi ibunya hanya diam tentang ide. Setelah mereka tiba di rumah.]
Malin: "Bu, bagaimana dengan ide saya?"
Ibu: "Saya pikir itu bukan ide yang baik anakku. Karena, jika kamu pergi, siapa yang akan menjagaku di sini."
Malin: "Tapi Ibu, jika saya tidak mengubah peruntungan, bagaimana kita bisa bertahan? Saya berjanji Ibu, jika bisa menjadi orang kaya, saya akan kembali. Tenang saja Ibu, saya akan berbicara dengan Dayat, supaya menengok Ibu setiap hari hingga saya kembali ke rumah."
[Ibu Malin tidak bisa melarang apa Malin inginkan. Akhirnya, dia setuju dengan ide Malin.]
Ibu: "Baiklah, jika itu memang keinginanmu, Malin! Tapi, kamu harus pegang janjimu untuk kembali ke kampung ini."
[Malin pergi ke rumah Dayat untuk memintanya menjaga ibunya, hingga ia kembali dari perantauan membawa uang yang banyak. Dayat merupakan sahabat Malin, yang selalu ke mana-mana suka maupun duka.]
Dayat: "Kamu mau ke mana, Malin?"
Malin: "Besok, aku akan merantau untuk mengubah nasib."
Dayat: "Apa? Jika kamu pergi merantau, siapa yang akan menjaga Ibumu di sini?"
Malin: "Karena itu, aku mendatangimu. Aku ingin menjaga Ibuku—tengoklah ia setiap hari itu sudah cukup baginya—hingga aku kembali.”
Dayat: "Oh, baiklah kalau begitu. Ingat pesanku untukmu, jangan lupakan kita yang ada di sini, Malin."
[Keesokan harinya, Ibu Malin mengantarkan anaknya ke pelabuhan.]
Ibu: "Jaga dirimu baik-baik, Nak. Cepatlah pulang, setelah kamu sukses di rantau.”
Malin: "Ya Ibu, doakan saya supaya saya cepat mendapat rezeki yang banyak.”
Malin: “Dayat, tolong kamu jaga Ibu saya baik-baik. Terima kasih sebelumnya. Selamat tinggal.”
Dayat: "Jangan khawatirkan soal itu, Malin. Saya berjanji akan merawat ibumu sepenuh jiwa raga saya. Jaga dirimu baik-baik. "
Ibu: "Selamat jalan, Anakku."
Dayat: "Selamat jalan, Malin."
[Akhirnya, Malin memulai peruntungannya di perantauan. Ia pergi berlayar dengan saudagar kaya. Di kapal, Kapten memberinya pekerjaan sebagai kru. Kapten memiliki putri semata wayang, yang telah menjadi seorang anak gadis cantik. Nama anak gadis Kapten adalah Ningrum. Ketika Malin melihatnya, ia jatuh hati. Hal ini memberikan semangat kepada Malin untuk bekerja lebih giat lagi.]
Malin: (Berkata di dalam hati, saat melihat Ningrum mendatanginya) "Ningrum sangat cantik. Aku menyukainya, dan harus menikahinya. Dengan begitu, jika sesuatu terjadi pada ayahnya, warisannya akan jatuh ke tanganku, sehingga aku akan menjadi orang kaya.”
Ningrum: "Apakah kamu melihat ayahku?”
Malin: "Hmm, saya tidak melihatnya. Mungkin ia pergi ke dapur. Cobalah ke sana untuk melihatnya."
Ningrum: "Oh, baiklah. Saya akan ke sana menemuinya."
Malin: [Tersenyum] "Ya, silakan Nona. Apakah perlu kuantar?”
Ningrum: [Hanya tersenyum, sambil berjalan meninggalkan Malin.]
[Sementara itu, di kampung halaman Malin, Ibu Malin sangat gelisah. Ia resah bagaimana Malin menjalani kehidupannya di perantauan. Apakah Malin sehat? Apakah Malin bisa menjaga dirinya baik-baik? Semua pertanyaan-pertanyaan khas orang tua yang khawatir akan anaknya menggelayut menjadi beban pikiran Ibu Malin. Sementara itu, ia juga khawatir Malin tidak pulang kembali ke kampung halamannya, dan melupakan dirinya.]
Ibu: "Dayat, saya rindu sekali dengan Malin. Kira-kira, kapankah ia kembali? Apakah ia baik-baik saja saat ini?
Dayat: "Jangan takut, Ibu. Malin akan pulang. Ia telah berjanji. Sementara itu, biarkan saya menjaga Ibu.”
Ibu: "Ya, terima kasih, Dayat. Entah, apa jadinya saya tanpa bantuanmu."
Dayat: “Jangan terlalu dipikirkan, Ibu.”
[Suatu hari, kapten memanggil Malin, karena ia akan menaikkan jabatan Malin atas prestasi kerjanya selama ini. Dengan jabatan ini, dalam beberapa tahun, membuat Malin menjadi orang kaya.]
Malin: "Sekarang, saya kaya raya. Saya dapat membeli semuanya dengan uang saya. Karena itu, Ningrum harus menikah dengan saya.”
[Semakin hari, Ibu Malin semakin merindukan anaknya. Ketuaannya membuat ia lelah menunggu Malin. Namun, Dayat selalu memberikan dukungan untuk Ibu Malin, bahwa Malin yang akan datang kembali dan orang kaya.]
Dayat: "Jangan sedih, Ibu."
Ibu: "Saya lelah, Dayat. Saya lelah menunggu Malin. Kita tidak pernah mendapatkan berita dari Malin sedikit pun.”
Dayat: "Saya percaya Ibu, bahwa Malin akan datang kembali dan menjadi orang kaya.”
Ibu: "Apakah kamu yakin, Dayat?"
Dayat: "Ya, Ibu. Jangan sedih lagi ibu."
[Setelah Malin telah menjadi orang kaya, Malin menikahi Ningrum. Mereka hidup bahagia dan menjadi pasangan yang romantis.]
Malin: “Sayang, apa yang sedang kamu pikirkan?”
Ningrum: “Malin suamiku, kita kan sudah menikah. Bagaimana kalau kita berbulan madu?”
Malin: “Sepertinya, itu ide bagus, bagaimana kalau kita Pulau Dua Angsa?”
Ningrum: “Wah, pulau itu sangat bagus. Saya setuju.”
Malin: “Oke! Kalau begitu, kita ke sana besok.”
[Keesokan harinya, Malin serta istrinya berlayar ke Pulau Dua Angsa. Dalam perjalanannya, mereka singgah ke kampung halaman Malin, untuk mengisi berbagai perbekalan. Tapi, Malin tidak menemui Ibunya seperti yang telah dijanjikan. Ia hanya berjalan-jalan di sekitar dermaga saja. Ketika itu, Dayat – sahabat Malin – melihatnya.]
Dayat: "Malin? Apakah dia Malin? Ya, seperti dia adalah Malin. Saya harus mengatakan itu kepada Ibunya."
[Dayat pergi ke rumah Ibu Malin untuk mengabarkan kedatangan Malin. Ia sangat senang mengetahui Malin datang ke kampung halamannya. Jika, Ibu Malin mengetahui berita ini, tentu hatinya bahagia.]
Dayat: "Ibu... Ibu ..."
Ibu: "Ya, saya di sini, Dayat."
Dayat: "Ibu, Malin pulang. Ia ada di pelabuhan sekarang. Tampaknya, ia telah menjadi orang kaya sekarang!"
Ibu: "Apa kamu yakin kalau yang kamu lihat adalah Malin?"
Dayat: "Ya, saya yakin Bu. Saya tidak mungkin bisa melupakan wajahnya. Saya masih ingat wajah Malin."
Ibu: "Jika apa yang kamu lihat benar, ayo temani saya pergi ke sana."
[Dayat mendampingi Ibu Malin untuk menemui anaknya. Sesampainya di pelabuhan, Ibu Malin memang melihat anaknya. Saking harunya, air mata keluar dari matanya. Ia memanggil Malin dari kejauhan untuk kemudian mendekatinya.]
Ibu: "Malin, Malin, anakku! Malin …"
Ningrum: "Siapa itu wanita tua, Suamiku?"
[Malin tidak menjawab pertanyaan Ningrum, karena tenggorokannya tercekat tidak bisa menjawab pertanyaannya dari istrinya.]
Ningrum: "Siapa dia, Suamiku?"
Ibu: “Malin, siapa ia? Apakah ia Istrimu? Ia sungguh wanita yang sangat cantik.“ [Ibu Malin membuka tangannya untuk memeluk menantunya.]
Ningrum: [Tapi, Ningrum menepis pelukan itu.] "Issh, jangan sentuh aku!"
Malin: "Jangan kamu menyentuhnya! Dasar wanita kotor! Kulitmu bisa mengotori kulitnya!"
Ningrum: "Siapa wanita tua ini, Malin? Benarkah ia Ibumu? Uh, ia benar-benar sangat kotor."
Malin: "Saya tidak tahu. Saya tidak mengenal wanita ini. "
Ibu: "Malin, anakku. Kenapa kamu ini, Nak? Apa salah Ibu? Aku ini Ibumu. Ibumu. Kamu telah berjanji untuk kembali ke kampung ini untuk menemuiku, jika kamu sudah kaya. Sekarang kamu sudah kaya, dan bukankah kedatanganmu ke sini untuk menemuiku?”
Malin: "Cih, Ibuku? Mengaku-ngaku saja kamu sebagai Ibu? Saya tidak mengenal kamu. Jika saya kaya, tentu Ibu saya juga kaya. Tidak sepertimu, kotor dan bau!”
Ibu: "MALIN!!!” [Ibu Malin berkata keras.]
Ibu: “Saya Ibumu—ibu yang telah melahirkanmu! Saya bisa mengatakan fakta tentang dirimu."
Ningrum: "Pergi saja kamu, wanita tua."
Ibu: "Malin ... Malin ..."
Malin: "Pergi. Pergilah sekarang, kamu!"
Dayat: "MALIN! Lupakah kamu terhadap Ibumu? Lupakah kamu terhadap saya—sahabat baikmu? Ini Ibumu, Malin. Ibumu."
Malin: "Tidak, saya tidak lupa. Saya benar-benar tidak mengenal kamu dan wanita tua itu. Seingat saya, saya tidak pernah memiliki sahabat sepertimu."
Dayat: "Jahat, kamu! Celakalah kamu, Malin."
Ibu: "Ingat saya, Nak? Saya adalah ibumu."
Dayat: "Tolong, ingat ibumu, Malin. Ia selalu menunggumu kembali ke kampung halamanmu. Ingatlah janjimu, Malin."
[Malin tidak peduli. Ia menyeret Ibunya dengan kasar, hingga wanita tua itu jatuh tersungkur.]
Malin: Jangan panggil aku sebagai anakmu, wanita kotor! Ayo, Ningrum, kita harus pergi secepatnya dari tempat ini sebelum wanita ini mengotori wajah kita."
Ningrum: "Ya, Suamiku."
[Setelah mendorong paksa Ibunya pergi, Malin kembali ke kapalnya. Sementara Ibunya, masih berteriak memanggil-manggil namanya.]
Ibu: “Malin ... Malin ... Jangan biarkan Ibumu Malin!!!“
[Hilang sudah kesabaran Ibu Malin melihat tingkah anaknya. Lalu, dengan kesal ia mengucap asal kalimat “jadilah batu!”. Kata-kata seorang Ibu yang sedang marah menjadi doa yang didengar oleh Tuhan.]
Ibu: “Ya Tuhan, kenapa anakku seperti itu? Apa salahku? Apa dosaku? Ia sama sekali melupakanku. Saya tidak terima perlakuan itu darinya. Sekarang hilang sudah kesabaranku. Aku mengutuknya: Jadilah batu!!!”
[Setelah itu, tiba-tiba datanglah badai menghancurkan Kapal Malin, petir menyambar tubuhnya. Dan ...]
Malin: “Apa yang terjadi? Tubuh saya tidak bisa digerakkan! Maafkan saya, Ibu. Maafkan saya ...!”
Ningrum: “Apa yang terjadi? Apa yang terjadimu, Malin? Kamu kenapa?”
[EPILOG: Malin pun berubah menjadi batu, ketika ia meminta ampun kepada Ibunya. Kapal, kru serta istrinya tenggelam ke dasar laut. Itulah hasil jika kita memberontak kepada orang tua kami terutama untuk ibu kita.]
malin Kundang
Disebuah desa bernama suka maju hiduplah seorang pemuda yg bernama
Malin. Ia hidup bersama ibunya, sedangkan ayahnya telah lama meninggal dunia.
Suatu hari Malin menyampaikan keinginannya kepada ibunya untuk pergi merantau
ke kota.
Malin : “Bu, saya mau pergi merantau ke kota saja,siapa tahu disana saya bisa mendapat
pekerjaan demi kehidupan kita.”
Ibu : “Kau yakin nak? Mencari pekerjaan di kota besar itu lebih sulit daripada mencari
pekerjaan di desa kita ini”
Malin : “Saya yakin Bu, tolong izinkan saya ya! “
Ibu : “Baiklah kalau itu keinginan mu,Ibu izinkan.“
Esok paginya berangkatlah Malin ke kota untuk mencari pekerjaan.
Tempat demi tempat ia datangi,tetapi hasilnya nihil.
Sampai suatu ketika Ia melihat seorang wanita cantik sedang belanja di pasar.Tiba-tiba tas sang wanita tersebut dijambret oleh seorang lelaki.
Cahaya : “Tolong, jambret !!!!! jambret!!!!!”
Malin segera menolong Cahaya dan mengejar pejambret tersebut.Akhirnya Ia berhasil menangkap pejambret itu dan menghakiminya.
Pejambret : “Ampun bang, ampun . . . “
Malin : “ Kurang ajar kau, beraninya hanya dengan perempuan !!”
Pejambret : “Ampun bang . . Ampun !!”
Malin : “Ikut saya kekantor polisi !”
Lalu sang pejambret dibawa Malin ke kantor polisi untuk mendapat proses hukum selanjutnya.
Cahaya : “Terimakasih ya sudah menolong saya, untuk ungkapan rasa terimakasih,maukah anda kerumah saya dulu . . ?”
Malin : “Tentu nona”
Cahaya : “Jangan panggil saya nona, nama saya cahaya”.
Singkatnya, Malin tiba dirumah cahaya dan kemudian berkenalan dengan sang ayah. Semenjak kejadian itu Malin diangkat sebagai karyawan dan menjadi akrab dengan cahaya. Karena keakrabannya,sampai-sampai Malin hampir tidak ingat lagi dengan sang Ibu dikampung. Tidak lama kemudian,mereka menikah.
Setelah menikah dengan Cahaya,Malin bekerja sebagai karyawan mertuanya.
Tak sengaja,kapalnya singgah di desa suka maju,tempat Ia dan Ibunya tinggal. Seorang kerabat melihat Malin bertepi dan segera mengabarkan Ibu Malin.
Tetangga : “Mak,mak.. Malin pulang mak,dia bertepi di pelabuhan!!!”
Ibu : “Malin pulang??Terimakasih Uni atas kabarnya!”
Syukur Alhamdulillah anakku pulang (dalam hati)
Tetangga : “Ayo Mak,kita kesana!”
Mendengar kabar itu sang Ibu merasa senang sekali. Hari yang ditunggu sang ibu pun tiba.
Ibu : “Malin , Malin (berteriak), Malin anakku , kau sudah kembali nak. Ibu sangat merindukanmu.”
Karena malu mengakui Ibunya,Malin pun berbohong.
Malin : “Siapa kau ?? Ibu ku sudah lama meninggal!!!”
Ibu : “Ini Ibumu nak,aku yang melahirkan dan membesarkanmu,mengapa engkau seperti ini??”
Malin : “Tidak,kau bukan Ibuku,Ibuku telah meninggal.”
Cahaya : “Apa benar dia itu Ibumu Kang??Lalu kenapa engkau tidak mengakui dia??”
Malin : “Tidak !! Dia bukan Ibuku !! (bergegas meninggalkan Ibunya)
Kemudian sang ibu menangis sedih, anak yang dilahirkan dan dibesarkannya tidak mengakuinya.
Air matanya berlinang. Malin segera pergi dari desa.
Ibu : “Ya ALLAH,mengapa anakku satu-satunya seperti itu??Aku yang melahirkan dan membesarkan dia Ya ALLAH.Berilah Ia teguranmu,sesungguhnya Ia adalah anak yang durhaka!!!”
Tiba-tiba di tengah perjalanan,badai datang,angin bertiup kencang,gelombang air laut naik,kilat menyambar-nyambar,kapal pun terguncang.
Malin : “Ada apa ini??Badai begitu besar”
Tiba-tiba kilat menyambar malin.
Malin : “Aaaaarrrrrggggghhhhh……!!!!!!!!”
Seketika Ia menjadi batu…
Malin : “Bu, saya mau pergi merantau ke kota saja,siapa tahu disana saya bisa mendapat
pekerjaan demi kehidupan kita.”
Ibu : “Kau yakin nak? Mencari pekerjaan di kota besar itu lebih sulit daripada mencari
pekerjaan di desa kita ini”
Malin : “Saya yakin Bu, tolong izinkan saya ya! “
Ibu : “Baiklah kalau itu keinginan mu,Ibu izinkan.“
Esok paginya berangkatlah Malin ke kota untuk mencari pekerjaan.
Tempat demi tempat ia datangi,tetapi hasilnya nihil.
Sampai suatu ketika Ia melihat seorang wanita cantik sedang belanja di pasar.Tiba-tiba tas sang wanita tersebut dijambret oleh seorang lelaki.
Cahaya : “Tolong, jambret !!!!! jambret!!!!!”
Malin segera menolong Cahaya dan mengejar pejambret tersebut.Akhirnya Ia berhasil menangkap pejambret itu dan menghakiminya.
Pejambret : “Ampun bang, ampun . . . “
Malin : “ Kurang ajar kau, beraninya hanya dengan perempuan !!”
Pejambret : “Ampun bang . . Ampun !!”
Malin : “Ikut saya kekantor polisi !”
Lalu sang pejambret dibawa Malin ke kantor polisi untuk mendapat proses hukum selanjutnya.
Cahaya : “Terimakasih ya sudah menolong saya, untuk ungkapan rasa terimakasih,maukah anda kerumah saya dulu . . ?”
Malin : “Tentu nona”
Cahaya : “Jangan panggil saya nona, nama saya cahaya”.
Singkatnya, Malin tiba dirumah cahaya dan kemudian berkenalan dengan sang ayah. Semenjak kejadian itu Malin diangkat sebagai karyawan dan menjadi akrab dengan cahaya. Karena keakrabannya,sampai-sampai Malin hampir tidak ingat lagi dengan sang Ibu dikampung. Tidak lama kemudian,mereka menikah.
Setelah menikah dengan Cahaya,Malin bekerja sebagai karyawan mertuanya.
Tak sengaja,kapalnya singgah di desa suka maju,tempat Ia dan Ibunya tinggal. Seorang kerabat melihat Malin bertepi dan segera mengabarkan Ibu Malin.
Tetangga : “Mak,mak.. Malin pulang mak,dia bertepi di pelabuhan!!!”
Ibu : “Malin pulang??Terimakasih Uni atas kabarnya!”
Syukur Alhamdulillah anakku pulang (dalam hati)
Tetangga : “Ayo Mak,kita kesana!”
Mendengar kabar itu sang Ibu merasa senang sekali. Hari yang ditunggu sang ibu pun tiba.
Ibu : “Malin , Malin (berteriak), Malin anakku , kau sudah kembali nak. Ibu sangat merindukanmu.”
Karena malu mengakui Ibunya,Malin pun berbohong.
Malin : “Siapa kau ?? Ibu ku sudah lama meninggal!!!”
Ibu : “Ini Ibumu nak,aku yang melahirkan dan membesarkanmu,mengapa engkau seperti ini??”
Malin : “Tidak,kau bukan Ibuku,Ibuku telah meninggal.”
Cahaya : “Apa benar dia itu Ibumu Kang??Lalu kenapa engkau tidak mengakui dia??”
Malin : “Tidak !! Dia bukan Ibuku !! (bergegas meninggalkan Ibunya)
Kemudian sang ibu menangis sedih, anak yang dilahirkan dan dibesarkannya tidak mengakuinya.
Air matanya berlinang. Malin segera pergi dari desa.
Ibu : “Ya ALLAH,mengapa anakku satu-satunya seperti itu??Aku yang melahirkan dan membesarkan dia Ya ALLAH.Berilah Ia teguranmu,sesungguhnya Ia adalah anak yang durhaka!!!”
Tiba-tiba di tengah perjalanan,badai datang,angin bertiup kencang,gelombang air laut naik,kilat menyambar-nyambar,kapal pun terguncang.
Malin : “Ada apa ini??Badai begitu besar”
Tiba-tiba kilat menyambar malin.
Malin : “Aaaaarrrrrggggghhhhh……!!!!!!!!”
Seketika Ia menjadi batu…
Naskah Drama Roro Jonggrang
Pada zaman dahulu kala di Prambanan Jawa Tengah,berdiri dua buah kerajaan Hindu yaitu Kerajaan Pengging dan Kraton Boko. Kerajaan Pengging dipimpin oleh raja yang bijaksana yaitu Prabu Damar Moyo. Dan mempunyai seorang anak putra yang bernama Raden Bandung Bondowoso. KratonBoko berada pada wilayah kekuasaan kerajaan Pengging yangdi perintah oleh raja yang tidak berwujud manusia yaitu raja Prabu Boko yang memiliki seorang putri yang cantik jelita bernama putri Roro Jonggrang. Prabu Boko juga memiliki Patih raksasa yaitu Patih Gupolo. Prabu Boko ingin menguasai Kerajaan Pengging,maka ia dan Patih Gupolo mengumpulkan kekuatan dan mengumpulkan bekal. Setelah persiapan dirasa cukup maka berangkatlah Prabu Boko dan prajurit. Sesampainya di kerajaan Pengging ..
Pengawal
Damar Moyo: Siapa
kalian? dan mengapa kalian datang kesini?
Patih
Gupolo: Kami dari
kerajaan Kraton Boko,kami ingin merebut kekuasaan kerajaan ini
Pengawal
Damar Moyo: Ooohh TIDAK
BISA! sbelum kalian menghadap raja,hadapilah kami dahulu
Prabu Damar
Moyo: Apa salah kami sehingga kalian
ingin merebut kekuasaan dari kerajaan ini
Patih
Gupolo: sudahlah
raja kita serang saja mereka!
Terjadilah pemberontakan antara kedua kerajaan. Banyak korban berjatuhan
dikedua belah pihak dan rakyat pengging menjadi menderita. mengetahui rakyatnya
menderita maka dia mengutus anaknya Bandung Bondowoso untuk balas dendam kepada
Prabu Boko.
Prabu Damar
Moyo: Wahai anakku.. balaskanlah dendam
ayah pada kerajaan Boko,karena mereka rakyat kita menjadi miskin dan
kelaparan
Bandung
Bondowoso; Baiklah
ayah akan aku lakukan
Maka berangkatlah Bandung Bondowoso menuju kerajaan kraton Boko, ketika di
perjalanan ia bertemu dengan Patih Gupolo dan Prabu Boko
Patih
Gupolo: Siapa kau?
sepertinya kau bukan rakyat dari kerajaan ini
Bandung
Bondowoso: Memang
bukan! aku adalah Raden Bandung Bondowoso putra Prabu Damar Moyo dari kerajaan
Pengging. Tujuan ku datang kesini ingin membalaskan dendam ayahku terhadap
rajamu
Prabu Boko: ada apa ini? dan siapa kau?
Bandung
Bondowoso: aku adalah
Bandung Bondowoso aku ingin membalaskan dendam ayahku padamu karena kau telah
membuat rakyat ku menjadi menderita
Dan terjadilah perang yang sangat sengit anatara Bandung Bondowoso melawan
Prabu Boko. Karena kesaktian Bandung Bondowoso prabu Boko dapat dibinasakan.
Melihat rajanya tewas maka patih Gupolo melarikan diri dan Raden Bandung
Bondowoso mengejar patih ke kerajaan kraton Boko. Sesampainya di kerajaan
Boko..
Patih
Gupolo: putrii..putrii
(sambil tergesa2)
Roro
Jonggrang: ada apa
patih? apa yang telah terjadi?
Patih Gupolo: Ayah putri telah tewas dibunuh oleh Bandung Bondowoso
Setelah Patih Gupolo melaporkan pada Putri Roro Jonggrang maka menangislah
putri,sedih hatinya karena ayahnya tewas,dan Patih Gupolo pun pergi
meninggalkan Kerajaan Kraton Boko. Sesampainya Bandung Bondowoso di Kraton Boko
terkejutlah ia melihat Putri yang cantik jelita
Bandung
Bondowoso: Wahai putri
yang cantiksiapa namamu?
Roro
Jonggrang: aku adalah
putri Roro Jonggrang
Pengawal
Roro: siapa kau?
Bandung
bondowoso: Aku adlah
Raden Bandung Bondowoso putra dari kerajaan Pengging
Pengawal
Roro: Putri bukan kah dia orang telah
membunuh ayahmu (sambil berbisik pada putri)
Roro
Jonggrang: Benarkah?
Bandung
bondowoso: Maukah kau
menikah denganku?
Roro
Jonggrang: tidak
semudah itu kau ingin menikahiku. aku punya satu permintaan,buatkanlah aku 10
candi dalam waktu 1 malam. apakah kau sanggup?
Bandung
Bondowoso: Baiklah
apapun akan aku lakukan untukmu
Bandung menyanggupi permintaan putri tersebut. Maka segerlah Raden Bandung
Bondowoso memerintahkan para jin utnuk membuat kan 10 candi. Ketika mengetahui
bahwa candi yang dibuat Bandung akan selesai,maka putri pun memgumpulkan para
gadis
Roro
Jonggrang: Wahai para
gadis! buatlah keadaan agar seolaholah waktu telah pagi
Gadis 1: Dengan cara apa apa putri?
Gadis 2: Apa yang harus kami lakukan?
Roro
Jonggrang;
Kalian harus menumbuk lesung padi dan membuat cahaya untuk menerangi candi.
Gadis
3&4: Baiklah
putri perintah akan kami lakukan.
Ketika para gadis menumbuk padi serta di Timur kelihatan terang dan ayam pun
berkokok bergantian. Maka para jin berhenti membuat candi
Jin 1: Tuan maaf kami belum menyelesaikan 1 candi lagi
karena hari sudah pagi
Semua Jin: Maafkan kami tuan kami harus pergi (meninggalkan
Bandung)
Bandung
Bondowoso: Mengapa para
jin pergi padahal firasatku pagi belum tiba
Tidak
lama Roro Jonggrang menemui Bandung Bondowoso
Roro
Jonggrang: Bagaimana?
apakah kau sudah menyelesaikan 10 candi itu
Roro pun menghitung candi dan ternyata jumlahnya hanya 9 candi,tinggal 1 candi
yang belum jadi
Roro
Jonggrang: Aku sudah
berkata bahwa aku menginginkan 10 candi. tapi mengapa hanya 9 candi tang
baru selesai?? aku tak mau menikah dengan mu
Lalu
para Gadis datang menemui putri dan Bandung Bondowoso
Bandung
Bondowoso: Kau kan
yang telah menyuruh para gadis menumbuk padi dan membuat cahaya agar keadaan
menjadi pagi
Roro
Jonggrang: Siapa para
gadis itu? aku tak menyuruhnya!!
Gadis 3: kau mengenal kami putri !
Gadis 4: Dan kau juga yang menyuruh kami!
Semua Gadis: Kau telah berbohong putri!
Bandung Bondowoso: Semuanya sudah jelas,, kau memang cantik tapi hatimu
tak secantik rupamu. padahal aku mencintaimu dengan setulus hatiku. terkutuklah
kau putri menjadi candi yang ke 10
Dan
sampai sekarang arca patung Roro Jonggrang masih ada di candi Prambanan dan
Raden Bandung Bondowoso mengutuk para gadis di sekitar Prambanan menjadi
perawan kasep (tua) karena telah membantu Roro Jonggrang, dan menurut
kepercayaan orang dahulu bahwa berpacaran di Candi Prambanan akan putus cinta.
Danau toba
“ Asal Usul Danau Toba”
Disusun Oleh :
Andri J. Laksana sebagai Pa Toba
Andika Galih P. sebagai Samosir
Lufita Aditya sebagai Putri
Juliana Limbong sebagai Perempuan 1
Poppy Aprilia S. sebagai Perempuan 2
Di sebuah
desa di wilayah Sumatera, hiduplah seorang petani bernama Pa Toba. Ia seorang
petani yang hidup seorang diri dan rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya
tidak luas. Di suatu pagi yang cerah, petani itu pergi memancing di sungai.
Petani
:Ya Allah., Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar.
Beberapa
saat setelah kailnya dilemparkan, kail tersebut bergoyang-goyang lalu ia segera
menarik kailnya.
Petani
:Terima kasih Tuhan, kau memberikanku ikan yang besar, dan ikan ini juga indah
sekali. Sisiknya berwarna merah bersinar seperti emas. Hmmm…. Pasti nikmat
sekali bila ku makan nanti..
Putri
:Tunggu, kau jangan memakan ku..! Aku bersedia menemanimu asal aku tidak kau
makan.
Petani
: Oops….! Siapa yang bicara itu..?? Ada suara, tetapi.. tak ada orang.
Putri
:Ini, aku yang bicara.
Petani
:whaaat..??
Petani
melepaskan kailnya tanpa sengaja dan ikan tersebut jatuh. Kemudian tidak berapa
lama ikan tadi berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
Putri
:Jangan takut pak, aku juga manusia sama seperti engkau. Aku sangat berutang
budi padamu karena kau telah menyelamatkanku dari kutukan Sang Dewata. Aku
bersedia menjadi istrimu.
Petani
:Benarkah..??
Putri
:Tentu saja..
Petani
:Ngomong-ngomong., siapakah namamu?
Putri
:Namaku Putri, dan kau?
Petani
:Namaku Toba. Mari kita lekas pulang. Aku sudah tak sabar ingin memberitahukan
bahwa kau telah menjadi istriku. Hahha…
Putri
:Tapi Toba, ada satu hal yang harus kau rahasiakan tentang diriku. Aku mohon
kau tidak menceritakan asal usulku yang berasal dari ikan, karena jika
masyarakat itu tahu akan hal tersebut pasti akan terjadi bencana besar yang
melanda desa ini.
Petani
:Baiklah, percayakan semua ini padaku. Ayo kita pulang.
Lalu Pa Toba
dan Putri pun pulang ke rumah. Saat mereka memasuki kampong Pa Toba, ada
beberapa orang yang tidak suka akan kehadiran Putri.
Perempuan
1 :Hei inang, tahu tidak kau itu si Toba tadi ku tengok membawa
pulang seorang cewe. Waah.. bodinya mantap.
Perempuan
2 :Baah…. Alaah, paling sic ewe itu dia guna-guna biar tertarik
padanya. Kau kan tau si Toba itu BUPUK, alias Bujang Lapuk.
Perempuan
1 :Oh iyayah.. Pintar kali kau ini.
Perempuan
2 :Sudahlah, lekas kita pulang jijik aku melihatnya.
Sebenarnya
Putri Mendengar hal tersebut, tetapi dia tidak langsung mengambil pusing.
Mereka pun pulang ke rumah dan menjalankan kehidupan mereka layaknya sepasang
suami istri. Pa Toba merasa bahagia dan tentram. Setahun kemudian, kebahagiaan
Pa Toba dan Putri bertambah karena Putri melahirkan seorang anak laki-laki dan
diberi nama Samosir. Samosir tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang sehat
dan kuat, tetapi agak nakal. Ia mempunyai kebiasaan yang aneh, yaitu selalu
merasa lapar dan ia juga selalu membuat jengkel kedua orangtuanya karena ia
tidak pernah mau membantu pekerjaan orang tuanya.
Petani
:Ibu, mana makan siang untukku?
Putri
:Tadi sudah kusiapkan di atas…..
Wah Samosir, ke mana makanan tadi?
Samosir
:Sudah kuhabiskan bu.. kan saya ini masih dalam masa pertumbuhan. Sekarang pun
sebenarnya aku masih lapar, tapi sudahlah.. aku pergi bermain dulu yaa bu..
dadah bapa…
Petani
:Samosir…!!!! Ah ibu ini selalu saja memanjakan dia, saya ini lapar bu..
Putri
:Sabar ya pak, ingatlah dia kan buah hati kita satu-satunya. Jangan sampai hal
sepele seperti ini membuatmu emosi.
Petani
:Ya sudahlah buu.. Buatkan aku makanan sajalah.., perutku sudah lapar sekali.
Putri
:Tunggulah, aku akan membuatkannya.
Petani itu
masih bisa menahan kesabarannya. Namun kesabaran seseorang itu pasti ada
batasnya. Sampai suatu ketika petani tersebut tidak dapat menahan amarahnya.
Putri
:Samosir, Bantu ibu nak..
Samosir
:Apa sih buu.. aku sedang asyik bermain nih..
Putri
:Bawakan bekal ini untuk bapamu di sawah. Kasihan dia sudah menunggu.
Samosir
:Ah, ibu sajalah yang pergi.
Putri
:Ibu sedang masak Samosir. Cepatlah kau antarkan, nanti bapamu marah.
Samosir
:Ah ibu ini., menggangguku saja. Sini..!!
Dari awal
Samoair memang sudah tidak berniat makanan tersebut. Sesampainya di pertengahan
jalan.
Samosir
:Jalan ke sawah saja sudah membuatku lelah, lebih baik kumakan saja bekal bapa
ini.
Tanpa sadar
bekal tadi telah habis dimakan oleh Samosir. Lalu dengan perasaan tak bersalah,
Samosir pun pulang dan melanjutkan permainannya. Bapanya yang sudah kepanasan
dan kelaparan menunggu memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah.,
Petani
:Ibu, mana bekal makan siangku..? Kau siapkan tidak, Haah???
Putri
:Tadi kusuruh Samosir untuk mengantarkannya Pa. .
Petani
:Samosir, kemari kau..!!
Samosir
:Apa sih pa? Aku lagi asyik main nih..
Petani
:KAU KEMANAKAN BEKAL MAKAN SIANGKU ??
Samosir
:Aku makan pak.. Habisnya, perjalanan ke sawah membuatku lelah dan lapar..
Petani
:Anak tidak tau diuntung..!!! Tak tau diri…!! Dari tadi aku kelaparan menunggu
makanan itu, dan sekarang makanan itu sudah habis… DASAR ANAK IKAN…!!!!
Samosir
:Ibu….,,,,,
Putri
:Cepat kau lari nak…..
Bapa, kau telah melanggar janji kita.
Petani
:Tapi aku tidak sengaja, aku sedang emosi. Maafkan aku Putri.
Putri
:Terserah apa katamu… Terimalah apa yang terjadi nanti..!!
Setelah
mengucapkan kalimat tersebut, seketika itu juga Samosir dan Putri hilang lenyap
tanpa jejak dan bekas. Tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras, sehingga
desa petani serta desa yang ada di sekitarnya terendam membentuk sebuah danau
dan terdapat pulau kecil di tengahnya. Pulau itu kini dikenal dengan nama Pulau
Samosir karena banyak orang beranggapan di sanalah Samosir berdiri untuk
menyelamatkan diri, dan danau yang ada di sekitarnya disebut dengan Danau Toba
yang merupakan desa di mana Pa Toba tinggal dan terkena rendaman air yang
sangat deras itu.
Danau toba
Ada tiga pemain dalam naskah drama yang ditulis berdasarkan cerita rakyat Danau Toba ini. Pertama, Toba selaku tokoh utama; kedua, Putri selaku ikan yang berubah menjadi seorang perempuan yang cantik; ketiga, Samosir selaku putra Toba dan Putri. Naskah drama ini ditulis dan dikembangkan untuk membantu teman-teman yang ingin mementaskan drama yang mengambil setting cerita rakyat Danau Toba - salah satu dari cerita rakyat Indonesia asal Sumatera Utara.
Babak I
1. [Toba, pemuda miskin yang tinggal di Sumatera Utara alias Medan dengan peralatan pancingnya, di atas panggung. Ia hendak memancing]
2. Toba: [dengan logat batak] “Dari pagi tadi hingga sore begini aku memancing, belum satu pun umpan disaut ikan. Kenapa tak ada ikan-ikan memakan umpan pancingku? Apa rasa umpan dari pancingku tidak enak? Atau karena Dewi Fortuna belum berada di pihakku? Aduh, kalau begini, bagaimana aku bisa makan hari ini? Oh, Tuhan, tolonglah hambamu ini…”
3. [Toba melempar umpan yang telah diikatkan pada tali pancing. Setelahnya duduk melamun, menunggu lagi]
4. Toba: [Tali pancang mengencang, tanda umpan dimakan ikan, Toba dengan ekspresi terkejut, sigap memegang joran] “Tampaknya, ikan besar yang menyambar umpanku.”
5. [Toba menarik tali pancing sekuat tenaga, hingga akhirnya seekor ikan mas berhasil ditarik olehnya.]
6. Toba: “Ikan yang besar, lumayan untuk lauk dua hari.”
7. [Ikan yang ditangkap oleh Toba mendadak berubah menjadi wanita berparas cantik nan anggun. Toba terkejut bercampur tidak percaya, saat melihatnya?]
8. Toba: “Putri dari mana kau? Dari kayangankah? Elok sekali paras kau.”
9. Putri: “Ya, aku Putri, dari kayangan, wahai Pemuda. Aku begini gara-gara dikutuk oleh para dewata karena telah melanggar peraturan di kayangan. Telah tersurat, jika aku tersentuh oleh makhluk lain, maka aku akan berubah seperti makhluk itu. Karena aku disentuh manusia, maka aku menjadi manusia.”
10. Toba: “Panjang sekali cerita kau, tak mengerti aku. Ah! Sudahlah, kau pulang dulu ke rumahku nanti kau ceritakan ulang.”
11. [Sesampainya di rumah Toba]
12. Putri: “Inikah rumah Abang? Berantakan sekali!”
13. Toba: “Aku terlalu sibuk mengurusi hal-hal lain di luar rumah. Jadi, tak sempat membersihkan rumah. Pasti kau kira rumahku itu bersih dan indah? Ya, beginilah kalau tinggal sendirian.”
14. Putri: “Lho, Abang sendirian? Orang tua Abang di mana, dari tadi tidak kelihatan?”
15. Toba: “Mereka telah meninggal 3 tahun lalu. Ayahku meninggal terlebih dulu, selang sebulan kemudian baru ibuku menyusul. Eh, tapi sudahlah tak perlu kau pikirkan. Itu sudah berlalu.”
16. Putri: “Maafkan aku. Ngomong-ngomong, nama Abang siapa?”
17. Toba : “Aku, Toba. Kalau kau siapa? Eh, sebentar, katanya kau dari kayangan. Berarti kupanggil kau Putri saja. Lebih elok didengarnya. Eh, tadi kau ngomong mau cerita lagi kenapa kau sampai bisa dikutuk jadi ikan mas. Ceritalah. Aku siap mendengar.”
18. Putri: “Ah! Sudahlah, tak perlu diingat lagi. Aku tak mau mengingat masa laluku. Tadi juga aku sudah berbagi dengan penonton dan Abang, tapi sepertinya Abang agak telat mikir. Yang penting sekarang, aku bisa menikmati rasanya menjadi seorang manusia.”
19. Toba: “Ya, sudahlah kalau kau tak mau cerita lagi.”
[Setelah berada di rumah Toba selama hari, tindak tanduk Putri membuat hati pemuda jomblo itu tertarik. Jadilah, ia mengungkapkan cintanya.]
20. Toba: “Putri, bolehkah aku mengatakan sesuatu pada kau?”
21. Putri: [Mengangguk dan tersenyum]
22. Toba: “Entahlah, apa yang kurasakan ini benar. Hmm, maksudku begini, kita berbeda kelas sosial. Kau Putri dari kayangan. Sementara, aku orang bumi. Hmm, … gimana ya?”
23. Putri: “Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Bang…”
24. Toba: “Jujur, sejak melihatmu, entahlah ada yang berbeda pada diriku. Ada semacam getaran di hatiku, melihat paras kau yang elok dan anggun, tutur kata kau yang lembut, dan semuanya. Bisa dikatakan hmm… aku jatuh cinta padamu. Putri maukah menikah denganku?”
25. Putri: “Baiklah. Aku bersedia dengan syarat: Abang tidak boleh mengatakan mengenai asal-usulku. Dan jika kita punya anak nanti, Abang tak boleh memanggilnya dengan sebutan anak ikan. Karena itu menyakitiku juga.”
26. Toba: “Kalau masalah itu kau tak perlu takut. Rahasia ini akan kujaga baik-baik. Mari, kau kukenalkan dengan orang kampung. Kujamin mereka terpesona melihat keanggunanmu.”
27. Toba: “Warga, ayo ke sini! Aku mau mengenalkan kalian dengan calon istriku yang berasal dari i……”
28. Warga kampung: “Toba, ceritakanlah kisah cinta kalian.”
29. Toba: (dengan logat batak yang khas) “Aku bertemu dengannya di desa sebelah. Panjanglah ceritanya, aku sendiri sampai lupa bagaimana detail cerita aku bisa bertemu dengan wanita berparas cantik ini. Aku orang yang beruntung dapat menikahinya.”
Babak II
30. [Toba dan Putri telah menikah dan Toba sudah pindah rumah.]
31. Toba: [masih dengan logat batak yang kental] “Terimakasih atas apa yang sudah kau berikan pada Putri. Berkat kau, aku bisa tinggal di rumah modern seperti ini. Tidak seperti rumahku yang dulu. Sekali lagi terimakasih, Putri.”
32. Putri: “Abang, tidak perlu sungkan. Yang penting, sekarang kita bahagia.”
33. Toba: “Betul betul betul.”
34. Putri: [mengerahkan kesaktian yang dimilikinya] “Abang, ini adalah pemberianku yang terakhir. Setelah ini, kesaktianku akan hilang. Dan, aku tidak bisa memberikanmu sesuatu yang berharga lagi. Pergunakan pemberianku yang terakhir ini sebaik-baiknya.”
35. Toba: “Kau tak perlu takut. Aku pasti menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan takkan menyia-nyiaknnya. Kalau tidak ada kau, mungkin aku masih kerja sendirian di ladang sekarang.”
Babak III
36. [Toba dan Putri dikaruniai bayi laki-laki yang lucu.]
37. Toba: ”Nang, ning, ning, nang, ning, nung. Putri, kau lihat anak kita lucu ‘kali.”
38. Putri: “Iya, Bang. Ngomong-ngomong, anak kita dikasih nama apa, Bang?”
39. Toba: “Bagaimana kalau Samosir?”
40. Putri: [tersenyum] “Samosir, nama yang bagus. Cocok untuk anak kita, Bang.”
Babak IV
41. [Samosir tumbuh menjadi anak yang tampan, tetapi anak ini punya kebiasaan buruk. Anak ini tukang makan. Hal ini seringkali membuat Toba marah.]
42. Toba: [berteriak sambil setengah marah] “Putri, kau tidak masak hari ini? Bagaimana kau ini, tidak tahukah kau aku lelah pulang kerja. Ternyata, sampai rumah aku harus marah lagi.”
43. Putri: “Maaf, Bang. Tadi Samosir merasa sangat lapar. Jadi, bekal buat Abang dimakan sama Samosir. Ini mau saya buatkan lagi bekal untuk Abang. Ditunggu ya, Bang.”
44. Toba: [masih setengah marah] “Ya, sudah kutunggu. Tapi, lain kali jangan diulangi. Mana si Samosir? Samosir, ke mana kau? Sudah kenyang kau makan, Nak? Enak kau makan jatah punya ayahmu ini? Kau, tahu ayahmu ini lelah, letih, dan lesu.”
45. Samosir: “Maaf, Ayah. Tadi, Samosir sangat lapar. Jadi, Samosir makan punya ayah.”
46. Toba: “Ya sudah, ayah maafkan. Tapi lain kali, jangan diulangi ya, mengerti?”
47. Samosir: “Iya, Ayah. Samosir, janji.”
48. Toba: “Bagus.”
49. [Hal ini berlangsung terus sampai akhrinya kesabaran Toba sudah melampaui batas.]
50. Toba: [dengan nada marah] “Samosir, apa yang waktu itu kau janjikan kepada aku? Kau melanggar janjimu. Sekarang, aku harus menghukummu. Kau tidak boleh tidur di rumah ini, sebelum kau bisa mengendalikan rasa laparmu itu!”
51. Putri: [sambil menangis] ”Jangan, Bang! Samosir masih kecil, kalau Samosir sakit bagaimana, Bang? Apa Abang tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Samosir jika Abang melakukan ini. Samosir tak berdaya, Bang. Dia masih kecil.”
52. Toba: [masih dengan nada marah] “Ini jadinya kalau anak ini terus dimanja. Dia selalu bertindak sesuka hati, tidak memikirkan orang lain. Kalian berdua sama saja.”
53. Putri: [dengan nada memelas] “Sekarang terserah pada Abang! Kalau Abang ingin menghukum Samosir. Silakan! Tapi, Abang harus turuti permintaan saya. Saya minta Abang tidak mengusir Samosir dari rumah. Hanya itu permintaan saya.”
54. Toba: (marah agak mereda] “Samosir, karena ibumu yang meminta, Ayah tidak bisa menolak. Ayah tidak jadi mengusirmu. Tapi kau tetap harus menjalani hukumanmu. Selama seminggu, kau tidak kuizinkan tidur di kamar. Tempat tidurmu di gudang. Mengerti?”
55. Samosir: [sambil menangis] “Iya, Ayah. Samosir mengerti.”
56. [Empat bulan berlalu, Samosir yang sudah bebas dari hukumannya, masih dengan kebiasaannya yang sering lapar. Kali ini, kemarahan Toba sudah memuncak.]
57. Toba: [sangat marah] “Samosir, di mana kau?”
58. Samosir: “Aku di sini Ayah. Ada apa Ayah memanggilku?”
59. Toba: “Jangan banyak bertanya kau! Apakah kau makan lagi bekal untuk Ayah?”
60. Samosir: “Maaf, Ayah! Tadi, Samosir sangat lapar, terpaksa Samosir makan bekal Ayah?”
61. Toba: [menarik cuping telinga Samosir sambil membawanya ke luar rumah] “Kau tahu Ayah dari mana? Kau tahu Ayah ini bekerja di ladang, banting tulang. Untuk siapa? Untuk kau! Tapi, seenaknya saja kau makan bekal Ayah. Sekali, dua kali sudah Ayah maafkan, tapi ini sudah berulang kali. Kau tahu itu bukan?”
62. Samosir: [menangis] “Maaf, Ayah! Samosir akan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Jangan hukum Samosir lagi Ayah.”
63.Toba: “Sudah! Tak ada lagi kata maaf buat anak nakal seperti kau! Dasar anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau keturunan ikan!!”
64. [Sambil menangis, Samosir berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya diceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu.]
65. Putri: [Terkejut mendengar cerita Samosir] “Anakku, apa kau jujur? Apakah kau tidak membohongi Ibu?”
66. Samosir: [Menggeleng] “Tidak, Bu. Apa benar aku ini anak ikan, Bu? Jawab, Bu!
67. Putri: “Sekarang, Ibu minta kau untuk tidak mempedulikan perkataan Ayahmu. Segeralah pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah kita dan kau harus memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu.”
68. Samosir: “Baik, Bu!”
69. [Samosir segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari menuju bukit yang dimaksud ibunya, kemudian mendakinya. Ketika tampak oleh ibunya bahwa Samosir sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit , dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh dari rumah mereka itu.]
70. Putri: [sambil berlari ke arah sungai] “Sudah tidak ada lagi yang bisa kupercaya. Toba sudah berkhianat!”
71. [Akhir cerita, setibanya Putri di tepi sungai, mendadak langit menggelap, kilat menyambar disertai bunyi guruh yang menggelegar. Putri kemudian melompat ke dalam sungai. Ia berubah menjadi seekor ikan besar lagi. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap ke mana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar. Di kemudian hari, orang-orang menyebutnya Danau Toba dan pulau kecil yang berada di tengah-tengahnya dinamai Pulau Samosir.]
Ada tiga pemain dalam naskah drama yang ditulis berdasarkan cerita rakyat Danau Toba ini. Pertama, Toba selaku tokoh utama; kedua, Putri selaku ikan yang berubah menjadi seorang perempuan yang cantik; ketiga, Samosir selaku putra Toba dan Putri. Naskah drama ini ditulis dan dikembangkan untuk membantu teman-teman yang ingin mementaskan drama yang mengambil setting cerita rakyat Danau Toba - salah satu dari cerita rakyat Indonesia asal Sumatera Utara.
Babak I
1. [Toba, pemuda miskin yang tinggal di Sumatera Utara alias Medan dengan peralatan pancingnya, di atas panggung. Ia hendak memancing]
2. Toba: [dengan logat batak] “Dari pagi tadi hingga sore begini aku memancing, belum satu pun umpan disaut ikan. Kenapa tak ada ikan-ikan memakan umpan pancingku? Apa rasa umpan dari pancingku tidak enak? Atau karena Dewi Fortuna belum berada di pihakku? Aduh, kalau begini, bagaimana aku bisa makan hari ini? Oh, Tuhan, tolonglah hambamu ini…”
3. [Toba melempar umpan yang telah diikatkan pada tali pancing. Setelahnya duduk melamun, menunggu lagi]
4. Toba: [Tali pancang mengencang, tanda umpan dimakan ikan, Toba dengan ekspresi terkejut, sigap memegang joran] “Tampaknya, ikan besar yang menyambar umpanku.”
5. [Toba menarik tali pancing sekuat tenaga, hingga akhirnya seekor ikan mas berhasil ditarik olehnya.]
6. Toba: “Ikan yang besar, lumayan untuk lauk dua hari.”
7. [Ikan yang ditangkap oleh Toba mendadak berubah menjadi wanita berparas cantik nan anggun. Toba terkejut bercampur tidak percaya, saat melihatnya?]
8. Toba: “Putri dari mana kau? Dari kayangankah? Elok sekali paras kau.”
9. Putri: “Ya, aku Putri, dari kayangan, wahai Pemuda. Aku begini gara-gara dikutuk oleh para dewata karena telah melanggar peraturan di kayangan. Telah tersurat, jika aku tersentuh oleh makhluk lain, maka aku akan berubah seperti makhluk itu. Karena aku disentuh manusia, maka aku menjadi manusia.”
10. Toba: “Panjang sekali cerita kau, tak mengerti aku. Ah! Sudahlah, kau pulang dulu ke rumahku nanti kau ceritakan ulang.”
11. [Sesampainya di rumah Toba]
12. Putri: “Inikah rumah Abang? Berantakan sekali!”
13. Toba: “Aku terlalu sibuk mengurusi hal-hal lain di luar rumah. Jadi, tak sempat membersihkan rumah. Pasti kau kira rumahku itu bersih dan indah? Ya, beginilah kalau tinggal sendirian.”
14. Putri: “Lho, Abang sendirian? Orang tua Abang di mana, dari tadi tidak kelihatan?”
15. Toba: “Mereka telah meninggal 3 tahun lalu. Ayahku meninggal terlebih dulu, selang sebulan kemudian baru ibuku menyusul. Eh, tapi sudahlah tak perlu kau pikirkan. Itu sudah berlalu.”
16. Putri: “Maafkan aku. Ngomong-ngomong, nama Abang siapa?”
17. Toba : “Aku, Toba. Kalau kau siapa? Eh, sebentar, katanya kau dari kayangan. Berarti kupanggil kau Putri saja. Lebih elok didengarnya. Eh, tadi kau ngomong mau cerita lagi kenapa kau sampai bisa dikutuk jadi ikan mas. Ceritalah. Aku siap mendengar.”
18. Putri: “Ah! Sudahlah, tak perlu diingat lagi. Aku tak mau mengingat masa laluku. Tadi juga aku sudah berbagi dengan penonton dan Abang, tapi sepertinya Abang agak telat mikir. Yang penting sekarang, aku bisa menikmati rasanya menjadi seorang manusia.”
19. Toba: “Ya, sudahlah kalau kau tak mau cerita lagi.”
[Setelah berada di rumah Toba selama hari, tindak tanduk Putri membuat hati pemuda jomblo itu tertarik. Jadilah, ia mengungkapkan cintanya.]
20. Toba: “Putri, bolehkah aku mengatakan sesuatu pada kau?”
21. Putri: [Mengangguk dan tersenyum]
22. Toba: “Entahlah, apa yang kurasakan ini benar. Hmm, maksudku begini, kita berbeda kelas sosial. Kau Putri dari kayangan. Sementara, aku orang bumi. Hmm, … gimana ya?”
23. Putri: “Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Bang…”
24. Toba: “Jujur, sejak melihatmu, entahlah ada yang berbeda pada diriku. Ada semacam getaran di hatiku, melihat paras kau yang elok dan anggun, tutur kata kau yang lembut, dan semuanya. Bisa dikatakan hmm… aku jatuh cinta padamu. Putri maukah menikah denganku?”
25. Putri: “Baiklah. Aku bersedia dengan syarat: Abang tidak boleh mengatakan mengenai asal-usulku. Dan jika kita punya anak nanti, Abang tak boleh memanggilnya dengan sebutan anak ikan. Karena itu menyakitiku juga.”
26. Toba: “Kalau masalah itu kau tak perlu takut. Rahasia ini akan kujaga baik-baik. Mari, kau kukenalkan dengan orang kampung. Kujamin mereka terpesona melihat keanggunanmu.”
27. Toba: “Warga, ayo ke sini! Aku mau mengenalkan kalian dengan calon istriku yang berasal dari i……”
28. Warga kampung: “Toba, ceritakanlah kisah cinta kalian.”
29. Toba: (dengan logat batak yang khas) “Aku bertemu dengannya di desa sebelah. Panjanglah ceritanya, aku sendiri sampai lupa bagaimana detail cerita aku bisa bertemu dengan wanita berparas cantik ini. Aku orang yang beruntung dapat menikahinya.”
Babak II
30. [Toba dan Putri telah menikah dan Toba sudah pindah rumah.]
31. Toba: [masih dengan logat batak yang kental] “Terimakasih atas apa yang sudah kau berikan pada Putri. Berkat kau, aku bisa tinggal di rumah modern seperti ini. Tidak seperti rumahku yang dulu. Sekali lagi terimakasih, Putri.”
32. Putri: “Abang, tidak perlu sungkan. Yang penting, sekarang kita bahagia.”
33. Toba: “Betul betul betul.”
34. Putri: [mengerahkan kesaktian yang dimilikinya] “Abang, ini adalah pemberianku yang terakhir. Setelah ini, kesaktianku akan hilang. Dan, aku tidak bisa memberikanmu sesuatu yang berharga lagi. Pergunakan pemberianku yang terakhir ini sebaik-baiknya.”
35. Toba: “Kau tak perlu takut. Aku pasti menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan takkan menyia-nyiaknnya. Kalau tidak ada kau, mungkin aku masih kerja sendirian di ladang sekarang.”
Babak III
36. [Toba dan Putri dikaruniai bayi laki-laki yang lucu.]
37. Toba: ”Nang, ning, ning, nang, ning, nung. Putri, kau lihat anak kita lucu ‘kali.”
38. Putri: “Iya, Bang. Ngomong-ngomong, anak kita dikasih nama apa, Bang?”
39. Toba: “Bagaimana kalau Samosir?”
40. Putri: [tersenyum] “Samosir, nama yang bagus. Cocok untuk anak kita, Bang.”
Babak IV
41. [Samosir tumbuh menjadi anak yang tampan, tetapi anak ini punya kebiasaan buruk. Anak ini tukang makan. Hal ini seringkali membuat Toba marah.]
42. Toba: [berteriak sambil setengah marah] “Putri, kau tidak masak hari ini? Bagaimana kau ini, tidak tahukah kau aku lelah pulang kerja. Ternyata, sampai rumah aku harus marah lagi.”
43. Putri: “Maaf, Bang. Tadi Samosir merasa sangat lapar. Jadi, bekal buat Abang dimakan sama Samosir. Ini mau saya buatkan lagi bekal untuk Abang. Ditunggu ya, Bang.”
44. Toba: [masih setengah marah] “Ya, sudah kutunggu. Tapi, lain kali jangan diulangi. Mana si Samosir? Samosir, ke mana kau? Sudah kenyang kau makan, Nak? Enak kau makan jatah punya ayahmu ini? Kau, tahu ayahmu ini lelah, letih, dan lesu.”
45. Samosir: “Maaf, Ayah. Tadi, Samosir sangat lapar. Jadi, Samosir makan punya ayah.”
46. Toba: “Ya sudah, ayah maafkan. Tapi lain kali, jangan diulangi ya, mengerti?”
47. Samosir: “Iya, Ayah. Samosir, janji.”
48. Toba: “Bagus.”
49. [Hal ini berlangsung terus sampai akhrinya kesabaran Toba sudah melampaui batas.]
50. Toba: [dengan nada marah] “Samosir, apa yang waktu itu kau janjikan kepada aku? Kau melanggar janjimu. Sekarang, aku harus menghukummu. Kau tidak boleh tidur di rumah ini, sebelum kau bisa mengendalikan rasa laparmu itu!”
51. Putri: [sambil menangis] ”Jangan, Bang! Samosir masih kecil, kalau Samosir sakit bagaimana, Bang? Apa Abang tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Samosir jika Abang melakukan ini. Samosir tak berdaya, Bang. Dia masih kecil.”
52. Toba: [masih dengan nada marah] “Ini jadinya kalau anak ini terus dimanja. Dia selalu bertindak sesuka hati, tidak memikirkan orang lain. Kalian berdua sama saja.”
53. Putri: [dengan nada memelas] “Sekarang terserah pada Abang! Kalau Abang ingin menghukum Samosir. Silakan! Tapi, Abang harus turuti permintaan saya. Saya minta Abang tidak mengusir Samosir dari rumah. Hanya itu permintaan saya.”
54. Toba: (marah agak mereda] “Samosir, karena ibumu yang meminta, Ayah tidak bisa menolak. Ayah tidak jadi mengusirmu. Tapi kau tetap harus menjalani hukumanmu. Selama seminggu, kau tidak kuizinkan tidur di kamar. Tempat tidurmu di gudang. Mengerti?”
55. Samosir: [sambil menangis] “Iya, Ayah. Samosir mengerti.”
56. [Empat bulan berlalu, Samosir yang sudah bebas dari hukumannya, masih dengan kebiasaannya yang sering lapar. Kali ini, kemarahan Toba sudah memuncak.]
57. Toba: [sangat marah] “Samosir, di mana kau?”
58. Samosir: “Aku di sini Ayah. Ada apa Ayah memanggilku?”
59. Toba: “Jangan banyak bertanya kau! Apakah kau makan lagi bekal untuk Ayah?”
60. Samosir: “Maaf, Ayah! Tadi, Samosir sangat lapar, terpaksa Samosir makan bekal Ayah?”
61. Toba: [menarik cuping telinga Samosir sambil membawanya ke luar rumah] “Kau tahu Ayah dari mana? Kau tahu Ayah ini bekerja di ladang, banting tulang. Untuk siapa? Untuk kau! Tapi, seenaknya saja kau makan bekal Ayah. Sekali, dua kali sudah Ayah maafkan, tapi ini sudah berulang kali. Kau tahu itu bukan?”
62. Samosir: [menangis] “Maaf, Ayah! Samosir akan mencoba untuk tidak mengulanginya lagi. Jangan hukum Samosir lagi Ayah.”
63.Toba: “Sudah! Tak ada lagi kata maaf buat anak nakal seperti kau! Dasar anak kurang ajar. Tidak tahu diuntung. Betul-betul kau keturunan ikan!!”
64. [Sambil menangis, Samosir berlari pulang menemui ibunya di rumah. Kepada ibunya dia mengadukan bahwa dia dipukuli ayahnya. Semua kata-kata cercaan yang diucapkan ayahnya kepadanya diceritakan pula. Mendengar cerita anaknya itu, si ibu sedih sekali, terutama karena suaminya sudah melanggar sumpahnya dengan kata-kata cercaan yang dia ucapkan kepada anaknya itu.]
65. Putri: [Terkejut mendengar cerita Samosir] “Anakku, apa kau jujur? Apakah kau tidak membohongi Ibu?”
66. Samosir: [Menggeleng] “Tidak, Bu. Apa benar aku ini anak ikan, Bu? Jawab, Bu!
67. Putri: “Sekarang, Ibu minta kau untuk tidak mempedulikan perkataan Ayahmu. Segeralah pergi mendaki bukit yang terletak tidak begitu jauh dari rumah kita dan kau harus memanjat pohon kayu tertinggi yang terdapat di puncak bukit itu.”
68. Samosir: “Baik, Bu!”
69. [Samosir segera melakukan perintah ibunya itu. Dia berlari menuju bukit yang dimaksud ibunya, kemudian mendakinya. Ketika tampak oleh ibunya bahwa Samosir sudah hampir sampai ke puncak pohon kayu yang dipanjatnya di atas bukit , dia pun berlari menuju sungai yang tidak begitu jauh dari rumah mereka itu.]
70. Putri: [sambil berlari ke arah sungai] “Sudah tidak ada lagi yang bisa kupercaya. Toba sudah berkhianat!”
71. [Akhir cerita, setibanya Putri di tepi sungai, mendadak langit menggelap, kilat menyambar disertai bunyi guruh yang menggelegar. Putri kemudian melompat ke dalam sungai. Ia berubah menjadi seekor ikan besar lagi. Pada saat yang sama, sungai itu pun banjir besar dan turun pula hujan yang sangat lebat. Beberapa waktu kemudian, air sungai itu sudah meluap ke mana-mana dan tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Toba tak bisa menyelamatkan dirinya, ia mati tenggelam oleh genangan air. Lama-kelamaan, genangan air itu semakin luas dan berubah menjadi danau yang sangat besar. Di kemudian hari, orang-orang menyebutnya Danau Toba dan pulau kecil yang berada di tengah-tengahnya dinamai Pulau Samosir.]
Cinderella
Naskah drama Cinderella
diadaptasi dari cerita rakyat dunia yang dipopulerkan Brothers Grimm.
Cinderella mengisahkan seorang gadis yang ditinggal meninggal kedua orang
tuanya. Dia mendapat perlakuan buruk dari ibu tiri serta tiga saudara tirinya.
Pertemuannya dengan seorang pangeran tampan mengubah hidupnya untuk selamanya.
Penggubah naskah drama Cinderella bahasa Indonesia berdasarkan beberapa sumber
dan imajinasi. Mudah-mudah bisa membantu teman-teman yang sedang membutuhkan naskah drama, untuk
bisa dikembangkan lebih lanjut.
Naskah Drama Cinderella
[INTRO: DI SEBUAH ISTANA,
HIDUPLAH SEORANG GADIS CANTIK BERSAMA IBU TIRI DAN KETIGA KAKAK TIRINYA. GADIS
INI MESKIPUN TERLIHAT KOTOR DAN PENUH DEBU, NAMUN SANGATLAH CANTIK DAN BAIK
HATI. SEDANGKAN, IBU DAN KETIGA KAKAK TIRINYA SANGATLAH JAHAT. MEREKA
MEMPEKERJAKAN GADIS INI DI RUMAHNYA SENDIRI. SETIAP HARI SI GADIS HARUS
MENGERJAKAN SELURUH PEKERJAAN RUMAH. IBU TIRINYA SELALU MEMBENTAKNYA. SEMENTARA
KETIGA KAKAK TIRINYA SELALU MEMANGGILNYA DENGAN SEBUTAN CINDERELLA, YANG
ARTINYA GADIS KOTOR DAN PENUH DEBU. MENURUT KETIGA KAKAK TIRINYA, ITU ADALAH
NAMA YANG COCOK UNTUK ANAK PEREMPUAN INI.]
[Babak ke 1. UNDANGAN]
[TEROMPET BERBUNYI. SEORANG
UTUSAN KERAJAAN DATANG DIIRINGI PARA PRAJURIT, MENGABARKAN UNDANGAN PESTA
RAKYAT YANG AKAN DIHELAT ISTANA. SEMUA ORANG BERKUMPUL, KECUALI CINDERELLA YANG
HANYA BISA MELIHAT DARI BALIK JENDELA.]
Utusan Kerajaan: “Pengumuman… pengumuman… Sehubungan dengan akan diadakannya pesta rakyat di istana, maka pihak istana mengundang semua orang untuk turut serta. Silakan hadir pada saat acara berlangsung. Siapapun boleh turut serta. Oiya, pada pesta rakyat tersebut, Pangeran juga akan memilih calon pendamping dari para undangan. Jadi, dandan secantik mungkin, siapa tahu anda yang terpilih.”
[SEMUA ORANG, KHUSUSNYA PARA WANITA, BERSORAK-SORAI. TERMASUK, SAUDARA TIRI CINDERELLA, ANASTASIA, DRIZELLA, DAN FREDERICA.]
Anastasia: “Asyik… pasti Pangeran memilihku untuk menjadi ratunya. Karena, aku paling cantik di sini!”
Drizella: “Siapa kata? Pasti orang itu buta! Jelas aku-lah yang akan menjadi pendamping Sang Pangeran.”
Anastasia: “Kau?! Tidak bisakah kau berbicara sedikit halus?”
Frederica: “Sudahlah, tidak perlu diributkan. Karena yang akan menjadi pendamping Pangeran adalah aku.”
Ibu Tiri: “Hei, kalian ini. Tidak perlu bertengkar. Ibu yakin salah satu anak Ibu ada yang terpilih sebagai pendamping Pangeran. Tapi, siapapun dari kalian yang terpilih tidak perlu dipersoalkan. Karena, nantinya semua itu akan membuatku gembira.”
[SEMENTARA ITU, CINDERELLA YANG BERADA DI BALIK JENDELA KAMAR INGIN IKUT JUGA PESTA ITU.]
Utusan Kerajaan: “Pengumuman… pengumuman… Sehubungan dengan akan diadakannya pesta rakyat di istana, maka pihak istana mengundang semua orang untuk turut serta. Silakan hadir pada saat acara berlangsung. Siapapun boleh turut serta. Oiya, pada pesta rakyat tersebut, Pangeran juga akan memilih calon pendamping dari para undangan. Jadi, dandan secantik mungkin, siapa tahu anda yang terpilih.”
[SEMUA ORANG, KHUSUSNYA PARA WANITA, BERSORAK-SORAI. TERMASUK, SAUDARA TIRI CINDERELLA, ANASTASIA, DRIZELLA, DAN FREDERICA.]
Anastasia: “Asyik… pasti Pangeran memilihku untuk menjadi ratunya. Karena, aku paling cantik di sini!”
Drizella: “Siapa kata? Pasti orang itu buta! Jelas aku-lah yang akan menjadi pendamping Sang Pangeran.”
Anastasia: “Kau?! Tidak bisakah kau berbicara sedikit halus?”
Frederica: “Sudahlah, tidak perlu diributkan. Karena yang akan menjadi pendamping Pangeran adalah aku.”
Ibu Tiri: “Hei, kalian ini. Tidak perlu bertengkar. Ibu yakin salah satu anak Ibu ada yang terpilih sebagai pendamping Pangeran. Tapi, siapapun dari kalian yang terpilih tidak perlu dipersoalkan. Karena, nantinya semua itu akan membuatku gembira.”
[SEMENTARA ITU, CINDERELLA YANG BERADA DI BALIK JENDELA KAMAR INGIN IKUT JUGA PESTA ITU.]
[Babak ke 2. KESEDIHAN]
[HARI H PESTA RAKYAT TIBA. ANASTASIA,
DRIZELLA, FREDERICA, DAN MENGENAKAN GAUN TERBAIK YANG MEREKA MILIKI. MEREKA
BERDANDAN DENGAN DANDANAN PALING CANTIK YANG BISA DILAKUKAN.]
Ibu Tiri: ”Hei, kalian, pakai ini, pakai itu, kau kurang ini, kau kurang itu.” [SIBUK MEMERHATIKAN MAKE UP KETIGA ANAKNYA.]
[CINDERELLA YANG HANYA BISA MELIHAT MEREKA BERDANDAN MENJADI SEDIH. SEBETULNYA, DIA JUGA INGIN BERANGKAT KE PESTA ITU. TAPI, IA MEMAHAMI POSISI DIRINYA, YANG TIDAK BISA IKUT DALAM PESTA RAKYAT ITU. APALAGI, IBU TIRINYA MELARANG. IA MENDESAH.]
Ibu Tiri: “Kau mau ikut?”
Cinderella: [Mengangguk. Matanya menyiratkan harapan.]
Ibu Tiri: “Dengan gaun apa? Pakaian yang kau punya kan lusuh-lusuh begitu? Apa mau pergi ke pesta dengan baju lusuh itu?”
Ibu Tiri: ”Hei, kalian, pakai ini, pakai itu, kau kurang ini, kau kurang itu.” [SIBUK MEMERHATIKAN MAKE UP KETIGA ANAKNYA.]
[CINDERELLA YANG HANYA BISA MELIHAT MEREKA BERDANDAN MENJADI SEDIH. SEBETULNYA, DIA JUGA INGIN BERANGKAT KE PESTA ITU. TAPI, IA MEMAHAMI POSISI DIRINYA, YANG TIDAK BISA IKUT DALAM PESTA RAKYAT ITU. APALAGI, IBU TIRINYA MELARANG. IA MENDESAH.]
Ibu Tiri: “Kau mau ikut?”
Cinderella: [Mengangguk. Matanya menyiratkan harapan.]
Ibu Tiri: “Dengan gaun apa? Pakaian yang kau punya kan lusuh-lusuh begitu? Apa mau pergi ke pesta dengan baju lusuh itu?”
[Babak ke 3. KEAJAIBAN]
[DI KAMAR.]
Cinderella: [MENANGIS TERSEDU-SEDU, KARENA HATINYA KESAL.] “Oh, Tuhan, seandainya ayah masih ada, takkan begini ceritanya. Pasti aku dibelikan gaun terindah untuk ikut pesta itu.”
[SAAT ITU, SEORANG PERI TIBA-TIBA MUNCUL DI HADAPAN CINDERELLA.]
Ibu Peri: “Jangan menangis, anakku. Tidak seharusnya kau bersedih. Tersenyumlah, supaya wajahmu bertambah cantik.”
Cinderella: “Bagaimana bisa aku tersenyum, Ibu Peri? Aku juga ingin datang ke pesta itu seperti kakak-kakakku. Tapi, gara-gara aku tidak punya gaun yang cantik, mereka tidak mengizinkanku.”
Ibu Peri: [TERSENYUM DENGAN RAMAH.] “Cinderella, bawalah empat ekor tikus, dua ekor kadal, dan satu labu yang besar.”
Cinderella: [MUKANYA BINGUNG.] “Untuk apa?”
Ibu Peri: “Sudah kau kumpulkan saja.”
[CINDERELLA MENGUMPULKAN EMPAT EKOR TIKUS, DUA EKOR KADAL, DAN SATU LABU BESAR SESUAI PERMINTAAN IBU PERI.]
Ibu Peri: “Sim salabim!” [MENGAYUNKAN TONGKAT SIHIRNYA KE HEWAN-HEWAN YANG DIBAWA CINDERELLA]
[Empat tikus berubah menjadi kuda. Dua kadal berubah menjadi sais. Dan labu besar berubah menjadi kereta berwarna emas.]
Ibu Peri: “Sepertinya kau membutuhkan gaun baru.” [MENGAYUNKAN TONGKATNYA KEPADA CINDERELLA.]
Cinderella: “Wah, bagus sekali gaun ini, Ibu Peri.” [MELIHAT GAUNNYA BERUBAH MENJADI GAUN BERWARNA PUTIH YANG CANTIK NAN ELEGAN.]
Ibu Peri: “Sebagai sentuhan akhir…” [Ibu Peri mengayunkan tongkatnya, dan tampaklah sepasang sepatu kaca.]
Cinderella: “Ibu Peri, ini… ini…” [TAK KUASA MENAHAN RASA HARUNYA, MEMELUK IBU PERI.]
Ibu Peri: “Oke… oke… Tapi, kau harus ingat bahwa pengaruh sihir ini akan lenyap selepas pukul dua belas malam. Karena itu, pulanglah sebelum lewat tengah malam.”
Cinderella: “Baiklah, Ibu Peri, aku akan mengingat hal tersebut.”
Ibu Peri: “Sekarang berangkatlah!”
[CINDERELLA NAIK KERETA KUDA EMAS, YANG MEMBAWANYA BERANGKAT MENUJU ISTANA.]
Cinderella: [MENANGIS TERSEDU-SEDU, KARENA HATINYA KESAL.] “Oh, Tuhan, seandainya ayah masih ada, takkan begini ceritanya. Pasti aku dibelikan gaun terindah untuk ikut pesta itu.”
[SAAT ITU, SEORANG PERI TIBA-TIBA MUNCUL DI HADAPAN CINDERELLA.]
Ibu Peri: “Jangan menangis, anakku. Tidak seharusnya kau bersedih. Tersenyumlah, supaya wajahmu bertambah cantik.”
Cinderella: “Bagaimana bisa aku tersenyum, Ibu Peri? Aku juga ingin datang ke pesta itu seperti kakak-kakakku. Tapi, gara-gara aku tidak punya gaun yang cantik, mereka tidak mengizinkanku.”
Ibu Peri: [TERSENYUM DENGAN RAMAH.] “Cinderella, bawalah empat ekor tikus, dua ekor kadal, dan satu labu yang besar.”
Cinderella: [MUKANYA BINGUNG.] “Untuk apa?”
Ibu Peri: “Sudah kau kumpulkan saja.”
[CINDERELLA MENGUMPULKAN EMPAT EKOR TIKUS, DUA EKOR KADAL, DAN SATU LABU BESAR SESUAI PERMINTAAN IBU PERI.]
Ibu Peri: “Sim salabim!” [MENGAYUNKAN TONGKAT SIHIRNYA KE HEWAN-HEWAN YANG DIBAWA CINDERELLA]
[Empat tikus berubah menjadi kuda. Dua kadal berubah menjadi sais. Dan labu besar berubah menjadi kereta berwarna emas.]
Ibu Peri: “Sepertinya kau membutuhkan gaun baru.” [MENGAYUNKAN TONGKATNYA KEPADA CINDERELLA.]
Cinderella: “Wah, bagus sekali gaun ini, Ibu Peri.” [MELIHAT GAUNNYA BERUBAH MENJADI GAUN BERWARNA PUTIH YANG CANTIK NAN ELEGAN.]
Ibu Peri: “Sebagai sentuhan akhir…” [Ibu Peri mengayunkan tongkatnya, dan tampaklah sepasang sepatu kaca.]
Cinderella: “Ibu Peri, ini… ini…” [TAK KUASA MENAHAN RASA HARUNYA, MEMELUK IBU PERI.]
Ibu Peri: “Oke… oke… Tapi, kau harus ingat bahwa pengaruh sihir ini akan lenyap selepas pukul dua belas malam. Karena itu, pulanglah sebelum lewat tengah malam.”
Cinderella: “Baiklah, Ibu Peri, aku akan mengingat hal tersebut.”
Ibu Peri: “Sekarang berangkatlah!”
[CINDERELLA NAIK KERETA KUDA EMAS, YANG MEMBAWANYA BERANGKAT MENUJU ISTANA.]
[Babak ke 4. PUTRI CANTIK DATANG]
[CINDERELLA TIBA DI ISTANA DAN
LANGSUNG MASUK KE AULA ISTANA. BEGITU MASUK, PANDANGAN SEMUA YANG HADIR TERTUJU
PADA CINDERELLA. MEREKA SANGAT KAGUM DENGAN KECANTIKAN CINDERELLA, TERMASUK
SANG PANGERAN.]
Pangeran: “Putri yang cantik, maukah menari dengan saya?” [SAMBIL MENCIUM PUNGGUNG TANGAN CINDERELLA.]
Cinderella: “Baiklah, Pangeran.”
[CINDERELLA DAN PANGERAN MENARI DALAM ALUNAN MUSIK YANG SYAHDU DIIRINGI PANDANGAN IRI MATA SELURUH TAMU YANG HADIR. IBU DAN KETIGA KAKAK CINDERELLA MERASA IRI PADA PUTRI CANTIK ITU, MEREKA TIDAK MENDUGA BAHWA PUTRI CANTIK ITU ADALAH CINDERELLA.]
Pangeran: “Selama ini, saya mengidamkan wanita seperti Putri.”
Cinderella: [Tersipu-sipu]
[KEDUANYA TERUS BERDANSA HINGGA TIDAK TERASA WAKTU SUDAH MENUNJUKKAN PUKUL DUA BELAS MALAM. LONCENG PUN BERDENTANG-DENTANG.]
Cinderella: “Maaf Pangeran, saya harus segera pulang!”
[CINDERELLA LANGSUNG BERLARI PULANG. DI TENGAH TANGGA, SEPATU KACANYA TERLEPAS. TAPI, CINDERELLA TIDAK MENGGUBRISNYA. IA TERUS BERLARI. PANGERAN MENGEJAR CINDERELLA. TAPI, IA KEHILANGAN JEJAK CINDERELLA. PANGERAN MENEMUKAN SEPATU KACA MILIK CINDERELLA DI TENGAH TANGGA.]
Pangeran: “Aku akan mencarimu.”
[DI TENGAH JALAN PULANG, CINDERELLA BERUBAH KEMBALI MENJADI GADIS PENUH DEBU. NAMUN, IA SUDAH CUKUP BAHAGIA.]
Pangeran: “Putri yang cantik, maukah menari dengan saya?” [SAMBIL MENCIUM PUNGGUNG TANGAN CINDERELLA.]
Cinderella: “Baiklah, Pangeran.”
[CINDERELLA DAN PANGERAN MENARI DALAM ALUNAN MUSIK YANG SYAHDU DIIRINGI PANDANGAN IRI MATA SELURUH TAMU YANG HADIR. IBU DAN KETIGA KAKAK CINDERELLA MERASA IRI PADA PUTRI CANTIK ITU, MEREKA TIDAK MENDUGA BAHWA PUTRI CANTIK ITU ADALAH CINDERELLA.]
Pangeran: “Selama ini, saya mengidamkan wanita seperti Putri.”
Cinderella: [Tersipu-sipu]
[KEDUANYA TERUS BERDANSA HINGGA TIDAK TERASA WAKTU SUDAH MENUNJUKKAN PUKUL DUA BELAS MALAM. LONCENG PUN BERDENTANG-DENTANG.]
Cinderella: “Maaf Pangeran, saya harus segera pulang!”
[CINDERELLA LANGSUNG BERLARI PULANG. DI TENGAH TANGGA, SEPATU KACANYA TERLEPAS. TAPI, CINDERELLA TIDAK MENGGUBRISNYA. IA TERUS BERLARI. PANGERAN MENGEJAR CINDERELLA. TAPI, IA KEHILANGAN JEJAK CINDERELLA. PANGERAN MENEMUKAN SEPATU KACA MILIK CINDERELLA DI TENGAH TANGGA.]
Pangeran: “Aku akan mencarimu.”
[DI TENGAH JALAN PULANG, CINDERELLA BERUBAH KEMBALI MENJADI GADIS PENUH DEBU. NAMUN, IA SUDAH CUKUP BAHAGIA.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar