Translate

Senin, 04 November 2013

Kumpulan Cerpen


Cerpen kumpulan
Bukan Cerita Biasaoleh Fahrial Jauvan Tajwardhani

Cinta itu ibarat perang, berawalan dengan mudah namun sulit di akhiri.
Suatu hari, bermula dari pertemuan-pertemuan yang menyenangkan disekolah. Kebiasaan-kebiasaan ramah, saling bertatap wajah. Bercanda gurau habiskan masa-masa sekolah (dari tk, sd, smp, sampe sma) penuh suka, penuh gembira. Hingga akhirnya tercipta sebuah rasa yang dinamakan cinta.
***
Tak terasa masa-masa sekolah akan berakhir didepan mata. Masa muda yang penuh cita siap menantang dunia berupaya mengubah jalan cerita di hidupnya. Kemudian ada cinta yang merangkul rasa menemani ceria yang sebentar lagi akan berbalut luka. Karna akan berpisah selamanya.
Begini ceritanya,
Anatasha dan Reza, sejak kecil sampai remaja selalu bersama. Alasan apapun tak pernah membuat mereka berpisah. Tak pula mereka hanya sahabat saja, melainkan sejoli yang tangguh dan kokoh dalam cintanya.
Meski Reza tau Anatasha tak bisa bertahan hidup lebih lama darinya. Hal itu tak membuatnya goyah ataupun menyerah mencintai kekasihnya. Hanya saja, Reza tak kuasa menahan airmatanya manakala Anatasha memintanya pergi dan mencari pengganti dirinya yang tak sampai 1 bulan lamanya menikmati dunia.
Bukit berbunga, tepat dibelakang sekolah akan jadi saksi cinta mereka yang setia. Tempat favorit yang sering mereka kunjungi untuk mendengarkan lagu kesukaan bersama, belajar bersama, menikmati indahnya sunset yang jingga, tempat yang penuh akan kenagan manis mereka.
Itu semua akan jadi kenangan yang kemudian akan segera pudar sebagaimana tinta hitam yang melekat pada kertas putih kemudian terkena air lalu memudar dan akhirnya menghilang.
***
Ada pula cinta yang coba memaksa, datang menghantui Reza, memburamkan pandangannya agar Anastasha menghilang dari hatinya. Lantas cinta itu tak kuat merasuk ke hatinya hingga hilang dan berlalu begitu saja. Anatasha lah pemilik hati Reza seutuhnya. Hingga tak ada celah yang tersisa.
Tak sedikit air mata Reza yang tertumpah untuk Anatasha, manakala melihat tempat yang sering mereka lalui berdua hanya akan jadi kenangan.
Tak kalah hebat cinta Anatasha untuk Reza, korban rasa jadi hal biasa untuknya. Berpura-pura lupa telah mencinta, menyiksa hatinya demi kebohongan belaka. Hingga Reza tak terluka lagi dihatinya. Meski ceroboh tapi Anatasha melakukan yang terbaik untuk kekasihnya.

Tak terasa sampai pada waktu dimana 1 bulan kebersamaan mereka hanya tersisa 1 jam saja.
T ak banyak yang bisa dipersembahkan Reza untuk Anatasha yang waktunya hanya tersisa satu jam saja. Kemudian handphonenya berdering. Tak lama membuka handphone, airmatanya bercucuran di pipi. ‘waktu anda tersisa 1 jam’ begitulah tertulis pada catatan handphonenya. Pantas airmatanya berderai.
“Kenapa Reza menangis.”
“Aku hanya bahagia pernah berdampingan denganmu. Airmata ini sepertinya tulus keluar dari mataku,” Reza hanya tersenyum agar Anatasha tak mengkhawatirkan perasaannya.
“Meski itu bohong tapi aku bahagia mendengar ucapanmu,” tepisnya ragu perasaan Reza.
Reza hanya tersenyum. Kemudian bergerak, jalan menuju Anastasha.
“Hanya ada satu jam waktuku bersamamu, lalu apa yang kamu inginkan dariku? Apa aku harus melompat dari gedung tertinggi itu,” ujar Reza menunjuk gedung paling tinggi ditempat mereka berada, “Atau kamu mau aku menunggumu kembali?” lanjut Reza.
Airmata tulus mulai meleleh dari mata Anatasha. “Sudah saatnya cintamu diperbarui!!! Hari ini kurasa cintamu sudah sampai dibatas akhir.”
“Kalaupun kudapatkan kesempatan itu. Aku hanya ingin memperbarui cintaku dengan orang yang sama bukan dengan yang baru.”
“Bagaimana jika orang yang sama itu tiba-tiba menghilang?”
“Aku akan menunggunya kembali!!! Kapanpun aku menemukannya, aku akan mencintainya lagi. Seperti ini, iya benar-benar seperti ini.”
Anatasha menangis tanpa suara, melangkah tak bernada, kemudian bergerak, berdiri tepat membelakangi lelaki yang di cintainya.
“Waktumu hanya tersisa setengah jam. Lalu apa yang kamu inginkan dariku?”
“Gendong aku kemanapun kamu mau, kemudian bila aku diam, jangan pernah menoleh kebelakang. Jangan pernah berbalik melihatku, biarkan aku menghilang.”
“Sekali lagi aku mohon, saat aku tiada jangan pernah berbalik untuk mencariku, biarkan saja aku menghilang. Kumohon biarkan aku jadi bagian terindah dimasa lalumu. Biarkan aku tergantikan oleh orang lain.” Lanjut Anatasha terbata-bata dengan airmata yang membasahi pipinya.
“Bagaimana kubisa lakukan itu? Sementara sebentar saja aku tak melihatmu, aku berlari mencarimu. Mungkinkah aku bisa membiarkanmu pergi untuk selamanya? Aku tak akan menemukanmu lagi meski aku berlari lebih cepat dari biasanya.”
“Sebelum bertemu denganmu, aku hanya punya lem dan benang ditepian hatiku. Kemudian kamu datang merajut hatiku dengan benang itu, dan kamu kuatkan rajutan itu dengan lemnya. Lantas, bagaimana ia akan terbuka lagi?” lanjut Reza dengan airmata yang perlahan menetes.
“Biarkan ia sampai mengeras, tak lama ia akan pecah. Kemudian ada celah yang terbuka disana. Perlahan benangnya akan putus karna rapuh. Lalu ia sepenuhnya akan terbuka.”
“Tidak….! Jika benangnya putus dan hatiku terbuka, aku akan merajutnya kembali, meski itu menyakitkan. Tapi aku akan melakukannya.”
“Biarkan saja ia terbuka.” Suara Anatasha mulai letih, matanya terpejam. Tak lama badannya memberat.
Akhirnya, cinta mereka berhenti pada masa yang berbahagia. Dimana mereka saling tau apa yang dirasa, meski airmata yang jadi saksinya. Cukup yang dicinta tau apa yang di rasa, itu sudah cukup untuk bahagia.
SELESAI

Maaf, Ku Harus Pergi dari Cintamu
           Indahnya cinta kurasa , tetapi tak seindah yang kukira . malam semakin malam, tanpa ada dirimu disisi. ku mohon pada dirimu jangan dustai hati dan cintaku. Kasihku hanyalah dirimu , kasihku aku cinta padamu .Lembut nya embun pagi menyapa hati dan cintaku , seolah tak berhenti berharap akan cintamu. Manisnya cintamu dan indah senyum bibirmu menambah rasa cintaku kepada dirimu . dunia maya adalah awal cerita kita yang tak pernah kulupa sepanjang hidupku . perkenalan ku dengan dirinya membawa arti kebahagian dalam hidupku. Perbedaan pendapat membawa kita pada jurang kehancuran.

Maaf ini sudah menjadi keputusan ku dan harus pergi untuk kesekian kalinya , dan aku pun tak bisa berbuat apa – apa hanya kata maaf ku bisa ku ucapkan padamu.
Jujur ,kau telah melukai hati perasaanku , sehingga hidup ku kehilangan arah tujuan dan membuat suram hidupku.
En, kenapa kau membohongi ku, apa kau tidak iba akan diriku. Maafin aku? Janji- janjimu semua palsu .
Aku sedih melihat kamu tak setia pada ku .
Walau rasa sayangku begitu besar kepada mu. tapi itu percuma ,kamu seakan tak menghiraukan aku lagi.
Malam Tahun baru 2011 adalah malam begita saklar .makna pergantian tahun . karna,ini juga termasuk sangat bermakna dalam hubungan kita bina selama ini .semua serba baru .
Kamu dimana ? loh ko , kenapa kamu pulang ke Depok sih . oya udah , kalau kamu mau malam tahun baruan bersama keponakanmu.
Bergegas aku mencoba mengecek ketempat kost an mu di bilangan Rawamangun .apa benar dia pulang ke depok atau membohongiku.
Aku gak yakin Eni pulang ke depok , rasa bimbang dan gak yakin tercurah dalam perasaan ku ini.loh ko, ternyata dia membohongi ku , ku melihat sendalnya berada ditempat kerjanya .tanpa berpikir panjang aku ketuk pintu kantornya , dia tampak kaget memandang diriku .hubungan yang terjalin selama 4 tahun dirusak oleh dia sendiri. membina hubungan begitu lama, akhirnya dia berkhianat tertangkap basah dengan rekan kerjanya sedang berdua an dalam kantor.

Keluar kamu, dia tampak bingung memandang ku dan penuh rasa bersalah karna telah berbohong.
“Ayo, kita jalan ?
“Bergegas keluar dan meninggalkan kantor ?
“Pucat terlihat dalam raut wajahnya?
Sadar dia telah berbohong , pembicaraan selalu dialihkan .kamu kenapa bohong? Jujur ini terasa mimpi , dibohongi pasangan adalah sesuatu paling najis . Masih terasa luka oleh perilaku dia semalam , ternyata aku belum percaya 100%.
Walau pun diriku sedang libur , aku coba menyatroni tempat kost an untuk kali ke dua.rasa kepercayaan ku mulai luntur , tak kala dia tertangkap basah lagi . rekan kerjanya yang juga kenal denganku , Nampak datang ke tempat kost nya . aku gak tinggal diam, 500 menit ku mengawasi .akhirnya ku datangi kost an nya terjadi keributan , sayang tangan ku dipegang nya sehingga tak terjadi perkelahian antara hasim dan aku . merasa tertangkap basah untuk kali ke dua , dia nampak pucat terlihat diwajahnya.
Jujur dengan kejadian itu , aku benar gak bisa memaafkan dia ? rasa kepercayaan ku hilang seketika dan larut dalam kekecewaan .
Meski pun sudah hilang rasa cintaku . tetapi aku memandang dia , mungkin itu semua sesuatu ke khilaf an dan bisa diperbaiki kembali. Aku pun mencoba mengunjungi dia ke kost an nya dengan maksud main dan sekalian meminta maaf atas sikap ku yang arogan .sayang , maksud baik ku ga direspon dengan baik ,aku ditinggal sendiri di teras kost an nya.
Ku telpon ponselnya selalu di matikan ? Ku sms ga ada balasan?
Hingga akhirnya , mungkin aku harus pergi dari hati dan cintanya selamanya dan menatap esok hari yang lebih cerah. Pergi dengan perasaan galau terasa dalam hati ku . tak ada keindahan yang tercipta dunia seakan gelap menjadi gurita .
Mendengar ku tidak ada di Jakarta . dia pun mencoba menghubungi diriku
“hallo, kamu dimana ?
Maaf , aku sudah berada di luar kota sekarang?
“eh , kenapa kamu pergi ? segera balik , saya tunggu kamu di kost an sekarang.
“maaf ga bisa , aku sudah di Jawa ?
“oya , udah kalau itu mau kamu sih?


Kegagalan dalam bercinta bukan berarti kiamat , akan tetapi kegagalan adalah sebuah pengalaman dan harus dicarikan solusinya. Hari – hari yang indah kini telah hilang. Ku coba menjalani kehidupanku dengan rasa tegar walau terkadang rasa kesepian hinggap dan selalu menghantui pikiranku.
Gambaran cerita ini mungkin sedikit dari sekian banyak cerita hidup yangbisa di jadikan renungan.sehingga kita dapat belajar tentang arti sebuah cinta .karna, setiap manusia tidak ingin gagal dalam menjalin hubungan asmara.semoga kita lebih mawas diri dan menjaga hubungan jalinan kasih dengan pasangan kita.
Sekarang antara aku dan dia tidak ada kontek ?mungkin dia sekarang sudah menjalin cinta dengan yang lain dan menghasilkan Buah cinta yang menhasilkan kasih sayang
*******
















                                       Judul                              : Bunga dan Derita
                                                    Kategori            : Cerpen Sedih, Cerpen Remaja
                                                    Penulis                              : Ray Nurfatimah
Aku masih terpaku pada deretan bunga sepatu di hadapanku. Bunga yang telah terkatup layu seiring dengan telah lamanya aku menanti seorang pria yang mengajakku kencan di taman ini. Tiga puluh menit dari jadwal janjian, terasa tak jadi masalah saat dari kejauhan terdengar seseorang memanggilku. Namun saat kupalingkan wajahku, aku kecewa bukan main ternyata hanya kegaduhan orang-orang disebrang jalan.
Kembali aku fokuskan perhatianku pada rangkaian bunga dihadapanku. Sesekali kulirik wajahku pada kaca mungil yang sengaja kubawa. Aku harus memastikan saat Dannis datang aku bisa terlihat lebih cantik. Soalnya dia adalah laki-laki pertama yang aku persilahkan untuk mengajak diriku berkencan, ya walau hanya di taman kota saja. Dannis adalah teman sekelasku yang dua tahun terakhir ini aku idam-idamkan tembakannya. Padahal sebelumnya waktu menginjak kelas satu SMA aku sangat tidak akur dengan cowok tengil itu.
Tapi karena suatu moment saat aku cidera diperlombaan basket antar sekolah, dia dengan gagahnya membopong tubuhku. Dari kejadian itulah aku mulai mengalihkan fikiran jelekku kepadanya. Dari yang tadinya evil yang paling dihindari, kini jadi sosok pangeran penolong yang dinantikan kehadirannya.
Jarum jam telah menunjuk angka sembilan.
“Oh Dannis, setega itukah kamu? udah dua jam Nis hikss…..,” aku tejatuh dalam tangis. Anganku telah hancur lebur karena sebuah janji yang tidak ditepati.
Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku mendapati sepucuk surat beramplop merah jambu terselip di mejaku.
Hi Asmi…..  Malam ini aku haraf kita bisa ketemu….
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Mi….
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa….
-Dannis-          Ku ulang kembali hingga tiga kali, aku baca dengan super apik, terutama dibagian pengirim.
“Oh Tuhan, Dannis?” suasana bahagia bercampur haru menyelimuti hatiku.
Nuansa kelas menjadi indah dipenuhi bunga warna-warni. Hingga seseorang menepuk pundakku. Dan suasana kembali berubah menjadi kelas dua belas saat jam istirahat. Sepi, dan terkapar tak berdaya buku-buku yang dilempar majikannya.
“Asmi….”              “Ehhh….. Via, kenapa Vi?
“Loe yang kenapa? Dari tadi Gw intip dari jendela Loe senyum-senyum sendiri….”
Aku disuguhi pertanyaan yang membuat aku kikuk sendiri. Aku tidak bisa membayangkan seberapa merah wajahkun saat itu. Yang pasti saat itu aku benar-benar tertunduk.
“Eng….ngak ko Vi, aku gak kenapa-napa”, sahutku gugup.
“Ya udah Gw mau ke kantin aja, mau ikut gak Mi?”
“Oh gak, maksih aku gak laper.”
Aku segera membalikkan tubuhku, memburu kursi dipojokan kelas. Namun baru beberapa langkah, hartaku yang paling berharga disabet oleh orang dibelakangku.
“ehhhh..”
“Haaa… ternyata ini toh yang bikin Loe jadi gak laper? Hahhahah…”
“Via kembaliin!” ku rebut kembali kertas berharga itu.
“Yah Loe ini Mi, sekalipun Gw gak baca tapi Gw udah tahu isinya apaan.”
“So tahu kamu!”
“Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya nanti malam dia mau……” omongan Via tertahan dengan kedatangan seseorang yang dari tadi dibicarakan.
“Dannis…..” sahut ku dan Via kaget.
“Aduh hampir saja” bisik Via pelan.
“Kenpa Vi?” tanyaku penasaran.
“Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!”
“Lantas loe mau kemana Vi?” tanyaku semakin heran.
“Ke WC ya Vi? ya udah sana!” tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata kirinya.
“Oh ya bener, hhehhe”
Via telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.
“Gimana?” Tanya Dannis.
“Gimana apanya Nis?”
“Tuu…” tunjuknya ke arah kertas dijemariku.
“Oh oke deh aku mau”
“Ya udah Gw cabut dulu ya!” sahutnya salah tingkah.
“Oh ya…” aku tak kalah salting.
Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar pergi dia memanggilku.
“Hmmm…. Vi jangan ampe telat ya!”
“Ok sipp!”         “Awas loh”                “Iya bawel”
***
Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang kerumah. Sesampainya dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan Bunda, yang malah bikin hatiku semakin hancur saja. Beribu pertanyaan Bunda menghujani aku.
“Dari tadi kamu kemana saja?”
Aku hanya terdiam kaku tanpa menjawab pertanyaan Bunda.
“Jawab!” kali ini nada suara Bunda meninggi,
”Kamu tahu? anak perawan gak baik keluyuran jam segini!” sambung Bunda.
Aku masih tak memberikan respon apa-apa.
Plakkk
Sebuah tamparan menggores pipiku, “Oh Tuhan sakit sekali” bisikku dalam hati.
“Bunda jahat!” aku segera masuk kekamar, kututup rapat pintu kamarku.
Malam ini sungguh menjadi malam yang paling berat untukku. Ini adalah kali pertama Bunda menampar dan memarahiku. Belum lagi dengan perasaanku yang masih kecewa karena kencan pertamaku gagal, karena Dannis tak hadir diundangannya sendiri.
“Oh Tuhan, semalang itukah nasib ku?”
Aku kembali terhanyut dalam tangis, hingga akhirnya aku tertidur pulas.
***

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Fikirku sudah matang, sesampainya disekolah akan ku beri tamparan mereka berdua.
“Via sama Dannis itu dari mulai sekarang bukan temanku lagi, teman macam apa mereka? Berani ngerjain aku ampe separah itu!” gerutuku kesal
Kakiku masih mengayuh, menyusuri pinggiran jalan kota yang ramai. Namun saat aku melewati Taman Kota kakiku serasa tertahan, aku mengingat peristiwa tadi malam.
“Cuihh….. aku bakalan balas semua rasa sakitku tadi malam!” aku kembali bergerutu kesal.
Aku samakin kesal saat aku menyadari banyak kelopak bunga mawar berantakan diruas jalan.
“Apa-apaan nih, mereka kira aku lagi jatuh cinta apa?” dunia pun seakan menertawakan rasa sakitku dengan menabur bunga di jalanan yang aku lewati ini.
Aku berlari kencang meninggalkan keanehan yang membuat aku semakin gila. Tak membutuhkan waktu yang lama aku telah sampai disekolah.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari dua orang biadab itu. Tiga puluh menit telah berlalu, aku sudah mengubek-ubek isi sekolah tapi hasilnya nihil, keduanya hilang bak ditelan bayang. Hingga bell masuk pun tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran dimulai, baru sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget “Aku haraf itu Dannis atau Via”. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas kami.
“Pagi anak-anak”
“Pagi Bu……” jawab murid hamper serempak.
“Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada kalian”. Semua anak kelas dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan Bu Jen.
“Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia mengalami kecelakaan yang cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat tertolong”. Suara Bu Jen semakin melemah.
Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimana-mana. Aku sendiri terpasung dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah sedih yang tak tertahankan.
“Dannissssss!!!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya, aku berlari dan terus berlari. Hingga akhirnya aku telah bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal dipenuhi kelopak bunga yang telah layu diinjak pengguna jalan.
“Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah”
Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.

Dear……    Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis            Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.
“Dannis…..Hiks” kepala ini semakin tak tertahan, dan akhirnya aku terkapar dalam ketidaksadaran
.
***
Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku lihat dengan pasti wajah Bunda dan Via penuh dengan kehawatir dan penasaran.
“Asmi kayaknya udah sadar Tant”
“Iya”
“Aku kenapa Bund?” tanyaku dengan nada berat.
Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian sebelum aku terkapar dalam tempat tidur ini,
“Dann….” Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku. Bunda menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus ucapanku,
“Iya, kamu yang sabar ya nak”
Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang mengalir deras dipipiku.
Via memeluku erat,
“Maafin Gw ya Mi, Hiks… Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat Loe.”
“Hiks…… Dannis”
***
Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak ingin brtemu siapa-siapa.
Tukk tukkkk…..        Seseorang mengetuk pintu kamarku
“Asmi , nih ada Nak Via pengen ketemu kamu.”
“Pergi Kamu!!” bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat diwajah Via saat Bunda membuka pintu kamarku.
“Mi ini Gw, Via”            “Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!”
“Ya Gw Mi, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang membuat Dannis sadar tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis sadar kalo cintanya gak bertepuk sebelah tangan!”
“Jadi Dannis……..” ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Via yang basah karena air mata, “Bohong!” bentakku bringas.
“Gak Mi!”
“Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati” sahutku sinis.
“Gak Mi, Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh menit, dia terus manggin-manggil Loe, tapi Loe gak denger,” ucapannya terhenti, sesaat Via mengambil nafas panjang “Loe malah sibuk sama riasan Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!”
“Bohong!”
“Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke Taman karena dia kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.”
“Dannis….Jadi”
“Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe Mi! Pliese Loe jalani hidup Loe lagi, buat Dannis Mi!”
“Hiks…….”
Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku. Karena aku telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin. Karena aku mencintai Dannis, laki-laki yang mencintai aku.
***
The End


Doa IbuDunia. Andai kau tahu dan dapat menceritakan pada semesta tentang kasih sayang seorang ibu yang paling dalam adalah, ketika melihat anaknya tersenyum, dalam kebahagiaan. Seperti embun yang menyejukkan rumput-rumput hijau ketika mentari menyembul. Seperti udara yang menyeka peluh. Seperti unggun yang menghangatkan tubuh. Seperti matahari yang terus bersinar menerangi semesta.Kasih sayang seorang ibu. Sungguh tak terkira limpahannya. Apapun akan ibu lakukan demi membuatnya anaknya senang. Ya, hanya demi membuat separuh hatinya itu merasa bungah. Ibu rela bekerja keras. Rela membanting tulang. Mati-matian bercucuran keringat. Mencari penghasilan. Agar anaknya tetap bisa makan. Bisa bersekolah.
Begitupun dengan Bu Syalimar. Seorang janda yang di usia senjanya kini masih dia pergunakan untuk mencari nafkah demi membuat anaknya tetap bisa bersekolah. Tumbuh dan berkembang menjadi seorang anak seperti yang pernah mereka –Bu Syalimar dan suaminya– cita-citakan. Namun, harapan itu sekarang hanyalah fatamorgana.
Fahri! Dia sudah jauh berubah. Tak lagi seperti remaja santun saat dia tinggal bersama ayahnya dulu. Kini, Fahri tak mempunyai panutan. Liar. Lebih suka keluar rumah malam-malam dan tak bisa dikendalikan. Tidak ada tempat dan tujuan. Ia seperti gelandangan. Yang patut dikasihani orang. Di rumah, ibunya menangis menanggung beban. Malu, anaknya telah menjadi gunjingan dan buah bibir setiap orang.
Bu Syalimar duduk di depan meja makan. Sesekali matanya menatap hidangan kesukaan Fahri. Tertata rapi di meja persegi. Seketika rasa cemas dan khawatir menggerogoti pikiran dan hati Bu Syalimar. Mengapa hingga larut malam sang anak belum juga pulang. Padahal di luar hujan terus menerjang. Dinginnya tak tertahankan. Kasihan Fahri. Dimana kamu, Nak?
Bu Syalimar cemas dan tak berhenti mondar mandir. Tak jauh hatinya terus bertakbir. Bibirnya bergetar mengucap istigfar. Hatinya merintih-rintih melafal tasbih. Bu Syalimar masih cemas. Ia sangat cemas. Seharian Fahri belum mencicipi nasi. Perutnya pasti belum terisi. Dimana kamu, Nak?

Di singkapnya tirai jendela pelan. Dilihatnya rintik-rintik hujan berjatuhan. Membuat hatinya teriris-iris. Bu Syalimar menangis. Bayangannya kini menatap Fahri merengkuh, kedinginan dan kelaparan. Sudah seharian dia tidak pulang. Kenapa tiap malam harus keluar? Apa kamu masih marah pada ibu? Kemana kamu, Nak?
Fahri duduk di sebuah bar. Matanya liar menatap pengunjung yang lalu lalang. Akal sehatnya tak lagi terjaga. Hanyalah uang, uang, dan uang dalam benaknya. Peduli apa? Ibunya sudah renta. Naluri Fahri tak seirama, hati dan jiwanya terluka. Tak lepas doa baginya. Usaha. Itulah jalan yang sudah ia tempuh. Untuk orang terdekatnya.
Fahri menghampiri gadis-gadis asusila. Yang terbiasa mengumbar aurat tanpa kenal dosa. Tak sadar malaikat mencacat setiap titik noda dan pahala. Tak akan lewat satupun kelak perhitungan Tuhan Yang Maha Mulia. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada yang diuntungkan. Semua, tergantung perbuatan.
Keluar dari bar, Fahri tidak langsung pulang. Padahal ibunya masih bersabar menunggui meski matanya lengket hingga terkantuk-kantuk. Fahri pergi ke rumah kawannya. Makan malam bersama mereka. Sementara sang ibu. Masih tetap menunggu. Kini, perutnya perih. Sesekali Bu Syalimar merintih.
Tubuh Fahri menggigil kedinginan. Ia berjalan mengendap-endap menghindari ibunya yang terlelap di ruang makan. Suara hati ibu yang penuh kasih dan cinta selalu di jaga oleh Yang Maha Kuasa dan itu tak bisa dipungkiri. Bu Syalimar pun terjaga menyadari Fahri kembali.
“Fahri… kamu dari mana saja, Nak…?” Fahri diam. Menatap ibunya mengiba.
“Fahri… ayo makan dulu, ibu sudah masak makanan kesukaanmu. Sate kerang. Ada tumis kangkung. Ayo, ibu juga sudah lapar. Kita makan sama-sama, Nak…” Fahri hanya diam menatap ibunya yang tiba-tiba sibuk di depan meja makan.
“Fahri sudah makan!” pungkasnya lalu beranjak hingga akhirnya lenyap di balik pintu. Seketika itu juga sontak Bu Syalimar mematung. Tangannya masih memegang piring yang niatnya ingin menyajikan buat anaknya. Pikiran Bu Syalimar kosong. Perlahan ia meletakkan piring itu di atas meja. Hatinya tersayat-sayat. Lagi-lagi Bu Syalimar menangis. Fahri tak melihat.

Di kamar Fahri terlentang. Matanya basah menyadari keluarganya sudah tak utuh lagi. Keluarganya sudah terbelah. Akan ada seorang nahkoda di pandu oleh dua orang awak dalam satu kapal. Fahri gamang. Perlahan ia menangis. Menyesal dengan sikap ibunya yang tidak ada bijaksananya sama sekali. Entah apa niatan hati sang ibu. Fahri masih Menangis. Bu Syalimar juga masih menangis. Mereka, sama-sama menangis. Seperti langit malam yang ikut menangis. Hujan turun semakin deras. Membuat pecah tangis mereka hilang dalam senyapnya suara alam. Kawan, kalau kalian melihat mereka. Mustahil tak menitikkan air mata.
Pagi itu Fahri tidak bersekolah. Dia mengendarai sepedanya meluncur entah kemana. Diam-diam Bu Syalimar mengikuti. Membuktikan apa yang selama ini tetangganya sering katakan tentang anaknya, bahwa anaknya sekarang kerjanya adalah mencuri. Demi membunuh rasa penasaran itu, Bu Syalimar pun mengamati gerak gerik Fahri. Hatinya ketar ketir.
“Astagfirullah aladzim!” Bu Syalimar terkejut. Perlahan matanya berkaca-kaca. Dada Bu Syalimar langsung terasa sesak. Tubuhnya lemas. Perempuan paruh baya itu mengelus dadanya seiring derai air matanya menetes-netes. Bu Syalimar bertasbih memuji Tuhan. Berdoa agar anaknya tak kualat. Bu Syalimar tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya bisa menangis. Bu Syalimar menyandarkan tubuhnya ke dinding masjid. Perempuan itu mederita.
Hari terus berlalu. Menggulung sisa-sisa kenangan menjadi debu. Lalu terbang terbawa angin dan hilang bersama udara. Menyisakan aroma kepedihan dan pahitnya luka. Yang terasa menohok menjahit jiwa. Mengiris asa. Mengebiri hati dan juga cita-cita. Semuanya kini sudah sirna. Semua terasa berbeda. Apalagi setelah ia harus menerima sosok seorang lelaki yang telah melepas status janda ibunya. Semakin besar pula alasan Fahri tak betah di rumah.
“Dari mana, kamu?” tanya Pak Sastro ketus. Fahri diam.
“Ayah tanya, kamu dari mana?!” sentak Pak Sastro garang.
“Memang penting, buat Ayah?” sahut Fahri datar.
“Fahri…” sela Bu Syalimar setengah emosi.
“Sudahlah, Buk! Ibu dan Ayah tak perlu repot-repot mengurusi Fahri. Kalian tak usah pura-pura peduli…” remaja itu kembali melangkah. Pak Sastro masih emosi. Secepat bertindak ia meraih pundak Fahri.
Plaaak!
Fahri tertegun. Bu Syalimar pun tertegun. Hening. Fahri hanya memegangi pipinya yang memerah. Terasa panas.
“Kamu ini benar-benar sudah kelewatan, Fahri! Sikapmu pada Ayah dan Ibumu sungguh keterlaluan. Kamu ini kenapa? Kalau Ayah dan Ibu ada salah, jelaskan. Jangan hanya membuang diri dengan sikapmu yang kekanak-kanakkan!”
Fahri tertegun.
“Ayah tanya. Kenapa kamu mencuri, Fahri? Apa uang yang Ayah berikan untukmu kurang, hah?!!!”
Fahri masih diam.
“Kamu tahu, kami ini malu punya anak seperti kamu. Sangat malu. Orang-orang menggunjingmu dan membuat telinga kami panas setiap hari. Kamu dikenal sebagai pencuri. Tukang bolos sekolah. Suka keluyuran nggak jelas. Bahkan yang lebih parah, beberapa orang bilang kamu suka main ke club malam. Apa itu jalan hidupmu sekarang, Fahri? Apa kamu sudah nggak punya masa depan? Kalau kamu ingin bebas. Silakan. Kamu bisa bebas sekarang…” Fahri masih tertegun. Matanya berkaca-kaca.
“Tapi ingat, Nak! Mencuri uang masjid itu sudah sangat amat kelewatan. Kamu sama saja seperti orang yang tak punya iman. Kamu seperti orang yang tak mengenal agama. Kamu buta mata, buta hati. Kamu mau jadi anak terkutuk?!”
Sepertinya Fahri sangat lelah. Hingga syaitan merasuki aliran darahnya. Mata Fahri memerah. Darahnya mendidih. Seketika itu juga Fahri menghantam wajah Pak Sastro hingga lelaki tua itu jatuh tersungkur, bapak tiri yang menurutnya sangat arogan dan sok bijak. Sang ibu menangis. Pak Sastro nyaris kalap. Suasana rumah itu tak ada nyamannya dalam hati Fahri. Dengan langkah cuek dia menuju kamarnya. Dia benci karena ibunya mau menikah lagi.
Fahri tak tahan lagi. Ia marah entah pada siapa. Sebuah tinjuan keras mendarat pada cermin malang lemari pakaiannya. Darah segar menetes. Napas Fahri terengah-engah. Karena jiwanya sungguh sangat lelah. Darah itu terus menetes. Fahri terpekur. Menyesal telah menghantam sang ayah.

Di sekolah, Fahri duduk di depan kelas. Ia menatap beberapa anak kelas lain berjalan di lapangan. Dua orang lelaki diantara mereka berbisik seiring mata mereka melihat Fahri risih. Remaja labil itu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka juga tetangga Fahri. Emosi Fahri memuncak. Ia berjalan mendekati dua orang itu.
“Kalian bicara apa, tadi?” tanya Fahri sambil mencengkram kerah kedua temannya itu.
“Ngg-nggak, kami nggak ngomong apa-apa tentang kamu…”
“Arrrghhh! Jangan bohong!” sentak Fahri. Kedua remaja itu mengekrut. Tanpa banyak cakap Fahri langsung meninju kedua remaja itu bergiliran. Meski keduanya sudah memohon ampun, Fahri tak bergeming, hatinya makin kalap. Ia terus memberi kedua penggunjing itu bogem mentah hingga dua remaja itu babak belur. Beruntung, beberapa teman Fahri datang dan melerai.

Siang harinya Fahri di sidang di ruang BP. Lagi-lagi kedua orangtunya harus menanggung malu, cibiran dan cercaan menghantam hati kedua orang tuanya bertubi-tubi. Tidak ada alasan mendasar yang membenarkan apa yang Fahri lakukan pada kedua teman di sekolah tadi pagi. Apalagi hanya karena hal sepele, mengejek.
Setibanya di rumah. Fahri di lucuti habis-habisan. Ia diceramahi ayahnya. Di nasehati ibunya. Dasar Fahri. Dia sudah tidak bisa lagi di beri pencerahan. Dia menganggap semua yang ia lakukan selama ini benar. Hanya saja kedua orangtunya yang tidak mengerti. Itulah anggapan dirinya.    Seolah biang keladi dari semua masalah. Malam harinya. Kedua orang tua Fahri kembali di kejutkan dengan kedatangan seorang polisi intel. Polisi itu mencari Fahri dengan alasan bahwa Fahri ada sangkutan dengannya karena telah terbukti mengkonsumsi obat-obatan haram. Sontak sang ayah syok. Sang ibu langsung menangis. Mereka sangat terpukul. Malam itu juga Fahri keluar dari rumahnya ikut bersama polisi itu. Sedangkan kedua orangtuanya tak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka hanya bisa menangis. Menanggung derita. Lahir batin. Bisik-bisik tetangga mau tidak mau membuat wajah mereka menebal.
Sehari berlalu. Sepekan pun terlewati. Sebulan sudah dijalani. Kini Fahri telah pulang. Namun bukan sambutan dan senyuman yang menjamunya. Melainkan amarah dan kebencian penuh murka dari sang ayah.
“Anak kurang ajar. Tak tahu diuntung!!!” pekik Pak Sastro kalap. Fahri diam. Dua tamparan mendarat di pipi Fahri. Ayahnya tak lagi peduli. Sang ibu hanya bisa merintih. Merintih hati. Merintih jiwa.
“Maafkan Fahri, Yah!”
“Cukup! Ayah tidak mau mendengar apa-apa lagi dari mulutmu. Ayah sudah sangat malu karena sikapmu pada kami selama ini. Kamu seperti melempar kotoran pada muka kami. Kamu itu liar, Fahri. Liar!”
“Yah… Sabar, Yah. Biar Fahri menjelaskan…” sela ibunya namun tak di pedulikan lagi oleh sang ayah.
“Nggak usah dibela lagi anakmu ini, Buk! Dia sudah keterlaluan. Anak seperti ini jangan dikasih ampun. Biar dia mengerti! Sudah banyak dia membuat masalah. Sudah cukup bersabar kita membiarkannya. Sekarang, biarkan dia bebas.” sahut sang ayah emosi.
“Maafkan Fahri, yah…” kata remaja itu getir.
“Sekarang kamu pergi. Pergi dari rumah ini. Cepat!” teriak Pak Sastro tengsin. Fahri meminta maaf pada orang tuanya. Dia meminta mereka mendengar penjelasannya. Namun sayang. Ayah Fahri tak mau mendengar apa-apa lagi.
“Biar kamu puas tinggal di luar. Biar kamu sadar. Di luar itu nggak mudah hidup enak, biar kamu tahu arti susah. Sekarang kamu boleh pergi, tinggalkan Ayah dan Ibumu. Jangan kembali sebelum kamu menyadari dan menyesali semua perbuatanmu selama ini. Pergi!!!” bentak Pak Sastro sambil menutup pintu.

Fahri terpaksa pergi dari rumahnya. Tanpa membawa apa-apa. Gerimis mengiringi langkah remaja labil itu. Dia tidak tahu harus melangkahkan kakinya kemana lagi. Orang-orang kini sudah membencinya. Fahri pergi ke rumah temannya, Ranu.
Dulu, dia sering pulang dari bar dan main ke rumah temannya itu. Hanya seminggu Fahri betah tinggal disana. Pasalnya. Dia tidak ingin menjadi beban keluarga temannya itu. Fahri menyadari. Fahri tahu diri. Dia memutuskan untuk pamit.

Hal yang Fahri tak pernah duga sama sekali adalah. Dia tidak diberi tahu tentang kabar Pak Sastro yang kecelakaan beberapa hari terakhir. Fahri syok. Dia merasa dirinya tak di anggap lagi. Fahri menangis. Dia sangat terpukul.
Malam itu, tepat seminggu Pak Sastro pulang dari rumah sakit. Fahri diam-diam mengunjungi rumah orang tuanya. Salah satu kerabat Pak Sastro tidak terima. Ia meminta Fahri segera meninggalkan rumah itu. Fahri menangis. Dia ingin bertemu ibunya. Sayang, menurut pengakuan Hamdi–adik Pak Sastro. Ibu Fahri tidak mau menemuinya lagi.
Oh Tuhan. Fahri semakin terpukul. Sebegitu bencikah sang ibu padanya kini?! Sampai-sampai tak mau lagi bebicara padanya? Dengan langkah berat Fahri pun pulang diselingi derai air mata. Tetangga yang melihatnya bukannya bersedih atau iba. Malah memaki dan mengumpat. Mengutuk remaja itu. Bahkan ada beberapa dari mereka yang sempat melempari Fahri dengan kaleng bekas minuman. Fahri tak peduli lagi. Dia sudah cacat hati. Cacat mental. Cacat diri. Untuk terakhir kalinya Fahri melihat rumahnya. Ia menitikkan air mata. Nuraninya ingin sekali menjenguk sang ayah. Namun apa daya tangan tak sampai. Keluarga sudah membencinya.
16 April 2013
Bu Syalimar duduk di atas sajadah. Air matanya masih menetes. Antara bahagia, bangga, sedih, dan terharu, Bu Syalimar berdoa. Bayangannya kembali pada saat penuturan seorang Bapak Tua pemulung sampah kota yang singgah ke rumah Bu Syalimar waktu itu dan menceritakan nasib Fahri.
“Saya sedang istirahat. Duduk di serambi masjid Al-Ikhlas. Malam itu tiba-tiba saya mencium aroma wangi seperti minyak kasturi. Saya cari bau itu. Tidak ketemu. Selang beberapa lama bau wangi itu pun menghilang. Saya sempat merinding.
Karena hari sudah malam, akhirnya saya memutuskan untuk shalat isya di masjid sebelum saya pulang ke rumah. Setibanya di dalam masjid, saya di kejutkan karena tiba-tiba saya kembali mencium aroma wangi itu. Saya perhatikan sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Saya sempat berfikir, aroma wangi masjid tidak seperti ini baunya. Ini bau alami. Lagi-lagi saya sempat merinding.
Setelah selesai shalat, saya tersentak. Tiba-tiba seorang lelaki muda entah kapan datanganya, saya lihat sudah terlelap di depan mimbar menghadap kiblat. Padahal sebelumnya saya yakin tidak ada siapa-siapa di dalam masjid itu selain diri saya sendiri. Saya putuskan mendekatinya karena saya anggap pemuda itu tertidur. Setelah saya sentuh tangannya. Saya merinding. Pemuda rupanya itu telah meninggal. Tapi saya yakin meninggalnya belum lama. Karena wajahnya masih merona dan tampan tersenyum. Dan subhanallah. Aroma wangi itu ternyata dari keringat pemuda itu yang belum kering. Saya pun akhirnya memanggil warga. Dan saya baru tahu, kalau pemuda itu adalah anak Ibu…” kelakar Bapak Tuan itu panjang lebar.
Sehari yang lalu. Selain Bapak Tua, Ranu datang dan menjenguk Bu Syalimar. Setelah berbasa basi, Ranu mengajak Bu Syalimar berbicara empat mata. Bu Syalimar terheran-heran.
“Apa ini, Nak?” tanya Bu Syalimar setelah menerima amplop dari Ranu. Remaja itu tersenyum.
“Amplop itu, Buk! Berisi uang yang selama ini pernah Fahri kumpulkan buat saya. Dia bekerja di club malam selama sebulan, menjadi pelayan hanya demi membantu ibu saya berobat, Buk! Saya sempat menolak. Tapi Fahri keukeh. Dia ikhlas katanya. Namun, diam-diam saya bertekad. Akan mengembalikan semua uang itu setelah saya bekerja. Alhamdulillah. Sekarang saya sudah bekerja, dan saya bisa memulangkannya. Semoga Ibu berkenan menerimanya…” kelakar Ranu membuat jantung Bu Syalimar nyaris meledak.
“Jadi, selama ini Fahri telah membantumu?”
“Ya, Buk. Fahri keluar tiap malam hanya untuk bekerja demi membantu saya dan keluarga saya. Dia juga sering curhat sama saya, ingin sekali Fahri makan malam bersama Ibu di rumah. Tapi dia tidak bisa. Karena waktunya bekerja tak memungkinkan Fahri pulang ke rumah…”
“Perlu Ibu ketahui juga. Makanan Bu Syalimar yang sengaja di sediakan buat Fahri sebenarnya tidak di makan kucing seperti apa yang sering Ibu katakan. Tetapi diam-diam Fahri yang memakannya setelah Bu Syalimar tertidur. Dia sering bilang begitu…” sambung Ranu. Bu Syalimar sangat terpukul. Dia tersedu sedan.

Andi dan Hendra pun datang ke rumah Fahri. Mereka menceritakan, kalau Fahri terpaksa menghajar mereka karena Fahri menganggap gunjingan mereka terhadap Fahri itu sangat kelewatan. Mereka menyadari dan mengakui. Mereka memang telah menggunjing ibu Fahri yang menikah lagi dengan Pak Sastro dengan berbagai tuduhan dan juga umpatan yang terdengar menyakitkan. Karena Fahri tak terima, Fahri pun terpaksa melakukan hal itu. Andi dan Hendra pun meminta maaf. Mereka yang salah.
Sehari sebelumnya. Di waktu berbeda, pun seorang lelaki muda bernama Lukman yang malam itu pernah membawa Fahri ke kantor polisi datang menemui Bu Syalimar. Perempuan itu semakin terkejut-kejut mendengar penejelasan polisi intel itu.
“Maaf, Buk! Sebenarnya kami menyewa anak Ibu untuk mencari informasi tentang salah satu oknum guru di sekolah Fahri yang terlibat atas kasus obat-obatan terlarang. Kami sengaja membuat pengakuan palsu bahwa Fahri mengonsumsi obat-obatan itu hanya demi menggabungkannya dengan salah satu tahanan yang kami duga antek dari guru tersebut. Ternyata usaha kami tidak sia-sia, Buk. Fahri sangat membantu. Dan ini, upah yang seharusnya sudah kami berikan pada anak Ibu sebulan yang lalu. Namun, dia hanya menerima separuhnya. Yang saya dengar, uang itu dia pakai buat panti asuhan di sebelah masjid Al-Ikhlas.” Jelas Lukman membuat Bu Syalimar tertegun-tegun. Dia sama sekali tidak menyangka dengan apa yang selama ini datang dengan sendirinya dan membuka tabir. Kini semuanya jelas. Fahri tidak seperti apa yang orang-orang katakan selama ini. Bu Syalimar berdoa penuh kasih. Berharap anaknya mendapat tempat yang layak. Dia tersenyum dalam tangis
.
Di atas batu nisan. Bu Syalimar menabur bunga mawar. Ia tak berhenti berdoa pada Yang Maha Kuasa. Air matanya sesekali menetes, begitu menyadari anaknya seorang khusnul khatimah. Kini, Bu Syalimar telah ikhlas. Melepas sang anak tercinta mendahului dirinya juga suaminya. Tak jauh di belakang Bu Syalimar, Pak Sastro berjalan perlahan mendekat. Mengecup jilbab Bu Syalimar khidmat. Mereka, sama berdoa mengharap ridho. Ridho Tuhan atas ridho mereka.
“Semoga Allah melapangkan tempatmu, Nak. Maafkan juga Ibu yang tidak menyadari penyakitmu – Infeksi lambung. Semoga doa dan air mata Ibu ini sanggup meluluhkan hati Mungkar dan Nakir. Semoga langit dan bumi serta samudera bertasbih mendoakanmu. Ibu ikhlas, Nak. Ibu ridho. Doa Ibu menyertaimu. Allahummaghfirlahuu. Warhamhu. Wa’aafihii. Wa’fu’anhu.”


You are my Girl, I’am your Boy and Vejo is my Vespa “
Kali ini untuk yang berpuluh-puluh kalinya, Karjo kembali ke kebiasaannya setiap pagi sebelum berangkat Sekolah. Kalau sudah pagi, pasti suara Emaknya Karjo kedengaran sampai ujung kampung bahkan menggema ke kampung sebelah. Abis, suaranya Emaknya Karjo cetar membahana, kayak penyanyi terkenal tuh, Syahrini yang terkenal dengan slogannya “Sesuatu”. Dan seperti biasa, Karjo dibangunin Emaknya.
“Karjooooo! Ya Allah, ni anak ye.. molor mulu dari tadi.. Karjooo! bangun lu!,” teriak Emak dengan suaranya yang cetar membahana. Di tangannya sudah siap sepotong rotan buat mukulin si Karjo kalau sampai nggak bangun-bangun.
“Bangun lu! hayo, kaga mau bangun lu, hah?!” teriak Emak sambil berusaha buat nempelin rotan ke tubuhnya Karjo. Karjo merintih kesakitan kemudian segera bangun dengan iler yang masih menetes di bibirnya.
“Iya, mak! Karjo udah bangun. Ya Allah, mak.. sampai kapan sih Emak bangunin Karjo dengan suara yang sampai kedengeran ke kampung sebelah?” kata Karjo dibalas dengan pelototan Emak.
“sampai kapan, sampai kapan? sampai elu bisa bangun pagi! noh, liat noh.. ini udah jam berape? lu kaga mau ke sekolah? lu kaga mau sukses? bilang kalau kaga mau biar Emak kirim elu ke Kalimantan biar lu bisa kerja bantuin abang lu, si Saprin..”
“Ya ela, mak. Tega banget sih ama anak sendiri? Karjo kaga mau ke Kalimantan, Mak. Karjo mah mau sekolah biar bisa sukses, bisa banggain Emak sama Bang Saprin juga. Lagian, ini jam berapa sih, mak?”
“Apee?! jam berape? lu nanya jam berape? udah deh, lu bangun terus mandi biar badan lu wangian dikit baru lu ke sekolah sekarang sebelum lu ke kunci gerbang sama si satpam genit itu. Cepetan!”
“Iya iya, Mak. Oh, ya? jam weker Karjo mana, mak?,”
“Karjo, karjo! lu kayak kaga pernah tau aja ke mana semua jam weker elu kalau elu bangun pagi? noh! di sono!,” tunjuk Emak. Dan seperti biasa, jam weker Karjo yang baru dibeli tempo hari, sekarang rusak gara-gara dibanting Karjo sewaktu jam weker itu berdering. Karjo dengan lugunya tersenyum kepada Emak.
“Apaan lu senyam senyum gitu? udah, lu mandi sono udah telat banget lu, Karjo. Emak nunggu di ruang makan aja, yah? cepetan!,”
“Iya, Iya, mak,” sahut Karjo masih dengan matanya yang bengkak karena baru bangun.

Karjo anak yatim sejak ditinggal mati Ayahnya sewaktu Karjo masih kecil dulu. Sekarang, hanya ada dia dan Emaknya di rumah. Si Saprin, kakak laki-laki Karjo merantau ke Kalimantan buat nyari duit yang banyak. Di sana Saprin kerja di sebuah pabrik sebagai seorang karyawan. Tapi gaji bulanan Saprin tidak banyak, oleh karena itu Emak terpaksa buka warung kopi di depan rumah buat menambah pemasukkan duit. Emak juga tidak tega melihat Saprin kerja siang malam di kota orang demi membiayai sekolah Karjo dan biaya hidup mereka. Apalagi Emak tau kalau Saprin nyisihin sedikit uang buat dirinya yang kemudian sebagaian besar gajinya diberikan kepada Emak dan Karjo. Saprin dan Karjo meskipun keduanya saudara kandung, tetapi mereka mempunyai kepribadian yang berbeda. Saprin anak yang rajin bekerja, giat belajar dan berprestasi ketika ia di sekolah. Sedangkan Karjo, anak yang awut-awutan, nilai sekolah selalu merah, malas belajar tetapi Karjo juga anak yang baik dan patuh sama orang tua. Meskipun begitu, Emak sangat menyayangi keduanya, karena hanya mereka berdua yang Emak punya sekarang.
Karjo keluar kamar dengan pakaian seragam SMA dan tas selempang yang sering dipakainya ke sekolah. Berharap, ada makanan enak tersaji di meja, ternyata dugaannya meleset.
“Singkong? singkong rebus lagi, mak?,” tanya Karjo dengan raut kecewa.
“Iyee! emang tiap hari singkong rebus, kan? kenapa raut muka lu? emang lu berharapnya apa?,”
“Sekali-kali roti selai plus segelas susu, kek mak?,”
“Roti selai? susu? eh, singkong aja udah bagus buat kita, lu maunya roti selai sama susu? lu kata kita mampu beli makanan kayak gitu buat sarapan tiap hari? Jo, lu syukurin aja deh, atas makanan kita hari ini. Ini itu rezeki dari Allah buat kita, kaga baik mengeluh gitu. Udah, ye? lu makan aja daripada ntar di sekolah perut lu keroncongan?” tutur Emak sambil mengunyah singkong rebus. Karjo diam sesaat kemudian segera duduk di depan Emak ikut menikmati singkong rebus seperti pagi biasanya.

Dengan langkah kecil yang dipercepat, Karjo segera menaiki motor vespa putihnya yang sudah terparkir di depan rumah. Vespa itu adalah hadiah terakhir dari Almarhum Ayah Karjo. Karjo juga sayang sekali dengan vespa itu, karena sewaktu detik-detik terakhir Ayah Karjo, ia berjanji akan merawat vespa tersebut. Karena itu, setiap berangkat ke sekolah, Karjo selalu mengendarai vespanya. Setelah berpamitan kepada Emak, Karjo segera melaju dengan vespa putih kesayangannya yang mengeluarkan asap knalpot yang luar biasa mencemari udara pagi menyusuri jalanan berbatu menuju sekolahnya.
Sayangnya, sesampainya di sekolah, Karjo benar-benar terlambat seperti biasanya. Pagar sekolah terkunci rapat dan suasana sekolah sunyi senyap menandakan semua murid telah masuk ke kelasnya masing-masing. Karjo segera memarkir motornya di depan gerbang kemudian berusaha mendobrak-dobrak gerbang sekolah.
“Eh, eh! ngapain lu? dobrak-dobrak pagar sekolah, eh elu tau kaga kalau sekarang waktunya pagar terkunci, elu masih aja dobrak-dobrak sana sini. Sono, lu balik aja ke rumah,” teriak Satpam dengan raut wajah marah mengusir Karjo. Tetapi Karjo tidak menyerah.
“Yah, pak. Hari ini saya ada ulangan matematika,”
“Terus, gue harus bilang wow gitu?,”
“Ya udah, kalau mau bilang gitu bilang aja ga apa-apa, kok,”
“Eh Karjo!,” bentak satpam marah. Karjo terkejut bukan main, karena suara bentakan si satpam lebih cetar membahana dari pada suara Emak kalau bangunin dia ke sekolah.
“Ya Allah, masih ada juga ya suara yang ngalahin suara Emak?,” gumam Karjo.
“Eh, Karjo. Lu pulang aja deh, percuma. Gue kaga bakal ngizinin elu masuk. Lagian emang lu serius mau ngikut ulangan matematika? cuiih, paling tinggi nilai lu 4, iya, kan?,”
“Wa, wa, wa… ngehina nih. Pak, sorry yah, saya Karjo Budiman mengatakan bahwa apa yang bapak katakan tadi adalah… itu… BENAR!,” tuuuiiingg, satpam sekolah hampir terjungkir mendengar ucapan Karjo. Dikiranya Karjo akan mengelak, ternyata oh tenyata Karjo mengakui kalau itu benar.
“Pak, ayo dooong. Pliiisss, kali ini aja, biarin saya masuk. Yah, yah?,”
“Enak aja! kaga ada.. pokoknya gue kaga ngizinin lu masuk, salah sendiri datang telat..,”
“Ya ela Pak. Bantu orang dikit napa? dijamin deh, kalau bapak bantuin saya masuk, bapak akan dapat…,”
“Dapat ape? duit?,” tanya satpam dengan raut berseri-seri.
“Dapat.. pahala deh, pak.. kan menolong sesama, iya ga pak? hehe,” tawa Karjo. Satpam kembali mengeluarkan taringnya dan raut wajah marah sambil berdehem keras. Karjo tahu, sudah sering Karjo membujuk satpam buat bukain pagar, tapi hari ini sepertinya agak berbeda pikirnya.
“Yah… pak.. ayo dong.. kali ini aja, yah?,”
“Kaga bisa! perasaan dari kemarin elu bilangnya “kali ini aja, kali ini aja”.. lu pikir gue kaga tau modus elu? pokoknya kaga bisa!,”
“Ya udah deh, pak saya pulang aja. Padahal, kan ntar Emak saya mau ngantarin makan siang buat saya. Tapi karena bapak ngga ngizinin saya masuk, saya pulang aja deh. Terpaksa… Emak kaga datang sekolah deh hari ini,” kata Karjo sambil berbalik ke belakang hendak pergi tetapi dengan raut jahilnya. Dihitungnya dalam hati sampai tiga kali, satpam itu akan manggil dia kembali. Karjo, kan tahu satpam sekolahnya naksir sama Emak sejak ngantarin Karjo mendaftar SMA waktu itu. Sebaliknya, Emak eneg banget sama satpam itu sampai dikatain satpam genit karena selalu menggoda Emak.
“Satu… dua… tig…,” gumamnya dalam hati sambil menggerakkan mulutnya.


“Tunggu! Karjo, lu jangan pergi dulu. Iya deh, gue bukain elu gerbang tapi elu janji ye, besok kaga datang telat lagi?,” ucap satpam itu sambil membukakan pintu gerbang. Karjo tertawa jahil dari belakang kemudian berbalik dan memperbaiki ekspresi wajahnya seperti biasa.
“Saya janji deh, pak. Saya kan lelaki yang selalu nepatin janji, iya ga, pak?,”
“Tapi… elu serius kan kalau Emak lu mau datang bawain makan siang? lu kaga boong, kan? atau jangan-jangan elu punya modus, nih?,”
“Ya ela, pak. Masih aja yah su’uzon sama saya. Liat dong muka tanpa dosa ini,” kata Karjo sambil menunjuk wajahnya. “saya kaga boong, kok. Percaya, deh,”
“Ya udah, masuk sono! muka tanpa dosa kata lu? gue baru tahu ada muka jerawatan dibilang muka tanpa dosa?,”
“Jangan menghina dong, pak. Yah, walaupun emang bener sih, muka saya jerawatan, hihi. Okelah kalau begitu! saya masuk dulu, ya… dah…,” ucap Karjo kemudian masuk ke dalam lapangan sekolah dan berlari menuju kelasnya. Satpam hanya menatapnya kecut kemudian menutup gerbangnya lagi.

Karjo mengintip dari balik pintu kelasnya. Yang dilihatnya sosok guru berkacamata dan memiliki tatapan tajam setajam silet dengan tompel yang menempel di dagunya. Yap! dia Bu Yunita, guru matematika Karjo yang terkenal killer. Dia dijuluki wanita dengan tatapan seperti mata Elang dan tompel gede. Karjo kebingungan dan mencari cara agar bisa masuk ke dalam kelas tanpa diketahui Bu Yunita. Karjo kan tidak mau lagi dihukum berjemur di panas matahari hanya karena dirinya terlambat masuk kelas. Kulit sudah item, kalau dijemur lagi ntar kulit saya jadi gosong, pikirnya. Eh, ujung-ujungnya aksi nekat Karjo masuk kelas dengan mengendap-endap kayak maling ayam ketahuan juga kan dengan Bu Yunita. Dan kali ini Karjo meminta sedikit keringanan hukuman dari Bu Yunita. Awalnya Bu Yunita menolak mentah-mentah, namun berkat jurus merayu jitu yang dikeluarkan Karjo, maka keinginan Karjo dipenuhi. Karjo memang tidak jadi dijemur di lapangan sekolah, tetapi ia harus berlutut sambil mengangkat tangan ke atas di samping kelas. Meskipun begitu, ia bersyukur kulitnya tidak tersengat sinar matahari lagi. Karjo, Karjo… sudah kayak cewek yang lagi perawatan aja…
Lagi dihukum, tiba-tiba seorang cewek berjilbab cantik lewat. Langsung saja mata Karjo terperanjat dan bertanya-tanya, siapakah cewek secantik bidadari ini? dia juga bertanya-tanya emang ada juga cewek cantik di sekolahnya? mata Karjo tak lepas dari wajah cewek itu. Kulitnya bersinar menyilaukan mata, gumam Karjo. Cewek itu terlihat sangat anggun dan lembut dengan jilbab putih yang menutupi kepala hingga hanya wajahnya saja yang terlihat. Tak terpikirkan olehnya, cewek itu berhenti di depannya kemudian tersenyum. “Ya ampun, anugerah apa yang telah Engkau berikan kepadaku di pagi ini, Ya Allah? Subhanallah, cantik sekali wanita ini. Soleha lagi. Mau gak ya dia taaruf sama saya?,” pikir Karjo. Emang dasar si Karjo suka ngayal ngga jelas.
“Assalamu’alaikum. Mas, numpang nanya. Kelas 3 Ipa 2 yang ini?,” tanya cewek itu sambil tersenyum kecil dan menunjuk ruangan kelas Karjo. Karjo kembali terpesona mendengar tutur kata cewek itu. Suaranya lembut sekali seperti wajahnya dan orangnya kelihatannya sopan dan sangat feminim. Kayaknya pas dengan kriteria wanita impian Karjo.
“Maaf, mas. Saya nanya, kelas 3 Ipa 2 kelasnya yang di sini, kan?,” tanyanya lagi masih dengan suara yang begitu lembut.
“Oh, em.. he, iya.. maaf, yah saya terpesona..,” ucap Karjo tak sadarkan diri. Dengan cepat Karjo menutup mulutnya karena tersadar dengan apa yang sudah dikatakannya.
“Iya? terpesona? maksudnya apa, ya?,”
“Oh ngga, ngga kok. Oh, ya kenalin saya Karjo Budiman,” ucap Karjo sambil menyerahkan tangannya ke depan seperti orang yang ingin berjabat. Cewek itu tersenyum lembut.
“Saya Mutia. Mutia Anggraeny, siswi baru di sini. Maaf, mas. Tangannya..?,” katanya tanpa membalas jabatan tangan Karjo. Dengan cepat Karjo menurunkan tangannya menyadari maksud cewek itu.
“Tapi.. Kok mas Karjo duduk di sini? kenapa ngga masuk?,” tanya Mutia sambil melongok ke dalam kelas.
“Oh, itu… anu… saya lagi dihukum gara-gara terlambat masuk kelas,” jujur Karjo sambil menampilkan deretan giginya. Mutia tersenyum lucu kemudian berpamitan untuk masuk ke kelas. Pandangan Karjo tak lepas dari Mutia. Beribu-ribu kali ia mengakui kalau Mutia itu cantik seperti bidadari di dalam hatinya. Sudah kayak pernah liat bidadari aja si Karjo. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Lama, Karjo tahu kalau dia ternyata jatuh cinta pada Mutia pada pandangan yang pertama. Padahal selama ini Karjo tidak pernah suka sama cewek dan tidak pernah berpacaran. Ternyata oh ternyata Mutialah cinta pertama dan cinta pada pandangan yang pertamanya. Belum pernah ia merasakan rasa seperti yang ia rasakan ketika melihat cewek cantik. Apalagi selama ini Karjo sering melihat cewek cantik tapi perasaannya biasa saja. Nantilah ketika melihat Mutia barulah perasaannya terasa aneh dan jantungnya berdegup tak karuan. Tapi apa Mutia juga punya perasaan yang sama kepada Karjo?

Sejak jatuh cinta kepada Mutia, Karjo mulai berubah sedikit demi sedikit. Dulu dia paling jarang ngerapihin badan sendiri. Sekarang dia mulai mencukur rambut gondrongnya dan mencukur kumis dan janggutnya yang mulai tumbuh. Bahkan Karjo mandi dua kali sehari yang awalnya ia mandi paling ke sekolah saja, itupun kalau lagi libur bisa-bisa Karjo ngga mandi-mandi, katanya mubazir air. Emang dasar si Karjo, paling banyak alasannya. Dia juga beli berbagai macam obat jerawat buat ngilangin jerawatnya yang sudah bertahun-tahun setia menempel di wajahnya. Karjo jadi suka bangun pagi dan sekarang Karjo jadi rajin beribadah, tiap hari sholat berjamaah di masjid kampung. Emak saja sampai kebingungan dengan perubahan drastis sikap Karjo. Emak sampai ngabarin Saprin tentang perubahan drastis sikap adik satu-satunya itu. Si Saprin hanya tersenyum dan mengatakan itu hal yang baik karena ia juga sudah lama menginginkan Karjo berubah menjadi lebih baik. Pokoknya Karjo sudah beda banget dengan Karjo yang dulu. Nilai pelajaran Karjo pun mulai meningkat paling tidak udah ngga pernah dapat merah lagi. Apa ini karena cinta pertamanya? you know well, lah…?
Sikap Karjo yang tidak pernah berubah adalah setia dengan vespa putihnya. Walau sekarang Karjo sudah ganteng dan bersih, vespa putih masih setia membawanya ke manapun ia pergi. Bahkan Karjo sering curhat tentang Mutia kepada vespanya yang dia beri nama “Vejo (VEspa KarJO)”. Karjo tetap masih sayang saja sama vespa putihnya. Tiap hari dimandiin sampai mengkilap seperti baru. Vejo selalu mendapat perawatan rutin di bengkel dekat sekolahnya. Bagi Karjo, Mutia dan Vejo sama-sama istimewa untuknya.
Namun siapa sangka? awalnya Mutia hanya menganggap Karjo sebagai seorang teman yang kekanak-kanakan dan lucu. Mutia senang dengan Karjo karena Karjo pandai melawak dan suka menghiburnya di sekolah. Mutia selalu tertawa dan merasa terhibur jika berada di dekat Karjo. Karjo bahkan sudah mengungkapkan perasaannya kepada Mutia lewat lawakannya namun Mutia tidak sadar kalau sebenarnya Karjo serius dengan lawakannya tersebut. Lama kelamaan, Mutia mulai menaruh hati sedikit demi sedikit kepada Karjo. Mutia juga sampai bingung kok bisa ia suka sama Karjo? padahal wajah Karjo tidak setampan laki-laki yang selama ini pernah menaruh hati padanya. Tapi ia sadar, yang membuat dirinya menyukai Karjo bukan karena tampangnya tapi karena kepribadian Karjo yang baik, pandai menghibur dan selalu membuat Mutia tertawa. Mutia juga merasa nyaman berada di dekat Karjo. Dia merasa kalau Karjo itu laki-laki tulus yang berbeda dengan laki-laki di luar sana yang hanya menganggapnya wanita cantik biasa.
Suatu hari Karjo menghampiri Mutia yang sedang duduk di bangku halaman sekolah. Seperti biasa, sebelum bertemu Mutia, pasti rambut dirapihin dulu sama ngecek napas bau apa kaga.
“Assalamu’alaikum, Mutia,” sapa Karjo sambil tersenyum. Mutia sedikit terkejut dengan kehadiran Karjo kemudian menjawab salam Karjo.
“Kamu kenapa, Mut? kok murung gitu? ada masalah, ya?,” tanya Karjo. Mutia menggeleng pelan.
“Terus? kok ngelamun sendirian aja? senyum dong, Mut. Biar aku bisa liat wajah cantik kamu, hehe,” goda Karjo sambil tersipu malu. Mutia tersenyum kecil.
“Karjo, aku boleh nanya sesuatu ngga sama kamu? tapi kamu ngga boleh nanya balik, kamu cukup tinggal jawab aja, kok,” kata Mutia. Karjo mengangguk kemudian duduk di depan Mutia dengan jarak yang sedikit jauh.
“Menurut kamu, aku ini wanita seperti apa sih?,” tanya Mutia. Karjo mengerutkan kening keheranan mendengar pertanyaan Mutia yang secara tiba-tiba.
“Maksud kamu nanya seperti itu..?,”
“Udah aku bilang kamu ngga perlu nanya balik. Dijawab aja cukup, kok,” sahut Mutia masih dengan suaranya yang lembut.
“Oke. Menurutku… kamu itu wanita yang baik, lembut, sopan lagi. dan yang utama kamu itu cantik lho,” kata Karjo sambil tersenyum. Mutia mengangkat pandangannya tapi dengan raut wajah yang sedikit berubah.
“Cantik?,”
“Iya. Waktu pertama kita ketemu saat aku dihukum dulu, aku itu terpesona banget lho sama kecantikan kamu. Aku sampai bertanya-tanya ini bidadari dari mana, yah? ini anugerah dari Allah yang luar biasa. Aku sampai niat banget berubah menjadi lebih baik karena kamu lho. Supaya aku bisa dekat sama kamu,” tutur Karjo. Mutia langsung berdiri dengan tatapan kesal. Karjo terlihat bingung melihat Mutia yang tiba-tiba berdiri.
“Oh, jadi kamu dekat sama aku hanya karena terpesona aja sama wajahku? kamu ngga tulus kan berteman sama aku? hanya karena aku cantik seperti yang kamu bilang, kamu jadi mau dekat-dekat aku. Kamu bahkan terpesona hanya karena wajah ini? aku pikir kamu itu melihatku bukan sekedar wanita dengan wajah cantik, ternyata kamu sama aja, Jo!,” timpal Mutia sedikit kesal dan nada bicaranya sedikit lebih tinggi. Karjo jadi kebingungan dengan sikap Mutia.
“Lho, Mut? bukan gitu. Bukan itu maksudku..,”
“Karjo. Aku kecewa sama kamu. Aku pikir kamu mau berteman denganku karena tulus, tapi hanya karena wajahku saja? aku itu sudah nyaman banget di dekat kamu karena aku itu ngelihat kamu bukan dari tampang. Aku kira kamu juga gitu ternyata aku salah besar,” ucap Mutia berlalu pergi dengan linangan air mata. Karjo hanya terdiam melihat Mutia berlalu. Sebenarnya Karjo senang mendengar kalimat yang barusan diucapkan Mutia, namun dia kebingungan karena Mutia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apa karena Mutia diam-diam juga suka sama dia?

Selama di kelas, Mutia tidak menegur atau sekedar melempar senyum kepada Karjo. Karjo sendiri merasa aneh karena selama ini Mutia tidak pernah mengacuhkannya. Rejo, teman sebangku Karjo sampai keheranan melihat keduanya yang tadinya akrab menjadi asing seperti itu. Rejo kemudian mendatangi Karjo dan mempertanyakannya. Tapi sepertinya Karjo sedang tidak mood membicarakannya dengan orang lain. Untuk memancing sikap Karjo, Rejo punya ide.
“Karjo. Gue pinjem si Vejo, yah? bentar aja, lu kaga cemburu, kan kalau si Vejo gue pinjam entar aja,” kata Rejo. Sontak mendengar nama Vejo, Karjo melotot ke arah Rejo.
“Kaga bisa! awas aja lu kalau sampai ngapa-ngapain si Vejo. Lu ga boleh nyentuh dia. Dia itu spesial, ngga boleh seorang pun yang dekat-dekatin si Vejo kecuali aku,” Bentak Karjo sedikit keras. Rejo sampai menutup telinganya dengan wajah yang menahan tawa mendengar bentakan Karjo yang lebay minta ampun. Guru Bahasa Indonesia saja sampai berbalik menegur Karjo karena berteriak di kelas. Lebih parahnya lagi si Karjo ditertawain satu kelas karena tiba-tiba berteriak. Mutia yang mendengarnya merasa sedikit cemburu. Dia mengira Vejo adalah seorang gadis di sekolah ini, ternyata Vejo itu adalah motor vespanya Karjo.

Sepulang sekolah, Karjo berjalan di belakang Mutia sambil menatapnya. Lama-lama, Karjo memutuskan memberanikan diri ngomong langsung sama Mutia. Saat mereka melewati tempat parkir, Karjo memanggil Mutia.
“Mutia. Tunggu,” panggil Karjo. Mutia berhenti sejenak kemudian berjalan lagi. karjo pun segera berlari ke depan dan menghadang Mutia. Mutia sontak terkejut dengan tindakan Karjo.
“Mutia. Aku mau ngomong sama kamu. Sekarang!,”
“Maaf, Karjo. Aku buru-buru pulang. Assalamu’alaikum,” pamit Mutia. Karjo menahannya lagi.
“Aku bener-bener minta maaf kalau perkataan aku nyinggung perasaan kamu. Tapi kamu salah paham, Mut. Aku ngga berteman sama kamu karena kamu cantik, kok. Aku juga terpesona bukan hanya karena kamu cantik,”
“Karjo, kita ngga usah bahas ini lagi, yah? lupain aja,”
“Harus dibahas, Mut! aku ngga mau kamu salah paham sama aku. Kamu diemin aku kayak tadi udah buat aku ngga enak, lho, beneran. Nih aku kasih tau. Kalau memang aku berteman dan terpesona sama kamu hanya karena kamu cantik kenapa harus sama kamu aja yang aku dekat. Banyak kok di luar sana cewek yang cantik tapi aku ngga tertarik tuh. Kalau aku berteman dengan orang lain hanya karena kecantikannya, aku pasti udah dekat sama semua cewek bukan hanya sama kamu doang. Kamu itu spesial, Mut. Aku ngga bisa nemuin wanita kayak kamu di luar sana,” tutur Karjo.
“Bisa, kok. Ada, kan wanita yang spesial di mata kamu selain aku? aku tidak sangka aja, lawakan kamu kalau bilang kamu suka sama aku itu beneran, ternyata cuma lelucon saja. Maaf, Karjo. Aku harus pergi. Assalamu’alaikum,”
“Mutia! aku beneran suka sama kamu. Sejak pertama kali. Dan pertama kalinya aku suka sama cewek yaitu kamu. Tapi aku ngga bisa ngungkapin dengan serius takut kamu nolak. Makanya aku buat lewat lawakan, tapi aku sebenarnya berharap lho kamu nganggapnya serius. Aku tahu kamu itu wanita yang soleha, aku ngga bakal minta kamu jadi pacarku kok. Toh kita juga masih sekolah, kan? aku cuma minta kamu jadi orang yang aku sayang. Itu aja cukup. Kamu percaya, yah?,” pinta Karjo sambil menatap Mutia. Mutia tetap menunduk tidak berani menatap wajah Karjo.
“Kamu beneran mengatakannya? kamu serius?,”
“Iya, aku serius. Aku ngga boong, beneran. Percaya, yah?,” pinta Karjo.
“Tapi, kan bukan hanya aku yang spesial di mata kamu. Ada wanita lain, kan?,”
“Wanita lain? ngga ada, Mut. Itu cuma kamu aja. Aku berteman dengan kamu itu tulus, kok. Aku ngga punya maksud apa-apa dekat sama kamu,”


“Tapi tadi.. di kelas.. aku denger kamu sama Rejo ngerebutin cewek yang namanya Vejo, iya, kan?,” tanya Mutia kembali dengan suaranya yang lembut. Karjo terkejut mendengar pertanyaan Mutia. Perlahan-lahan Karjo tertawa keras membuat Mutia kebingungan dengan reaksi Karjo.
“Hahahaha… oh, jadi karena itu toh? kamu cemburu, ya? ngaku aja, deh. Kamu juga suka, kan sama aku. Ayo ngaku,” goda Karjo dengan raut wajah merasa lucu. Mutia terkejut mendengar perkataan Karjo. Mutia menggeleng cepat sambil tertunduk malu.
“Udah lah, Mut. Kamu ngga usah boong, dosa lho !tinggal bilang kamu suka sama aku aja ribet?,” godanya.
“Aku ngga cemburu, kok,”
“Oh, yea? terus, kamu kok ogah banget gara-gara bukan hanya kamu aja yang spesial tapi si Vejo juga?,”
“Karjo, kamu jangan buat aku kikuk dong. Aku ngga cemburu, aku cuma nanya kalau ada, kan cewek lain yang namanya Vejo spesial di mata kamu?,” elak Mutia. Karjo kembali tertawa.
“Kamu tau ngga Vejo itu siapa? vejo itu… ini!,” tunjuk Karjo. Telunjuk Karjo tepat mengenai motor vespa putihnya yang terparkir rapi di parkiran sekolah. Mutia terkejut dan terlihat kebingungan.
“Vespa?,” tanya Mutia.
“Iya. Vejo itu motor vespa aku, hadiah dari Almarhum Ayahku dulu. Vejo (VEspa KarJO). Kalian berdua sama-sama spesial. Yang satu vespa kesayanganku dan yang satu lagi… wanita pujaanku. Hehehe,” goda Karjo lagi. Mutia tersenyum malu mendengarnya.
“Udah ngga ada lagi yang disalah pahamkan, kan? mulai sekarang jangan salah paham lagi, yah? yang paling penting, kamu jangan cemburu lagi, yah?,” godanya.
“Ih, Karjo apaan sih. Siapa yang cemburu? aku ngga cemburu,” elak Mutia. Karjo tertawa melihat ekspresi Mutia yang tersipu malu.
“Ya udah, sekarang kita pulang, yuk. Aku antarin kamu pulang, yah? kita pulang bareng sama si Vejo, ok?,” kata Karjo sambil memakai helmnya. Mutia mengangguk sambil tersenyum.

Kemudian mereka berdua pulang bersama dengan mengendarai Vejo dan saat itu hati Karjo bahagia sekali bisa pulang bersama dengan wanita yang menjadi cinta pada pandangan pertamanya. Dalam hati Karjo berdoa agar berjodoh dengan Mutia suatu hari nanti dan membangun rumah tangga bersama (khayalan tingkat tinggi Karjo).
Sayangnya kisah cinta satpam sekolah dan Emak tidak berjalan mulus seperti Karjo karena ternyata Emak tetap eneg dengan satpam sekolah. Terpaksa satpam sekolah harus memiliki cinta bertepuk sebelah tangan. Si Saprin juga rencananya mau pulang ke kampung halaman dan memiliki berita gembira karena jabatan Saprin bukan sebagai karyawan biasa lagi tetapi jabatannya telah dinaikkan sepenuhnya. Hingga kini, di mata Karjo “My Girl and My Vespa” sama-sama spesial dan itu semua tidak membuat Mutia cemburu lagi. di perjalanan pulang, karjo mengatakan kepada Mutia yang membuatnya kembali tersipu malu:
“You are my Girl, I’am your Boy and Vejo is my Vespa “


Kenangan Terindah
Eh, eh, kenapa ya? Hari-hari ku itu selalu campur aduk? Eh, tapi selalu senang kalau ada dia. Dia yang selalu hibur aku kalau lagi sedih. Dia juga selalu ngebelain aku kalau Shakira jahat sama aku.
Namaku Dinda. Aku sudah bosen banget sama hidup ini. Tapi, aku masih punya orang-orang yang aku sayang. Oleh karena itu aku semangat untuk menjalakan hidup yang bosan ini. Mamaku bekerja sebagai menejer di toko Bunga. Papa bekerja wiraswasta.
Aku itu orangnya rajin loh. Setiap hari, aku membantu Mbok Inem ngangkatin jemuran, masak, ngelap teras depan rumah, dan lain-lain. Hal yang paling seneng itu kalau ngangkatin jemuran. Aku suka ngangkatin jemuran sambil dengerin lagu. Itu menurut aku hal yang seneng. karena enggak semua anak bisa merasakannya. Hehehe…
Hari ini aku berangkat sekolah dengan ceria. Seperti biasa aku diantar Mbok Inem naik sepeda. Tapi, itu enggak jadi masalah buat aku untuk mencari ilmu. Walalu aku punya mobil, motor, tapi itu semua selalu di pake. Mobil selalu di pake Papa, motor selalu dipake Kak Lisa.
Aku pun sampai di depan gerbang sekolahku. SMP Nusa Bangsa. Aku salim pada Mbok Inem. Aku pun masuk ke dalam sekolah. Sampai di dekat kolam ikan, aku melihat Agas. Orang yang selalu ada buat aku. Tapi, tiba-tiba ada Shakira and The Genk.
“Heh, anak sial, enggak usah sok ceria gituh deh, alay tau. Eh… eh… ada Agas. Agas, bareng yuk ke kelasnya,”
“Enggak mau ah, sorry Sha, gue mau sama Dinda aja,”
“Loh kok sama anak sial sih, sama aku aja,”
“Shakira kan udah ada Erick,” tiba-tiba Erick nyelonong ikut ngobrol.
“Iya nih,”        “Iiih! Aku kan mau sama Agas,”
“Udah deh. Sha, kasihan tuh Erick, Udah deh, yuk Din,” Agas menarik tangan Dinda.        “Iiihh!!”

Saat Istirahat…  “Yuk Din,”        “Oke,”    “Agas, bareng yuk,” tiba-tiba Shakira datang.
“Gue kan udah bilang. Gue enggak mau sama loe Sha, tuh kasihan si Erick, dia tuh ngejar-ngejar cinta loe terus!”
“Agas kok sewot,”    “Biarin! Yuk Din,”        “Iya, Gas,”
Aku pun makan bareng Agas. Iya Agas itu orang yang aku sayang. Tapi inget yaa aku bukan pacar dia. Aku enggak tau Agas suka aku atau enggak. Tapi, dari tadi Agas merhatiin aku terus. Bikin ge-er aja deh.

Ketika bel Pulang…         TENG… TONG… TONG…
“Agas, yuk pulang,” ajak Shakira tiba-tiba.
“Eh, Din pulang bareng yuk,”
“Tapi kan Gas, loe sama Shakira,”
“Biarin aja lah! Gak penting dia mah! Yuk,”       “Okee,”               “Iiihhh AGAS!!!!”
“Sabar lah Shakira, loe kan masih punya Erick,”
“Iiih Ayana, gue tuh gak mau sama dia!!!”
“Emang apa kurangnya si Erick sih Sha?”                    “Emang loe suka Erick yaa Liv?”
“Setengah sih Na,”                              “Ya udah! Erick buat loe aja,”
“Tapikan Sha, dia sukanya sama loe?”         “Eh eh Erick, loe mau bantu gue gak?”
“Bantu apa Shakira cantik dan unyu-unyu?”
“kalau loe mau deket-deket sama gue, loe harus mau pacaran sama Olivia, kalau enggak mau sih ya, loe gak usah deket-deket gue lagi, gimana?”
“Gimana yaa Shakira cantik dan unyu-unyu,”
“Dan loe gak boleh manggil gue Shakira Cantik dan Unyu-Unyu. Tapi kata ‘Shakira’ di ganti jadi ‘Olivia’ jadi bagus lho! ‘Olivia cantik dan Unyu-unyu”
“Gimana yaa?”   “kalau loe gak mau, gampang, loe gak boleh deket-deket gue lagi.”
“HEH! Shakira cantik dan unyu-unyu, jelas donk gue gak mau, tapi gue masih bisa deket sama loe. kalau loe gak mau deket-deket sama gue, Skorsing loe dari mami gue bakal gue cabut, dan loe diskorsing 5 bulan. Gimana? Mau?”
“Yaa deh! Gak jadi, uugghhh”         “Gitu donk, cantiknya unyunya keluar :p ”

Huh! Hari ini enak banget, aku sama Agas makan di Restourant deket toko Bunga tempat mamaku kerja. Happy banget. Sekarang aku ngepel teras. Tiba-tiba ada Shakira. Dia ngevideo aku. Aku cuek aja. Pasti dia mau sebar-sebarin kalau aku itu BABU. Padahal aku kan cuma bantuin Mbok Inem. Terus tiba-tiba dia nyolot.
“Ekhem… Ada pembantu anak SMP disini,”
“UUPS! Perasaan ada yang bicara. Tapi mana orangnya yaa? Udah lah setan kali,”
“Apa loe bilang? Gue setan?”     “Tuh tuh, setannya nyolot ih serem,”           “Iiihhh!!!! Dasar anak sial!”
“Hiii setannya makin nyolot. Lagian juga nih udah bersih masuk ah! Ntar setannya masuk ke dalam rumah aku lagi, hiii”
“Iiihhh”
JGERR!!!
Pintu rumah ku tutup kuat-kuat akhirnya bisa juga aku jahilin Shakira. Huh, liatin aH! Aku liatin Shakira lewat jendela.
“Liat aja loe Dinda, gue udah punya video kalau loe itu BABU! Gue mau lihat videonya,”
“Loh? Videonya kemana? Ihh aku belum hapus kan? Iihh berarti tadi video tadi, belum ke simpan donk? Iiihhh APESSS!!!”

3 jam kemudian….             TENG… TENG… TENG…
Tiba-tiba bel rumah ku berbunyi siapa yaa? Aku pun menghampiri nya.
“Siapa?”                                “Luna!”
“Eh, Luna, masuk yuk”                     “Iya makasih kak”             “Ada perlu apa?”
“Kak Dinda bisa minta tolong sama Kak Lisa enggak? Kak Lisa kan fotografer? Pasti ada dong koreografer, temen atau saudara,”
“Emang buat apaan?”       “Aku sama temen-temen mau ikutan audisi girl band,”
“Iya Kak”             “Ini siapa Lun?”
“Namanya Rachel. Dia temen aku. Dari dasarnya sih kita-kita udah suka nyanyi sama ngedance, tapi yaa gitu Kak cuma iseng-iseng doang”
“Loh kenapa enggak diseriusin aja?”             “Makanya. Kak tolong cariin yaa”
“Gimana yaa?”   “Iihh yaa, plisss”                 “Ya iya lah masa enggak”
“Makasih kak, yaa udah aku sama rachel pulang dulu yaa makasih yaa Kak,”
“Iyaa,”  Ternyata Luna mau ikut audisi girl band. Bagus lah! Anak kelas 5 SD udah mau jadi papan atas. Tapi apa mengganggu pelajaran sekolah? Sudah deh jangan mikirin yang aneh-aneh.
“Dinda! Mama pulang,”    “Mama tumben cepat,”
“Din, Mama ingin ditemani Dinda pergi ke mall nih”
“Kenapa enggak sama Kak Lisa? Atau Mbok inem?”
“Iih inginnya sama Dinda”                               “Iya deh kapan?”                               “Sekarang”
“Oke”                     “Lisa pulang!!!”
“Eh Kak, ada enggak temen kakak yang koreografer?”
“Ada namanya Kak Nissa. Kamu mau nari?”
“Iih bukan aku, tapi Luna. Dia mau ikutan audisi girl band”
“Iya deh ntar kakak kasih tau sama Lunanya langusung, denger-denger you sama mama mau ke mall”
“Ember! Mau ikut?”           “Gak banyak tugas! Sorry!”             “Gak apa-apa deh”            Ketika dimall…
“Din, kamu mau beli apa? Terserah kamu berapa pun yang kamu mau apa pun yang kamu mau, mama kasih ayo!”
“Beneran? Makasih ma!” Aku membeli barang-barang yang aku inginkan. Tapi, enggak berlebihan kok, lalu aku membeli baju yang sangat bagus, itu bukan untukku. Untuk Mbok Inem yg setia menemaniku.
Aku pun pulang. Aku langsung mandi, dan memberikan baju itu pada Mbok Inem. Dia kelihatannya senang! Tiba-Tiba aku dapat pesan BBM.
“Din, cepet ke rumah Agas! Dia meninggal gara-gara jantungnya lemah! Cepet din!”
“HAH? Loe tau dari mana Dit?”
“Iih gue kan yg nemenin dia ke rumah sakit and family dia! Udah jangan banyak bacot cepet loe kesini!”
Aku berlari ke rumah Agas. Aku menangis! Sungguh begitu cepat orang yang aku sayang cepat pergi. Tapi kata mama Agas, dia menitipkan surat untuk aku. Ini suratnya:

To: Dinda              Din! Maaf gue cepet ninggalin loe. Gue gak bisa nahan jantung ini Din. Dinda sebenernya gue suka sama loe. Waktu itu gue mau nembak loe. Tapi, loe pergi sama mama loe. Gak jadi deh -_-
Din! Gue yakin loe pasti dapet yang lebih baik dari gue. Inget Din! Jangan pernah lupain kenangan kita, dan loe gak boleh nangis! Gue selalu ada di hati loe!

Agas       Aku meintihkan air mata. Tapi, aku janji gak akan pernah sedih karena Agas. Kenangan Agas untukku begitu banyak. AKU GAK AKAN PERNAH LUPAIN LOE AGAS!!!

Hidup sebuah kesalahan
Hidupku mungkin adalah sebuah kesalahan, aku merasakannya demikian. Bisakah segala sesuatunya berubah menjadi lebih baik lagi? Aku yakin bisa. Hanya saja, hal itu memerlukan sedikit waktu dan lebih banyak kesabaran; kau tahu, cercaan dalam sebuah gurauan dan pujian yang mengiris perasaan semua itu benar-benar terjadi. Dalam suatu waktu, terkadang aku tak tahu apa yang harus ku lakukan ketika hal ini terjadi; depresi.
Ya Tuhan, ketika terjebak dalam keadaan seperti ini, apakah yang akan ku lakukan agar Kau merasa senang?

Aku hidup di suatu tempat, jauh dari rumah orang tuaku dan tempat kelahiranku tak lagi ku ingat. Mungkin itu bukanlah hal yang terlalu buruk atau bagaimana menurutmu? Ya, semuanya baik-baik saja. Aku tiba di tempat ini beberapa tahun yang lalu, dengan hanya membawa badan dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang hingga hari ini belum juga ku peroleh. Dua puluh kali tahun baru telah terlampaui sejak hari itu. Tapi semuanya masih terkenang dalam ingatanku. Mungkin itulah satu-satunya kenangan hidup yang tetap ingin ku simpan, selebihnya hanyalah kepahitan dan penderitaan. Tuhan, aku tak sanggup jika mengingat semua itu.
Pada masa itu, setiap orang hidup dalam keadaan yang pas-pasan, termasuk juga keluargaku. Ayahku bekerja sebagai seorang kepala sekolah di sebuah tempat yang cukup jauh untuk berjalan kaki, tapi terlalu dekat untuk menetap disana. Setiap hari ia pergi kesana dan kembali pada sore hari. Ibuku seorang ibu rumah tangga dan tak bekerja di luar rumah. Setiap pagi, ia akan mengomel dan berteriak jika kami belum terlihat di dalam rumah, karena masih tertidur di hari ynag cerah. Ia akan berteriak hingga kami terlonjak dan tetangga yang kebetulan lewat akan menoleh dan berlalu dengan terburu-buru. Kami, maksudku aku dan saudaraku yang lima tahun lebih tua dari padaku, berlari terbirit-birit ke kamar mandi dan setelah itu berkumpul di meja makan. Sarapan nasi putih dan telur goreng yang itu-itu saja setiap hari ditambah dengan omelan menjadi makanan setiap hari. Itu pengalaman yang kudapatkan ketika aku masih sangat muda. Hingga hari ini, jika aku bertemu dengan saudaraku itu, kami tak pernah melewatkan membicarakan peristiwa itu.
Beberapa tahun kemudian, aku memasuki pendidikan tingkat pertama selama tiga tahun. Sedikit hal yang kuingat saat itu ataupun peristiwa-peristiwa yang ku alami juga tak terlalu menarik. Selain aku hanya bisa mengatakan, aku hanyalah seorang anak sekolahan dan anak rumahan yang membosankan. Sementara saudaraku itu, ia telah memasuki pendidikan tingkat menengah atas. Aku tak begitu mengetahui apa saja yang ia perbuat. Pernah suatu ketika, ia terlibat pertengkaran hebat dengan ayahku dan berakhir dengan ibuku yang menangis. Pada saat itu, aku hanya bisa bersembunyi di dalam kamar dan menghindari teriakan penuh amarah dan hentakan-hentakan yang menyiksa jantungmu. Hal itu seringkali terjadi, namun aku sudah terbiasa. Aku tak lagi bersembunyi, tapi aku akan pergi dari sana dan berdiam diri di luar rumah.
“Kau sedang apa?” tanya seseorang suatu ketika.
“Apa?” tanya ku seolah tak mendengar perkataannya.
“Sepertinya kau punya sedikit masalah disini.” Ia melihat sekeliling.
“Aku tak tahu. Mungkin saja. Siapa kau?”
“Aku seorang pelancong, jika kau ingin menyebutnya begitu.”
“Semacam orang-orang aneh yang menghabiskan hampir sepanjang hidupnya di jalanan itu?”
“Ya, seperti itulah. Tapi mereka tidak aneh. Kami sama sekali tidak merasa aneh. Hanya sedikit berbeda.” Sahut orang itu seraya meletakkan tas besarnya direrumputan.
“Cukup menarik. Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya menjadi pelancong?
“Aku tak bisa mengatakannya padamu. Kecuali kau pernah menjalaninya.
“Kenapa begitu?”
“Kau tak kan merasakan segarnya air jika bukan kau yang meminumnya.”
“Bawalah aku bersamamu.”
Orang itu menatapku lekat-lekat. “Mungkin suatu saat nanti.”

Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak terasa tahunan terlewati dan segala sesuatu berganti menjadi hal yang semakin tak kumengerti. Bahkan kenangan tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa yang lampau tak membekas dalam ingatan. Hidup menuntutmu menjadi sesuatu. Hanya saja, aku tidak menyukai sesuatu itu. Dan saat ini, aku mendapati diriku terduduk diam dalam heningnya senja dengan pikiran melayang entah kemana, aku juga tak tahu. Aku sudah kehilangannya bertahun-tahun yang lalu.
“Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah yang menggelisahkan hatimu?” tanya ibuku.
“Oh, ibu.” Sahutku. “Aku tak mengerti betapa anehnya kehidupan ini.”
“Aku tahu, anakku. Aku tahu kegelisahan hatimu, tapi, sayang sekali ibu hanya bisa melihat dari jauh dan tak bisa melakukan apapun untuk menolongmu.” Dengan lembut ibuku yang tua itu membelai rambutku. Rasanya masih seperti dulu, ketika masa-masa dimana segala sesuatu masih sangat sederhana dan murni.
“Kenapa begitu, Bu?”
“Tengoklah ke dalam dirimu. Temukan sesuatu inti dirimu dan kau akan berbahagia.”
“Bahagia? Aku tak pernah merasakannya lagi hari-hari ini. Aku tak sanggup menatap wajah ayahku, atau mengangkat wajahku ketika aku berjalan di hadapan orang-orang yang mengenalku. Tidakkah kau juga akan bertindak demikian? Aku terjebak di suatu tempat dan kemana aku akan pergi dari sini?”
Hanya terdengar desau pasir tertiup angin sore yang kering.

Perjalanan itu semakin terasa berat. Siang hari matahari membakar kulit hingga ke jiwa. Pada malam hari, seluruh badan bergetar dan membeku hingga ke ujung kaki bersamaan dengan semangat yang membusuk. Tak ada jalan kembali, bahkan pilihan itu terdengar sangat tidak masuk akal. Tak ada tanda-tanda di atas permukaan pasir yang dapat kau jadikan patokan akan keberadaanmu. Hanya gundukan pasir yang menggunung. Pada malam hari, dengan memandang bintang, kau mengetahui arah langkahmu. Ke Utara.
Aku semakin terdesak ke dalam diriku. Dunia dan keramaiannya yang menyesakkan pandangan tak lagi menghibur atau memberi kepuasan. Kemurnian yang dahulu menjadi harta paling berharga kini bagai seonggok sampah di tempat pembuangan akhir. Segala sesuat menjadi lebih buruk. Aku tahu kau juga merasakannya. Jiwamu haus dan lapar. Tapi kau tak akan menemukannya disana. Bagai setitik tahi di angkasa, kau menoleh ke atas dan berseru, apakah arti dari semua ini? Tapi tak ada jawaban.
Aku melanjutkan perjalanan. Aku tak ingat lagi sudah berapa lama aku disini; waktu yang kulewatkan, kesempatan demi kesempatan yang berlalu begitu saja dan isak tangis seseorang yang merindukan kedamaian. Namun hingga saat ini, aku belum juga menemukan apakah kedamaian yang sebenarnya itu.
Ayahku pernah berkata padaku:
“Waktu aku muda dulu, ayahku, yaitu kakekmu, mengatakan bahwa seorang lelaki harus memiliki sesuatu untuk hidupnya. Menurut hematku, pada saat sekarang ini, seorang lelaki harus memiliki pekerjaan dan paling tidak rumah, pendeknya segala sesuatu yang berhubungan dengan kemapanan hingga ia menjadi mandiri. Bagaimana kau akan menghidupi keluargamu kalau kau tak memiliki kedua hal itu? Aku tahu, tidak mudah memang, tapi kau adalah seorang lelaki. Dan kau ditakdirkan untuk bertanggung jawab. Hidupmu bukan milikmu sendiri, tapi milik mereka yang di dekatmu, keluargamu. Kau mengerti?”
Pada saat itu, aku hanya mengangguk-angguk bagai orang mabuk yang tak dapat lagi mengetahui keadaan dan keberadaannya. Tapi beliau orang yang keras, produk didikan zaman penjajahan dimana kemiskinan dan penderitaan menjadi pemandangan sehari-hari. Dengan otot bahu menonjol dan pemikiran modern. Kombinasi yang menarik, tapi menurutku terasa sangat aneh. Bayang-bayang beliau mengikuti kemana saja aku berada.

Orang-orang mengatakan aku terlalu cerdas bagi seorang anak seusiaku. Buku-buku dari berbagai pemikiran yang bertolak belakang dengan budaya luhur turun temurun dan banyak orang menentangnya pada saat itu, kudapatkan dengan mudah melalui seorang pamanku yang seingatku memiliki pemikiran yang terlepas dari budaya dan kebiasaan, dan beliau seorang penganut kebebasan yang luar biasa. Ia bahkan tak peduli dengan kritikan bahkan hujatan orang-orang di sekitarnya.
Aku menulis pada ayahku:
“Setelah sekian lamanya aku memberanikan diri mengatakan padamu hal yang sebenarnya ku cari di dunia ini. Pada awalnya, aku tahu kau akan berpikir betapa bodoh dan sia-sianya apa yang ku perbuat ini. Tapi sejujurnya, dengan hati yang tulus ikhlas dan murni, aku tak dapat lagi hidup dalam keinginan dan cita-cita kalian; tinggal di suatu tempat dalam waktu yang sangat lama, yang disebut rumah. Aku hanya ingin pergi melihat dunia. Dunia yang mereka katakan begitu luas dan indah sehingga akan sangat menyesal apabila melewatkannya.

Aku pernah beberapa kali berjumpa dengan orang-orang yang memiliki pemikiran yang bahkan menurutku benar-benar aneh dan sangat tidak masuk akal. Mereka, orang-orang itu, bahkan tak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap. Mereka berbahagia bahkan ketika mereka tak berpihak pada kehidupan modern dimana uang, kekayaan, jabatan, dan ketenaran bagai candu yang merusak dan meracuni pemikiran setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, tak terkecuali kalian, dan kemapanan merupakan pertanda keberhasilan seseorang. Hal itu baik sekali, tapi aku tak dapat menerimanya dan aku tak bisa hidup seperti ini. Maafkan aku jika jalanku sunyi dan sepi. Semoga engkau mengerti betapa aku ingin sekali memberikan apa yang kau inginkan, walau aku tak dapat melakukannya. Aku hanya ingin menikmati kehidupan, tidur berselimutkan bintang-bintang dan beralaskan bumi dan meyakinkan diri bahwa dunia dan isinya ini adalah milik kita. Itu merupakan bentuk kehidupan yang sangat luar biasa yang pernah ku temui. Jikalau ayah dan ibu berkenan, sudilah kiranya menanti aku kembali. Aku akan menulis dimana pun aku berada di tempat yang baru agar kalian tidak mengkhawatirkan aku lagi. Bukankah kehidupan ini sederhana?”
Malam tiba dengan sangat cepat. Deru angin di padang sunyi seakan hendak mematahkan pepohonan kecil itu. Pasir beterbangan dan udara dingin mulai mengigit tulang. Perapian itu menerbangkan sebentuk bara ke udara. Untuk sesaat dan setelah itu, aku membungkus diri ke dalam kantung tidur yang selalu ku bawa serta. Sejenak aku memikirkan segala sesuatu yang pernah ku lakukan dan ku lewati. Ya Tuhan, betapa hidupku tidak berarti. Semoga Engkau mengampuni aku yang telah menyia-nyiakan kehidupan dan segala sesuatu yang diberikan padaku.
Bintang-bintang seakan bergerak kian kemari. Aku pun terlelap. Namun, sayup kudengar suara ibuku. Semakin lama terdengar jelas menghujam ke telingaku.
“Kembalilah nak.” Katanya. “Berapa lama lagi engkau berdiam diri seperti ini? Sadarlah. Dengarkanlah perkataanku. Kembalilah. Apa yang kau cari di sana, tak ada, hanya dunia yang sama sekali tidak nyata. Kembalilah. Kami merindukanmu.”
Aku terjaga. Langit gelap dan bintang-bintang yang tampak bagai titik-titik di angkasa yang jauh di atas sana. Tuhan, apa yang ku lakukan?

Cerpen Karangan: Patrick Hariad

Aku dan Cerita
Mungkin sebuah cerita akan menjadi kenangan yang mahal harganya dan jika di biarkan akan mudah untuk di lupakan. begitu juga cerita yang akan ku ungkapkan berikut ini. Berawal dari putih abu-abu dan masa ospek di salah satu sekolah yang tidak seberapa terkenal. Entah dari mana dan siapa yang terlebih dahulu melihat tapi yang jelas aku tahu bahwa dia yang berkaca mata hitam itu dan terlihat aneh orangnya teman sekelasku, aku hanya berani menatapnya dari kejahuan dan tak berani menanyakan siapa, dari mana atau Cuma sekedar menyapa dirinya. Hari itu pun akhirnya berakhir, sampai suatu ketika pembagian kelas pun dibacakan dan di situlah aku berpisah dengan sesosok itu dan awal dari segalanya. Di saat yang bersamaan pula aku akhirnya mengetahui siapa namanya. Ku ingat dalam benakku namanya dan dengan penuh penasaran aku bertekad ingin menjadi temannya. Dia yang bertubuh tinggi, berkulit putih dan berlesung pipi. Seperti biasa aku hanya dapat memandangi dirinya dari kejahuaan, sampai bertanya pada diri sendiri dapatkah aku berkenalan bahkan menjadi temannya.
Sampai pada suatu ketika di hari sabtu aku bersama teman-teman lainnya berangkat dengan kegembiraan menuju kolam renang yang berdekatan dengan salah satu perguruan tinggi di lampung. Dan tanpa di duga oleh siapa pun ketika aku pulang dari kolam renang aku bertemu dengan dia dan temannya. Dalam perjalan suasana sunyi menyapa kami, aku berusaha untuk dapat ngobrol dengan dia namun yang ku dapat hanya jawaban dingin dari bibir merahnya bahkan kebisuan. Dari sanalah aku makin penasaran dengan dia, ketika itu aku berfikir sepertinnya dia enak kalau di jadikan teman. Dengan modal nekad aku meminta nomor hpnya kepada temannya, lalu aku menghubunginya dengan menyembunyikan identitas sebenarnya hingga aku dapat berkenalan dengannya. Namun peristiwa ini tidak berlangsung lama, dengan suatu kesepakatan dia tidak akan marah dan tetap menjadi teman aku memberitahu identitasku sebenarnya. Tapi walaupun begitu dia tidak langsung mengetahui aku siapa, karena salah satu ke anehannya ia tidak hafal nama lengkap teman di sekelilingnya yang hanya ia tau adalah nama panggilannya. mungkin ini jadi pelajaran buat aku juga bahwa kita harus mengenal seseorang sedetail mungkin bukan hanya nama panggilan karena nama panggilan bisa berubah-ubah.
Dari peristiwa itu berawallah pertemanan di antara aku dan dia. Pertemanan yang berawal dari keisengan, perasaan penasaran bahkan keistimewaan. Istimewa karena aku bertemu dan berteman dengannya di luar dugaan dan kejadian yang aneh. Pertemanan yang berusaha untuk saling membantu dan memotivasi satu sama lain untuk sukses meraih impian di kemudian hari. Pertemanan yang tulus untuk saling berbagi satu sama lain. Dia telah mewarnai kehidupanku dengan pandangan-pandangannya yang bijak dan maju kedepan. Dari dia aku belajar untuk mau menerima kritikan dan masukan, dari dia pula aku belajar untuk merencanakan sesuatu yang akan kita kerjakan jauh kedepan. Aku sebetulnya orang yang tidaklah mudah untuk merubah pola pikir, aku juga bukan orang yang mau terbuka dalam semua hal kepada seseorang meskipun aku suka mendengarkan seseorang bercerita kepadaku. Aku dan dia bisa di bilang bersahabat dari media yaitu hp, aku bercerita segalanya dengannya lewat hp dan lebih sering sms dari pada telpon. Kami menghabiskan waktu bercerita lewat tulisan dari bangun tidur sampai kami tertidur, persahabatan yang indah ketika sebelum suatu kejadian terjadi di anatara kami. Kejadian yang mungkin selalu di alami oleh pasangan sahabat. Masalah kecil yang dapat merusah segelanya begitu juga pertemanan yang telah terjalin di atara kami selama kurang lebih 1 tahun. Masalh itu adalah gosip yang mengatakan bahwa aku mencintai sahabatku.
Setelah aku pikir-pikir semua itu tidak benar karena aku nyaman dia menjadi sahabat yang selalu ada kalau sahabatnya kesusahan tapi gosip itu timbul karena kecerobohan aku yang tidak sengaja menyimpan smsnya dan keisengan teman-teman lain kepadaku dengan menyimpulkan sesuatu yanaug tidak benar. Aku dan dia sama-sama tau siapa orang yang di sukai atau dicintai. Rasanya tidak adil saja bagiku. Aku kehilangan teman tempat bercerita, aku bahkan dijahui dan diperlakukan seolah-seolah aku yang mau gosip itu terjadi olehnya, dia bahkan bersikap dingin, cuek dan bersikap tidak mengenal diriku. Bahkan yang membuat aku sampai sekarang tidak akan lupa dia sampai-sampai memblokir pertemanan di FB. Jika pada saat itu aku diberikan kesempatan untuk menjelaskan, aku bukan mencintainya tapi aku hanya sebatas mengaguminya ada banyak hal yang aku kagumi dari dirinya dan itu timbul seiring dengan pertemanan yang terjadi. Peristiwa panjang dan melelahkan ini berlangsung 1 tahun lebih dan peristiwa ini mengandung banyak pelajaran yang ku dapat dan sakit hati yang entah kapan akan hilang akibat tingkah laku dan sifat dia berkacamata hitam. Namun aku sadar itulah pertemanan yang tidak selalu indah, tidak untuk disesali bahkan tidak akan terulang.
Semua itu mencair ketika kami duduk di bangku kelas tiga semester 2, walaupun sulit untuk memaafkan tapi aku mencoba untuk iklas. Dan aku mencoba untuk sadar bahwa tali silaturami harus dijaga karena dialah aku berani bermimpi, dialah yang merubah pola pikirku sehingga aku dapat menjadi lebih baik. Akhirnya pertemanan itu kembali seperti semula di saat pengumuman kelulusan. Rasanya masa putih abu-abu sangat berwarna karena dia, masa ini akhirnya berakhir indah. Indah karena kami mendapat kelulusan 100 persen dan indah karena akhirnya aku mendapatkan kembali pertemanan yang sempat rusak bahkan berangsur-angsur membaik. Aku bersyukur karena aku di pertemukan dengan dia. dia yang banyak memberikan hal-hal positif dan peristiwa yang berwarna dan di luar dugaan ku.
Dimana pada putih abu-abu inilah aku mendapat banyak teman yang pengertian dan sayang kepadaku. Bersenang-senang bersama dari makan bakso cinta, shoping, karokean bahkan ngebolang bersama. Semua terasa indah dan bahagia. Di masa inilah aku menyadari bahwa persahabatan adalah anugerah ilahi. Aku mendapat begitu banyak hadiah ketika hari kelahiranku boneka dan diary berwarna merah bergambar hello kitty . bahkan banyak lagi peristiwa indah lainnya.
Saat seragam putih abu-abu kini di tanggalkan kami sibuk mencari almamater baru sebagai tangga menggapai impian dan cita-cita. Namun komunikasi di antara aku dan yang lainnya tetap terjaga termasuk dengan dia. Dia yang dulu berbeda dengan yang sekarang, dulu dia pendiam, aneh dan tidak mengerti tenteng berpakaian sekarang semua itu berubah 100 persen. Aku senang dengan perubahannya yang positif. Walaupun kami di pisahkan jarak yang jauh namun kami selalu saling mendukung dan mendoakan satu sama lainnya. Aku mendoakan dia dimana pun ia semoga selalu bahagia dan dapat mengapai semua mimpinya termasuk duduk di perguruan tinggi impiannya. Aku menyadari bahwa setiap manusia mempunyai jalannya sendiri, jalan yang tidak selamanya lurus. Aku bangga melihatnya masuk di salah satu perguruan tinggi di kota tetengga. Namun yang aku kagumi dari dia adalah sifat patang menyerahnya sehingga ia mendapatkan hasil dari itu. dia salah satu orang yang keterima sekolah tinggi negara yang saingannya ribuaan. Bangga dapat mejadi saksi perjalanan hidupnya dan namun sayang aku tak dapat menghapuskan rasa kagum itu kepada nya. Berbagai cara aku lakukan untuk tidak kagum bahkan berusaha untuk membencinya namun hasilnya nol besar. Hanya kebingungan dan tanda tanya besar yang ku dapat, binggung kenapa dia bersiakap ini dan itu, kenapa dia tidak bisa memprilakukan aku seperti layaknya temannya kebanyakan, kenapa dia tidak memilih untuk memarahi dan menegurku atas semua prilaku ku yang berlebihan, atau lebih baik mungkin agar dia ngblokir pertemanan seperti dulu, kenapa ia selalu hadir di saat dia mulai terlupakan, kenapa aku mengagumi orang yang sedingin, cuek bahkan tidak bisa ditebak sepertinya, kenapa dia rela membiarkan aku menunggu tanpa melihat kegigihan dan jeri payahku, mungkin karena aku tak pantas bersamanya bahkan hanya untuk menjadi sahabatnya.
Seiring berjalanya waktu dan seiring semua pertanyaan itu, kini dia telah menggapai kesuksesannya dengan memakai toga dan almamater kebanggaannya. Dan itu memperjelas semua keadaan ini, aku dan dia bagaikan kutub magnet yang berlawanan dan tidak akan dapat menyatu. Aku akan teteap bertahan dengan semua keadaan ini, menyerahkan semuanya kepada sang pencipta. Aku tidak akan lagi berusaha untuk melupakannya karena semakin aku coba untuk melupakannya semakin kuat juga ia dipikiranku. Aku akan berusaha mencari apa yang sebenarnya hatiku rasakan dan ku mau. Aku akan belajar sabar dengan semua prilaku mu. Aku akan berusaha ikhlas menerima hasil akhir cerita ini walaupun besar kemungkinannya aku yang akan tersakiti setidaknya aku sudah berusaha. Yang pasti aku hanya ingin melihat orang-orang di sekitarku termasuk dia bahagia dengan atau tanpa aku.       Aku akan menunggu semua jawaban itu dengan seiringnya bergulir waktu. Waktu dimana aku tak tahu apakah kau akan tetap memegang teguh pendirian mu dan apakah kau akan mengingat ku atau bahkan tidak sama sekali. Waktu dimana aku akan membuktikan bahwa aku dapat membanggakan semua orang dengan berhasil menyusulmu memakai toga kebanggaan dan meraih kesuksesan. Dimana disitulah aku di ambil sumpah dan dikukuhkan sebagai tenaga kesehatan yaitu bidan dan bergelar amd keb. Detik itulah akhir dari batas waktuku menunggu kejelasan dari cerita ini.
Cerpen Karangan: Arfiana Sari

Hujan pun mengerti
Di bawah hujan aku terdiam, tak kurasakan butiran air yang menerpaku. Tak kurasakan dingin yang menyelimutiku, dan tak kudengar gemercik air yang jatuh.
Datangnya hujan tak mengusik lamunanku. Sudah 2 jam aku terduduk di halaman belakang rumah, di bawah pohon rambutan. Aku kira, baru seminggu yang lalu aku bersama seseorang yang selalu ada untukku dan yang selalu menemaniku saat tak ada yang bersedia. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Dia sudah tak ada lagi di sisiku. Dan aku tak bisa melihatnya. Masih terngiang kata-katanya yang terakhir keluar dari mulutnya sepulang sekolah tempo lalu.
“Lupakan aku..” katanya.
“Kenapa Tih? Apa salahku?”
“Kamu nggak salah, justru aku yang salah. Salahku udah mencampuri kehidupanmu.”
“Tapi, kenapa hal itu jadi salah?” aku mencoba meminta penjelasan yang lebih bisa ku mengerti.
“Kita ini sahabat, dan kita hampir melampaui hubungan itu. Aku nggak mau jadi yang lebih buatmu. Aku udah cukup senang jadi sahabatmu. Dan aku juga nggak mau nyakitin perasaanmu. Selama ini aku ngerasa udah bikin kamu marah ke aku, itu pun karena sikapku. Aku nggak mau nyakitin perasaanmu lagi, kamu ngerti kan? Itulah yang menyebabkannya jadi salah.. maafin aku..”

Sakit hatiku mendengarnya. Tapi hal itu benar juga. Aku memang sering sakit hati olehnya. Dan hal itu nggak masalah buatku. Selama aku bisa komunikasi dengannya, aku nggak masalah berapa kali perasaanku terluka. Yang terpenting bagiku, dia ada buatku.
“Zal..” dia memanggil namaku. “Kamu nggak apa-apa?” sepertinya dia cemas melihatku yang terdiam.
“Udahlah, aku mau pulang. Terserahmu mau gimana. Kalau itu buat kamu senang, it’s okay.”
“Faizal!! Kamu nggak apa-apa kan?”
“Aku nggak apa-apa. Jaga dirimu.” jawabku datar.
“Yakin kamu nggak apa-apa?” pertanyaannya itu kujawab dengan lambaian tangan sambil berlalu. Terlalu pedih untukku menjawabnya.

Aku sayang kamu, dan kamu sayang aku. Kita berdua akan jadi sahabat selamanya. Kata-kata itu terus terngiang di benakku. Tapi apakah ini yang namanya sahabat? Meninggalkan sahabatnya seorang diri? Atau mungkin aku yang salah? Atau mungkin aku yang terlalu menganggapnya lebih?
Sejak itu, perlahan komunikasiku dengannya terputus. Aku hanya bertemu di sekolah. Tapi dia selalu saja menghindar tiap kali bertemu denganku. Aku tak mengerti kenapa dia sampai seperti ini. Yang aku tahu, sekarang dia sudah pergi. Bukan lagi dia yang dulu. Bukan lagi dia yang selalu ada buatku.
“Hai Zal! Siang-siang malah ngelamun.. di perpus lagi..”
“Oh kamu Gas, ngagetin aku aja..” ternyata Bagas, teman Ratih yang menyapaku.
“Hah? Ngagetin kamu? Dari tadi aku juga di depanmu kok.. kamu aja yang ngelamun.”
“Apa iya? Haha, maaf aku tak merasakan kehadiranmu..”
“Emangnya aku setan!!?”
“Lah kamu setan bukan?”
“Bukan.”
“Ya udah, jangan ngerasa. Hahahahah…”
“Sialan kau!! Oh iya, gimana kabarmu sama Ratih?”
“Jangan bahas dia di depanku.”
“Loh kenapa? Dia istrimu kan? Hahaha..”
“Mungkin, dulu iya. Tapi sekarang udah nggak.”
“Kenapa? Ada masalah?”
“Tanya sendiri sama dia! Aku males bahas dia! PUAS!?”
“Slow loh bung… kamu kalau marah ya boleh aja, tapi tolong dikontrol.. ya udah kalau kamu lagi pengin sendirian. Aku balik kelas dulu ya! Udah ada bu Malika.”
“Oh iya. Siap-siap adrenalinmu dipacu ya.. hahaha.” tapi Bagas sudah pergi, dan entah kenapa aku belum mau masuk ke kelas. Aku hanya terpaku di perpustakaan. Tempat favorit keduaku setelah kantin. Berdiam di pojokan sambil memegang novel Agatha Christie. Hanya memegang. Pikiranku entah kemana. Bahkan aku tak bisa memegang pikiranku sendiri.

Itu ingatanku yang dulu, sekarang sudah jauh berbeda. Saat dia berkata begitu, hujan turun seolah menggambarkan perasaanku saat itu. Dan kini, saat kucoba tuk mengingatnya lagi, hujan kembali turun. Aku tak merasakan dinginnya, tak menggigil karenanya, tapi terasa hangat menyentuh kulitku.
Sejenak aku tersenyum membayangkan, apakah hujan mengerti perasaanku? Seandainya ia punya kemampuan untuk bicara, mungkinkah ia akan menghiburku? Bagaimana suaranya? Ataukah sekarang ia sedang berusaha menghiburku dengan memberiku kehangatan hujan?
Semakin lama aku coba untuk melupakannya, membuangnya dari ingatanku, semakin aku tak bisa. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Dan aku tak bisa mengosongkan pikiranku. Ratih, Ratih, Ratih dan Ratih. Hanya nama itu yang terlintas dan berhenti di kepalaku.
Mungkinkah aku merindukannya? Tapi sepertinya dia tak merindukanku. Terbukti dari seminggu yang lalu, handphone ku sama sekali tak bertuliskan namanya. Biasanya, dia selalu menghubungiku. Entah itu menanyakan kabar, menanyakan aktifitasku, atau hanya sekedar membuang bonusan. Tapi sekarang ku matikan. Dan aku tak berniat menyentuhnya.
Apa yang aku lakukan? Harusnya aku nggak kayak gini. Nggak masalah kalau dia jauhi aku. Tapi se-nggaknya, aku nggak njauhi dia! Aku nggak mau balas dendam cuma karena masalah kayak gini! Aku harus hubungi dia. Sekarang!!
Aku bangkit dari dudukku. Hujan sudah agak reda. Cepat-cepat aku meraih handphone-ku yang 3 hari ini tergeletak sendirian di laci lemariku. Aku nyalakan dan tak kusangka, ada puluhan sms dari Ratih yang masuk sekitar 1 jam yang lalu. Semua isinya menanyakan kabarku, dan permintaan maafnya.
Tanpa membuang waktu lagi, aku telpon dia.
5 menit berlalu dan tidak ada jawaban darinya. Atau mungkin dia marah? Pikirku. Akhirnya setelah 30 menit menunggu, terdengar jawaban juga..
Halo? Ratihnya ada?
Ya saya sendiri. Siapa ya?
Temenmu..
Ya siapa?
Faizal. Hehehe, gimana kabar Tih?

Mulai dari situ, aku mencoba untuk memperbaiki hubunganku dengannya. Aku minta maaf padanya, dia juga minta maaf padaku. Sangat lama kami berbicara. Menceritakan hal-hal yang lucu, tertawa bersama, dan mengenang masa lalu. Dalam hati aku berpikir…
Aku nggak mau hubungan kita lebih dari ini. Sebatas ini saja sudah cukup bagiku. Meskipun kita nggak pacaran, tapi kita ini sahabat. Dan kata “sahabat” berlaku selamanya. Mungkin kalau dulu kita pacaran, kita nggak bisa kelihatan kaya berteman. Tapi kalau kita berteman, mungkin kita bisa keliatan kaya pacaran.
Saat itu aku melihat keluar. Hujan sudah berhenti. Matahari bersinar dengan terang. Di langit terlihat pelangi. Agaknya, hujan mengerti perasaanku.
Cerpen Karangan: Ruci Indra


Biarkan waktu yang menjawab
Perkenalkan namaku Raisa Amanda Larasati, panggil saja aku Raisa. Aku baru saja menginjak usia 17 tahun, sekarang aku menempati bangku SMA. Saat pertama masuk SMA aku langsung mempunyai teman, mereka adalah Kania, Vhani, Elena, Alex dan Raihan. Kita selalu main bareng, kadang saat pulang sekolah kita sering sekali main di rumah salah satu di antara kita. Hal itu sangat menyenangkan bagiku, karena aku memiliki teman seperti mereka yang asik dan seru.
Dulu kita sekelas saat kelas 10, tapi saat kenaikan kelas kita berbeda kelas, ada yang masuk kelas IPA dan ada juga yang masuk IPS. Tapi hal itu gak ngejadiin kita pisah pertemanan hehehe, justru itu malah ngejadiin pertemanan kita semakin erat, karena kita jadi semakin sering bertukar cerita dan pengalaman yang kita lakuin di jurusan masing-masing. Hal itu sangat menyenangkan bagi kita, karena dengan hal itu kita jadi tau apa yang tadinya kita ga tau. Hampir setiap hari kita lakuin itu, kita gak pernah bosan ngelakuin hal itu. Amat sangat menyenangkan… Sampai suatu ketika hal yang pernah aku takutkan terjadi, yaitu ‘jatuh cinta kepada teman sendiri’. Aku merasakan perasaan yang berbeda akhir-akhir ini saat sedang bersama raihan. Aku merasakan perasaan yang tidak sama seperti biasanya.
Awalnya aku hanya mengangap itu cuma perasaan sayang terhadap teman, tapi lama kelamaan aku semakin merasa bahwa itu lebih dari perasaan sekedar teman. Aku selalu terbayang-bayang sama semua hal yang berhubungan tentang dia, aku sendiri gak ngerti kenapa hal itu bisa terjadi. Aku sangat tidak menyangka, apa boleh buat perasaan ini sudah muncul. Perasaan ini bukan aku yang menginginkannya, perasaan ini muncul dengan sendirinya… Tapi aku takut, aku takut pertemanan kita jadi tidak menyenangkan jika dia mengetahui tentang perasaanku. Aku hanya tidak ingin hal itu terjadi antara aku dengannya.
Cinta memang selalu datang dengan tiba-tiba, tidak ada yang bisa menebak kapan cinta itu datang dan kepada siapa kita akan jatuh cinta. Perasaan itu tidak pernah bisa dibohongi. Sama seperti perasaanku, aku tidak bisa terus membohongi perasaanku sendiri, perasaan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Tapi apa dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku? Aku tidak ingin jatuh cinta kepada orang yang salah! Tapi dia begitu baik kepadaku, aku ga mau salah mengartikan kebaikannya. Mungkin saja dia baik hanya karena aku temannya. Aku berusaha mencoba menghilangkan perasaan ku padanya, tapi kenapa tidak pernah bisa?! Semakin hari malah semakin bertambah rasa sayang ku padanya. Tapi tidak ada seorang pun yang tau bahwa selama ini aku mencintai raihan. Termasuk kania, vhani, dan Elena.. Mereka tidak mengetahui tentang perasaanku pada raihan.
Sebenernya sih nggak enak mendem perasaan kaya gini, tapi aku bingung harus ngelakuin apa. Aku gak mau pertemanan kita jadi ancur cuma gara-gara aku jatuh cinta sama dia.. Sekarang kita masih tetep main bareng, jalan bareng dan ngelakuin hal yang biasanya kita lakuin bareng-bareng. Seneng rasanya kalau lagi sama mereka, mereka juga salah satu penyemangat belajarku. Aku takut kalau harus kehilangan mereka, mereka sudah kaya saudara sendiri bagiku. Aku gak mau kehilangan mereka, tapi bagaimana dengan perasaanku? Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku cintai juga, tapi aku juga gak mau kehilangan teman-teman ku. Raihan sangat baik, dia sangat jauh berbeda sifatnya dengan cowo-cowo lainnya. Kenapa aku menyayanginya lebih dari seorang teman? Perasaan yang selama ini aku khawatirkan. Tapi apa mungkin aku dan dia bersatu dalam ikatan ‘pacar’? Apa dia juga mempunyai perasaan yang sama kepadaku? Gak ada satu orang pun yang tau jawaban dari pertanyaan itu. Tapi raihan selalu bilang kalau di dunia ini gak ada yang gak mungkin, semuanya pasti bakal terjadi kalau kita mau berusaha dan berdoa dan kalo kita yakin kita bisa, itu semua akan terwujud. Cuma waktu yang bisa ngejawab semuanya..
Aku hanya bisa berharap, berdoa, dan berusaha. Sampai kapan aku harus memendam perasaan ini Tuhan.. Aku hanya ingin dia tau tanpa merusak pertemanan kami. Sampai kapan aku harus menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang aku buat? Kapan aku akan mendapatkan jawabannya? Rasanya lelah terus-menerus menunggu..
Cerpen Karangan: Thania Putri. I


Hari paling gokil
Apa kalian tahu siapa namaku? Coba tebak!, hmmm… hayo siapa?, (sambil garuk-garuk kepala), yang pasti namaku bukan Sarijem, bukan pula Marsinah atau Markonah, tapi namaku Mawar Aurella. Biasa dipanggil Mawar. Seorang gadis kelahiran Bandung, keturunuan Sunda. Wajahku biasa saja, tapi banyak yang bilang aku ini cantik, hehe… hidungku, tidak terlalu mancung, juga tidak terlalu pesek, standar kali ya?, wkwkwk… kulitku hitam manis, dan mahkotaku selalu dibiarkan terurai, kadang dihiasi bando atau satu jepit saja.
Sejak tiga bulan yang lalu, aku telah berganti seragam. Dari putih biru menjadi putih abu-abu. Senang sekali rasanya, aku telah menginjak remaja. Banyak orang bilang, remaja itu masa yang paling indah karena mulai mengenal yang namanya C I N T A. *Bilang sekali lagi!, CINTA!.
Aku belum pernah tuh ngerasain jatuh cinta, palingan hanya sekedar suka atau kagum semata. Kata orang jatuh cinta itu, seperti melayang-layang di udara dan banyak bunga bertaburan, malah ada yang lebih parah lagi, kalau sedang jatuh cinta, Pups kucing pun rasa cokelat. WHAT! SAMPAI SEGITUNYA?, entahlah aku belum pernah benar-benar jatuh cinta.
Sejak saat MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik, aku mempunyai teman dekat atau bisa dibilang sobat karib. Mereka adalah: Andi Prasetyo, Ana Prameswari dan Nabila azahra.

Setelah Bel istirahat berbunyi, aku, Andi, Ana dan Nabila pergi ke kantin. Hendak mengisi perut yang mulai berdemo ria. Empat sekawan ini, hobi sekali jajan bakso, hampir setiap hari kalau lagi istirahat jajannya itu bakso dan sebotol teh Sosro. Enggak ada bosen-bosennya deh.
Tempat yang paling asyik kalau lagi jajan bakso di kantin itu… bangku yang deretannya paling akhir, alias di pojok. Hmm… memojokan diri?.
“Mau pesen bakso kan?” tanya pelayan kantin yang menghampiri kami.
“Mba, paranormal ya?” tanyaku serius.
“Bukan… bukan..” jawabnya.
“Memang kenapa gitu, War?” tanya Nabila kepadaku.
“Mba ini, udah tahu kalo kita mau makan bakso” ucapku
“Haha, dasar oon!!!, yaiyalah, kita kan sering ke kantin buat jajan bakso” Celoteh Andi.
“Hahaha..” terdengar tawa Nabila dan Ana saling bersahut-sahutan.
“Ihh, kenapa kalian jadi ketawa sih?” gerutuku kesal.
“Abisnya kamu ituuu..” ucap Andi terpotong.
“Kamu apa?” tanyaku semakin kesal.
“Sudahhh… sudah, jadi nggak pesen baksonya?” tanya pelayan kantin yang ikut kesal.
“Hehehe… jadi donk mba, 5 porsi yah… teh-nya juga 5” seru Ana.
“Yaa, tunggu sebentar..” jawab pelayan kantin sambil berlalu.
“Kok lima sih, Na?, emang yang satunya lagi buat siapa?” tanya Andi.
“Buat aku lahhh” jawab Ana dengan ekspresi datarnya.
“Glek..” aku hanya menelan ludah mendengarnya, 2 mangkuk bakso akan dimakan Ana?, kadang-kadang satu mangkuk saja aku tidak habis. Apalagi 2 porsi, bisa-bisa aku mati kekenyangan.

Beberapa saat kemudian, bakso yang kami tunggu pun datang. Tak perlu menunggu waktu lama Ana segera menyantap dua mangkuk bakso-nya.
“Kok kalian semua, ngeliatin aku sih?, ada yang aneh ya?” tanya Ana.
“Udah berapa hari nggak makan, Na?” tanya Nabila dengan mata sedikit terbelalak menyaksikan Ana yang makan begitu rakusnya.
“Tadi pagi juga sarapan kok” ucap Ana dengan ekspresi datarnya sambil terus makan. Tak ada kata yang mampu diucapkan lagi, kami hanya bisa menggeleng-geleng kepala ke kiri dan ke kanan beberapa kali, dan melanjutkan menyantap bakso hingga tak tersisa.
“Mungkin kita harus buat program deh!” seru ku.
“Program apa?” tanya Andi.
“Program diet untuk Ana” jawabku.
Ana yang sedang menikmati teh-nya, kemudian tersedak. “Uhuk… Uhukkk..” Nabila terlihat menepuk-nepuk pundak Ana.
“Wahh, iya… boleh juga tuh” timpal Nabila.
“Aku nggak setuju ah” jawab Ana sambil memegang lehernya.
“Tet…Tet… Tettt” terdengar suara bel pertanda masuk istirahat berbunyi.
“Wahhh… gawat nih, kita harus buru-buru balik ke kelas. Udah istirahat kan pelajaran Matematika, mana gurunya killer lagi, kita nggak boleh telat nih.” ucap Andi.
“Lariii!!!” ucapku, Nabila dan Andi serentak. Kita pun segera berlari menyusuri koridor-koridor kelas. Sialnya lagi, letak kelas kita itu paling ujung, kalau dari kantin tadi sih… cukup jauh!.


Nafas terengah-engah, keringat bercucuran disana-sini. Aduhhhh!, memalukan. Saat membuka pintu, terlihat bu Dian sudah ada di kelas dan menatap aku, Andi dan Nabila tajam. Setajam silet!!!, hohoho.
“Dari mana saja kalian, bukannya kalian sudah tahu. Kalau pelajaran ibu nggak boleh telat satu detik pun!” Bu Dian mulai menginterogasi.
“Maaf bu, tadi kita habis dari kantin” ucap Andi terdengar parau. Aku ingin tertawa terbahak-bahak menyaksikan ekspresinya yang mengkhawatirkan.
“Teman-teman kalian juga banyak yang dari kantin, tapi mereka nggak telat. Lari keliling lapangan 10 kali!” ucap bu Dian sambil membentak.
“Tapi bu” ujar Nabila.
“Nggak ada tapi-tapi, CEPAT!!!” ucap bu Dian dengan suaranya yang memecah keheningan kelas. Dengan terpaksa kita pun segera berlari mengitari lapangan, aduh… mana ada yang olahraga lagi. Jadi bahan tontonan pula. Huhhh, sial… sial…

“Kalian ngerasa ada yang aneh nggak sih?, aku ngerasa ada yang kurang. Tapi apa ya?” tanyaku pada Andi dan Nabila saat mulai berlari.
“Hmm, apa ya?” Nabila ikut berpikir. Dahinya diriutkan. Ujung alisnya terangkat sedikit.
Untuk beberapa saat, berlari dihentikan. “ANA!!!” teriak aku, Andi dan Nabila bersamaan. Kita saling menatap, kok bisa-bisanya si gendut itu sampai terlupakan.
“Kita juga belum bayar bakso!” ucap Andi sambil menepuk jidatnya.
“Terus sekarang kita harus ngapain?” tanya Nabila sambil kebingungan.
“Heii!!!, cepat lari!!!” teriak bu Dian di seberang lapangan. Dia berdiri di depan kelasku.
Dengan langkah yang gontai, kita pun mulai berlari lagi. Huftt… capeknya…
“Cayooo… tinggal satu keliling lagi. Ganbatte!!!” seruku. Dan “Praaaakk” aku pingsan!. Lalu beberapa saat kemudian aku merasakan tubuhku di angkat.

“War… bangun!!!” ucap Andi.
“Bangunnn donk!!!” Nabila juga ikut membangunkanku.
Hmmm, ternyata aktingku bagus juga, hehe… “Duuuaaarrr!!!!” aku segera bangun dan mengagetkan mereka berdua, ternyata benar dugaanku sekarang aku sedang berada di UKS.
Andi dan Nabila hanya terbengong-bengong, jadi nggak kaget nih?, huh… Nabila dengan segera memegang keningku.
“Kamu nggak apa-apa kan War?” tanya Andi.
“Hahaha… aku tuh nggak apa-apa lagi. Tadi tuh Cuma pura-pura pingsan, hehehe” ucapku tanpa merasa bersalah.
“Huh, dasar… berat tahu ngangkat kamu ke sini. Kalau tahu kamu Cuma pura-pura, bakalan disuruh jalan dari lapangan ke UKS” gerutu Nabila.
“Namanya juga pingsan mana bisa jalan donk” seruku sambil menahan tertawa.
“Lagian kenapa kamu kok pura-pura pingsan sih?, bikin khawatir aja tau” gerutu Andi.
“Biar bisa lolos dari pelajaran mengerikan itu, hehe… Peace deh” ucapku.
“Oh, ya… kalau Ana dimana?, dia udah di kelas?, atau masih di kantin?” tanyaku beruntun.
“Nggak tahu tuh, kita ke kantin aja gimana?” ucap Andi.
“Ya, udah… yukk!!!” jawab Nabila.

Waktu di kantin, kita tidak melihat satu pun. Lalu Nabila nekad bertanya pada si mba pelayan tadi.
“Mba, liat temen kita yang satunya lagi nggak?”
“Lagi cuci piring”
“Hah?, kok bisa mba?” tanyaku kaget.
“Tadi kan kalian nggak bayar, malah kabur gitu aja. Terus ketinggalan satu, ya udah sebagai tebusannya. Dia… mba suruh cuci piring” Jawabnya ketus.
“Aduh, maaf ya mba kita lupa. Nih uangnya… bebasin temen kami mbak” Ujar Andi sambil memberikan uang Rp. 50.000.
“Baiklah, tunggu sebentar” Katanya sambil berlalu.
Beberapa saat kemudian, kita bertemu dengan Ana.
“Kalian kok ninggalin aku sih?” gerutunya.
“Maaf Na, kirain waktu kita lari itu… kamu juga ikut lari” ucapku sambil memegang tangan Ana yang basah.
“Hmm, iya deh… yuk, balik ke kelas” Ucap Nabila.

Sepanjang perjalanan ke kelas, aku ceritakan semua peristiwa yang terjadi. Ana pun terpingkal-pingkal dibuatnya. Hari ini adalah hari yang tak akan pernah terlupakan, sederet kegokilan pun terjadi.
Kebahagiaan yang paling indah, ketika kita bisa bersama sahabat.

*** Selesai ***
Cerpen Karangan: Iis Kusniawati






Pulau hamil
“Anginnya sejuk, Yah. Tempat apa ini?”
“Ini namanya Pantai, Nak.”
“Pantai apa, Yah?”
“Namanya Pantai Ujung”
“O, ujungnya yang mana, Yah?” ucap Latifah sementara dua jari telunjuk mungilnya yang baru berusia hampir lima tahun menunjuk ke arah yang berlawanan.
“Aduh, Fah, kamu banyak tanya. Dari tadi tidak pernah diam,” kata Maliki, sebuah tangannya merangkul tangan Latifah kecil yang hampir berlari di sampingnya.
“Yang mana, Yah?” ulang Latifah seakan tidak mendengar keluhan ayahnya. Pertanyaan beruntun tak putus-putusnya keluar dari mulut mungil anak itu, menghujani Maliki sejak mereka tadi meninggalkan Rumah dan di sepanjang jalan di dalam mobil, hingga mendarat di Pantai Ujung tidak jauh dari Kota. Tempat mereka biasa melepaskan kepenatan di akhir pekan.

Maliki tidak habis pikir dengan anak tunggalnya itu yang sangat rajin mengoceh dan tidak mengenal lelah. Padahal jarak dari rumah ke pantai tidak kurang dari lima jam perjalanan. Dan perjalanan itu pun mengantukkan bagi orang dewasa. Tetapi Latifah tetap bersemangat, kadang-kadang kasihan juga Maliki melihat anaknya. Dicobanya untuk mengajak istirahat sebentar sambil tidur-tiduran di tenda dekat mobil mereka diparkir, tetapi Latifah menolak. Dan terus bertanya.
“Kenapa pohon kelapanya banyak yang condong ke arah laut, Yah?”
“Itu karena angin lebih kencang dari darat ke laut,”
“Yah, disana itu apa?” Jari kecilnya menunjuk lagi.
“Semacam kapal. Ayah tidak tahu…”
“Bukan, Bukan kapal itu.”
“O, yang bulat itu. Namanya…”
“Bukan!” Suaranya meninggi. Kakinya yang mungil dihentak-hentakkan ke tanah, jengkel karena ayahnya tidak tahu apa yang dimaksudkannya. “Bukan Batu.”
“Yang mana?”
“Itu,” katanya sambil menunjuk lagi.
“Pulau itu?”
“Pulau? Pulau itu, apa, Yah?”
“Pulau adalah tanah yang ditumbuhi tanaman juga tempat hidup para binatang dan dikelilingi oleh air laut”
“Berarti seperti tempat tinggal kita juga, Yah?”
“Ya, kita dan semua orang juga tinggal di atas Pulau.”
“Apa disana ada orang, Yah?”
“Tidak, pulau itu tidak ada orangnya.”
Latifah menghentikan langkahnya. Dan terus memandang ke arah laut. Kemudian bertanya, “Mengapa pulau itu kelihatan seperti orang hamil, Yah?”
Maliki paling merasa susah jika ditanya “mengapa” oleh Latifah. Kalau “apa” masih tidak terlalu sulit untuk dijawab. Anak-anak lainnya seusia Latifah juga senang sekali bertanya. Ya, keingintahuan anak kecil. Namun, Latifah bertanya bukan hanya sekedar ingin tahu. Perhatian Latifah juga tertuju pada alam sekeliling, pada jawaban yang diberikan pada setiap pertanyaannya, baik oleh Ayahnya atau siapa saja.
“Itu ada ceritanya, Fah,” jawab Maliki. “Pulau itu namanya Pulau Hamil.”
“Bagaimana ceritanya, Yah?”
“Panjang ceritanya, Fah. Nanti malam Ayah ceritakan,”
“Janji, Yah?”
“Ya, Ayah janji.”

Latifah tambah senang hatinya dan tambah tegap langkahnya. Janji Maliki membuatnya berhenti bertanya tentang pulau itu, tetapi hujan pertanyaan makin lebat. Tentang air laut yang terasa asin, ombak yang bergiur diterpa angin, tentang serpihan binatang laut yang berserakan di bibir pantai.
Dahulu kala hidup di wilayah pantai ini sebuah keluarga kecil. Di dalam keluarga itu hanya ada dua orang: suami dan istrinya. Mereka sudah lama menikah namun belum mendapatkan buah hati. Mereka merupakan keluarga sederhana yang tidak kaya dan juga tidak begitu miskin. Pasangan itu hidup di sebuah pondok. Untuk menghidupi mereka, suaminya bekerja sebagai penangkap ikan dan istrinya sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT).
Hidup di lingkungan bersama masyarakat setempat. Mereka merupakan keluarga yang sombong dan kikir, tidak pernah mau untuk membantu orang lain yang lagi kesusahan. Setiap ada warga yang meminta bantuannya selalu ditolak dengan berbagai alasan dan tepisan. Kadang tidak bisa membantu, tidak memiliki uang, lagi sibuk dan berbagai alasan lainnya selalu muncul dari bibir mereka baik suami maupun istrinya.
Hubungan keluarga itu dengan warga setempat pun semakin memburuk. Orang-orang sudah tidak begitu peduli dengan mereka. Kala itu, istrinya diketahui mendapatkan kado istimewa dari Tuhan yaitu kehamilan. Alangkah senang hatinya. Dia kemudian menceritakan kepada suaminya. Dan suaminya pun ikut senang. Tujuh bulan berlalu. Sang istri makin jelas kehamilannya dengan perut yang menonjol ke depan seakan sangat berat membawanya dan semakin nampak besar bulatannya.
Suatu hari, sang suami sedang pergi menangkap ikan. Tinggallah istrinya sendirian di rumah berduaan dengan anaknya yang masih dalam kandungan itu.
“Bapak ke laut dulu, Bu. Mencari ikan untuk kita makan nanti malam.”
“Iya Pak.” Jawab istrinya dengan nada rendah.
“Ibu baik-baik di rumah, ya, jaga kondisi Ibu dan buah hati kita!” pesan suami kepada istrinya, lalu pergi ke luar rumah dengan memikul serumpun jala.

Setelah beberapa jam berlalu suaminya pergi, tiba-tiba wanita itu sangat ingin makan buah lamun: buah dari tumbuhan laut yang bisa dipetik ketika air laut sedang surut dan rasanya manis. Berfikirlah Ia bagaimana cara mendapatkannya. Hendak keluar rumah untuk mencari, terasa agak begitu repot dengan kondisi kehamilannya. Karena terpaksa oleh keinginan yang tidak boleh ditunda-tunda. Keluarlah Sang istri menuju rumah-rumah warga untuk mencari segelintir bala batuan.
“Pak, saya sedang ingin makan buah lamun, dapatkah membantu untuk mencarikannya?” Pintanya kepada seorang warga yang tampak sedang duduk di teras rumah yang tidak jauh dari pondoknya.
“Saya sedang tidak sehat sekarang, Bu.” Jawab lelaki itu yang kemudian menghilang di balik pintu rumahnya.

Wanita itu terus mengayunkan langkahnya, berharap ada yang bersedia menerima permohonannya.
“Bu, bisakah mencarikan buah lamun untuk saya. Kebetulan air laut sedang surut.”
“Aduh Bu, saya sedang buru-buru mau ke pasar sekarang.” Jawab wanita yang ditemuinya itu.
Dengan mata sendu yang melambangkan keputusasaan serta langkah lesunya yang semakin melemah, wanita itu menuju pesisir pantai untuk mencari buah yang di idamnya. Tanpa harus menunggu bantuan yang tidak pasti, Dia terus berjalan di tepian. Air setinggi tumit mengharuskan pandangan matanya tidak lepas dari gundukan-gundukan pasir di bawah air dengan harapan menatap serumput lamun yang siap untuk disantap.
“Dimana buah itu, dari tadi tidak satupun ku temukan.” Gumamnya dalam hati. Kemudian Ia berenti sejenak mengenang kehadiran buah lamun yang tidak kunjung datang.
“Mungkin mereka hidup di air yang lebih dalam.” Pikirnya.

Teruslah dia menyusuri ke arah laut yang sedikit dalam dan menjauh dari pesisir pantai. Dengan alunan langkah yang lentur namun pasti, ditemukan juga buah lamun itu. Dan di petiknya lalu dimakan. “Mungkin disana akan lebih banyak.” Katanya sambil terus melangkah menyusuri lautan dangkal itu. Tidak sadar air laut semakin pasang yang kini sudah setinggi lutut rapuhnya. Melihat buah lamun yang makin banyak didapatkan, Dia semakin bersemangat.
Air laut terus meninggi. Hari mulai gelap tanda akan turun hujan. Bergegaslah ia hendak kembali kedaratan. Dengan ayunan langkah yang lamban dan keletihan sudah melanda dirinya. Ia terus menuju pesisir. Kini air laut mencapai dadanya. Semakin lambatlah langkah wanita renta itu. Silauan petir mulai terasa. Langit mulai gelap. Seketika wanita tua itu tergelam yang akhirnya mengapung dengan perutnya menonjol di atas permukaan laut. Jadilah ia sebuah Pulau yang berbentuk seperti orang hamil. Pulau itu hingga kini terletak didepan Pantai Ujung yang bisa kita datangi dengan berjalan kaki ketika air laut sedang surut.
“Kenapa wanita itu jadi Pulau, Yah?”
“Itu karena Tuhan marah kepadanya yang sombong dan pelit, Nak.”
“Orang yang sombong Tuhan tidak suka, ya?”
“Iya, Tuhan telah menyuruh kita untuk berbuat baik kepada orang lain.”
“Kalau badan berubah jadi pulau, sakit ya, Yah?”
“Tentu. Itu hukuman bagi orang yang tidak patuh kepada perintah Tuhan.”
Latifah terdiam. Maliki melihat anaknya menatap langit-langit. Matanya melukiskan bahwa otaknya sedang berputar cepat. Entah apa yang dipikirkannya. Maliki khawatir Latifah takut dengan ceritanya. Ia khawatir latifah ngeri membanyangkan sakitnya perubahan diri menjadi Pulau.
“Yah,” kata latifah sambil mengalihkan pandangannya ke wajah Maliki yang berdekatan dengan wajahnya. Maliki memeluk anaknya yang terbaring di tempat tidur. Senyum manis Maliki mencoba meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakutinya. “Kalau aku tidak patuh pada perintah Tuhan, apa tuhan akan menghukum aku.”
“Kamu anak yang baik.”
“Ini kalau saja, Yah. Bagaimana kalau aku tidak patuh?”
“Kamu akan jadi anak yang patuh, Fah.”
Lama Latifah berpikir. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya tidak menjawab pertanyaannya. Dia terlalu kecil untuk membaca kerumitan pikiran ayahnya. Pikiran kecilnya terlalu lugu untuk mengarungi pikiran orang dewasa yang selalu punya banyak pertimbangan.
“Ya, ini kalau. Kalau anak Ayah tidak patuh, bagaimana?”
“ayah akan berdo’a kepada Tuhan agar Latifah di ampuni-Nya.”
Latifah diam lagi. Lalu, “Kenapa, Yah?” tanyanya sambil memainkan kerah baju ayahnya.
“Karena Ayah sayang Latifah.”
“Kenapa, Yah?” lanjut Latifah.
“Kenapa Ayah sayang kepadamu?”
Latifah mengangguk.
“Itu kewajiban orang tua, Fah.”
“Apa disuruh Tuhan?”
“Ya, Tuhan menyuruh manusia berbuat baik sesama manusia. Orang tua sayang kepada anaknya dan anak sayang kepada orang tuanya.”
Latifah berpikir lagi. Kemudian, “Kalau begitu, warga tempat keluarga itu tinggal juga tidak patuh, ya, Yah?” Terkejut Maliki mendengar perkataan anaknya.
“Kenapa Fah?”
“Mereka tidak patuh kepada perintah Tuhan. Mereka juga tidak mau membantu keluarga itu. Apa warga tadi juga di hukum Tuhan, Yah?”
“Ayah tidak tahu.”
“Apa warga tidak mau menolongnya karena warga disana juga orang-orang yang tua renta, Yah?”
“Entahlah, Fah.” Kata Maliki sambil mengusap pipi Latifah yang dihinggapi nyamuk. Mata anaknya hampir tertutup. Kantuk makin terasa menguasai dirinya.
“Apa ayah yakin yang menjadi Pulau itu istri penangkap ikan. Bukan warga yang lain, Yah?”
“Ayah tidak begitu yakin, Fah. Ini cerita orang.”
Latifah terlelap dengan seulas senyum tercipta di bibirnya.

Cerpen Karangan: Siswari

Hidupku tak sepahit jamu ibuku
Tak ada yang istimewa dalam hidup Rofan. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dia mempunyai seorang kakak perempuan, satu adik cewek dan satu adik cowok. Kakak perempuannya sudah memiliki keluarga. Kini, ia sudah kelas 3 STM. Tapi, pikirannya justru terus memikirkan kemanakah kakinya akan melangkah demi uang untuk membantu ibunya. Ia pasti tak tega melihat kedua orang tuanya bekerja keras demi menyekolahkan kedua adiknya.

Rofan tahu bagaimana besar perjuangan kedua orang tuanya demi menyekolahkan ia dan juga adik-adiknya. Setelah lulus nanti, ia ingin bekerja agar bisa membantu keuangan keluarganya. Ibunya hanya penjual jamu, sedangkan ayahnya hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Dari situlah keinginannya begitu besar tertanam dalam hatinya. “Aku harus bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan juga adik-adikku. Aku tak ingin hidupku kelak dengan anak dan istriku seperti apa yang aku alami sekarang dengan kedua orang tua dan juga adik-adikku. Tapi, aku bukannya tidak bersyukur denganmu Ya Allah. Aku hanya ingin menyemangati diriku sendiri, agar aku selalu ingat dengan perjuangan kedua orang tuaku. Aku tahu, inilah cara yang engkau berikan agar aku terpacu dan bersemangat merubah keadaanku dan keluargaku.” Kata Ropan dalam hati.
“Fan, kenapa melamun?” Tanya Ary sambil tersenyum keheranan melihat Rofan melamun. Rofan pun tersenyum malu pada Ary. Mereka adalah dua sahabat yang saling pengertian dan selalu memberi semangat satu sama lain. Rofan dan Ary lah contoh sahabat sejati dalam hidup mereka. Rofan dan Ary pun melanjutkan membaca kembali buku yang dibacanya di perpustakaan. “Aku harus semangat bekerja agar hidupku berubah mejadi lebih baik.” Rofan bersemangat dalam hati.
“Aqila, terima kasih ya, sudah mau menemaniku mengembalikan buku.” Kata Risma pada Aqila. “Iya, tidak apa-apa ko, Ma. Aku malah senang” Kata Aqila sambil menunjukkan senyumnya yang manis. Ia pun melanjutkan mencari buku yang berderet di rak kayu. “Padahal, kemarin kamu sudah ke sini mengembalikan buku.” Risma tersenyum. “Tak apa-apa, aku kan juga ingin membaca buku, Ma.” Jawab Aqila. “Sekali lagi, terimakasih, ya” Ucap Risma. Aqila pun menganggukan kepalanya, dan tersenyum pada Risma.
Mereka pun sibuk mencari buku, dan setelah Risma mendapatkan bukunya, Risma langsung duduk. Kemudian ia disapa oleh seseorang. “Risma..” Sapa Rofan. “Rofan, sering datang kesini?” Tanya Risma yang terkejut bertemu dengan Rofan di perpustakaan daerah. “Iya, sering. Hari ini aku datang sama temanku, Ary.” Rofan menjelaskan. “Iya. Minggu depan ikut kemah di sekolahanku, kan?” Tanya Risma. “Pasti, ko..” Jawab Rofan, sambil mengacungkan jempolnya. Mereka pun terlibat perbincangan. Sedangkan Ary membaca novel di samping Rofan dengan mimik serius mengikuti alur ceritanya.
“Ma, Ini novelnya bagus. Nanti kamu pinjam, ya?” Kata Aqila pada Risma, kemudian ia duduk di sampingnya. “Iya..”, Jawab Risma. Aqila dan Risma pun larut dalam buaian cerita buku yang ada di tangan mereka. Rofan pun beranjak berdiri dari tempat duduknya. Rofan terus mengarahkan pandangannya ke arah Aqila. Sepertinya, ada perasaan yang merasuk ke dalam batinnya. Ia terus menatap gadis cantik itu. Gadis berambut panjang, pendiam, kalem dan manis. Ingin sekali ia berkenalan dengannya. Tapi, ada perasaan malu terhadap gadis itu.

“Aku ingin sekali Risma mengenalkan aku dengan temannya itu. Kenapa perasannku jadi tidak karuan seperti ini, ya?” Kata Rofan mengusap kepalanya sambil tersenyum. “Hei, ngelamunin apa?” Ary mengagetkan lamunan Rofan. “Ah…, Ary. Tidak apa-apa.” Jawab Rofan tersipu malu. Gadis yang cantik dan manis. Padahal aku sudah sering bertemu dengannya di perpustakaan ini. Tapi, kenapa baru sekarang rasa tertarik itu ada, ya?
Setelah pulang dari perpustakaan, Rofan pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk membuat jamu ibunya. Sepanjang perjalanan dengan menaiki sepeda pancalnya, bayangannya masih tertuju pada Aqila. Perasaanya menjadi berbunga-bunga. Ia begitu semangat mengayuh sepedanya meski terik matahari menyengat kulit tubuhnya. Sepertinya, ada semangat baru yang membasahi jiwanya, kesejukan yang begitu nikmat.
Rofan semakin keasyikan untuk berkunjung ke perpustakaan usai pulang sekolah. Ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu. Ingin menatapnya, dan menghilangkan rasa gemuruh di hatinya. Rasa yang membuatnya tidak tenang. Perasaan yang membuatnya semangat menjalani hari-harinnya. “Mungkin, aku telah jantuh cinta pada gadis itu. Tapi, gadis itu sepertinya cuek.” Kata Rofan dalam hati. Aqila memang gadis pendiam. Hal itulah yang membuat Ropan enggan untuk menyapanya. Ia merasa takut dan gugup dengan perasaaannya. “Bagaimana, ya. Agar aku bisa mengenalnya lebih dekat?” Pikir Rofan.
Rofan pun memberanikan diri bertaya kepada Risma. Kemudian Risma pun memeberikan nomor hp Aqila. Tetapi, sejak mereka sering berbicara via sms, justru mereka berdua tidak pernah bertemu di perpustakaan. Mereka terlalu sibuk dengan bimbingan untuk menghadapi ujian. Rofan pun didera kerinduan yang teramat dalam pada Aqila. Gadis itu telah memikat hatinya. Ingin sekali ia bertemu dengannya kembali. Setelah mereka sering sms, tentu saat bertemu mereka akan terlibat obrolan secara langsung. Tetapi, saat Rofan di perpustakaan, ia tak mendapati Aqila ada di sana.
Rofan semakin takut jika tak bisa bertemu dengan Aqila kembali. Sebentar lagi mereka ujian dan mungkin Aqila kerja atau kuliah. Tentu mereka tidak akan bertemu kembali. Rofan memendam perasannya terhadap Aqila. Ia ingin sekali mengatakannya pada Aqila, kalau ia menyukainya. “Mungkin, perpustakaan ini hanya akan menjadi kenanganku dengan Aqila.” Kata Rofan. Ia pun membuka buku yang ada di hadapannya, dan mencoba larut dalam buaian penulisnya.
Tiba-tiba, suara derat pintu depan terdengar. “Aqila…” Kata Rofan dalam hati. Detak jantungnya berdegup keras, Tiba-tiba jiwanya menjadi dingin. Kesejukan menerpa wajahnya. Hatinya menjadi sumringah. Ia kagum dengan Aqila, sekarang dia sudah berubah. Jauh lebih cantik dengan Jilbab putihnya. Tapi, Aqila langsung menuju rak yang berisi majalah. Kemudian ia duduk di sebelah timur. Sedangkan Rofan dan Ary duduk di sebelah barat. Rofan hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Ia tak berani untuk mendekati Aqila, dan mengajaknya berbicara.

Aqila memang gadis yang sedikit cuek. Bahkan ia tak mengenali Rofan, orang yang selama ini sms dia. Rofan sangat senang bisa bertemu dengan Aqila setelah lama ia tidak bertemu dengannya. Tetapi, ia tak berani untuk menghampiri tempat duduknya. Padahal, ia ingin sekali berbicara langsung dengannya. “Sekarang, dia sudah berbeda. Jauh lebih cantik berbalutkan baju tertutup. Tidak seperti dulu, ketika ia memakai seragam osisnya. Roknya terlihat sepan dan ngepas. Sekarang, dia jauh lebih cantik dan anggun.” Gumamnya dalam hati yang sedang sumringah.
“Kini, Rofan dan Aqila sudah menjalani hidupnya masing-masing. Setelah kelulusan mereka berdua terpisah. Rofan bekerja di Surabaya, dan Aqila pun juga bekerja. Mereka pun tidak pernah bertemu. Rofan sudah pernah mengatakan kepada Aqila bahwa dia menyukainya. Tetapi, Aqila mengatakan bahwa ia ingin bersahabat degannya. Rofan pun menyadari, mungkin Aqila bukanlah wanita yang kelak akan menjadi jodohnya. Tapi, ia masih saja menyimpan perasannya terhadap Aqila.
Meskipun mereka berjauhan, tetapi mereka tetap berkomunikasi dengan baik. Rofan tak ingin memaksa seseorang untuk membalas perasannya. Dengan bersahabat dengan Aqila, ia merasa senang karena bisa dekat dengan orang yang ia sayangi dan cintai. Meski ada perasaan sedih dan kecewa, tetapi ia mencoba untuk menerimanya. Ia sadar siapa dirinya, ia hanya anak dari seorang penjual jamu. “Mana mungkin Aqila mau denganku.” Kata Rofan.
Ia berusaha melupakan pengalaman pahit yang ia alami. Perasan sedih ketika ia harus merelakan cintanya pergi. Tetapi, cinta untuk Aqila akan tetap ada di hatinya. Jika memang Allah berkenan menyatukan cinta ku, dan ia akan menganugerahkan cinta di hati Aqila dan akan diberikannya padaku, aku pasti bahagia. Semua itu adalah kehendak-Nya. Jika memang sekarang seperti itu adanya, aku dan Aqila hanya bersahabat.
Mungkin, suatu saat Allah akan memepertemukan kita dalam ikatan yang berbeda. Aku selalu berdo’a untuk kebaikannya. Dengaku atau bahkan tidak denganku, atau bahkan akan menjadi milik orang lain untuk selama-lamanya. Tapi, aku tak bisa menghilangkan perasannku terhadap Aqila. Biarlah cinta ini bersemayam di sanubariku. Kelak, jika Allah menggantikannya dengan orang lain di hatiku, aku pasti bisa melupakannya. Tapi, rasanya sulit bagiku untuk menerimanya.
Rofan pun memutuskan untuk fokus dengan pekerjannya. Ia tak ingin larut memikirkan perasaanya terhadap Aqila. Belum tentu Aqila juga memikirkan perasan Rofan terhadapnya. Rasa cintanya yang begitu besar terhadap Aqila. Rasa yang sulit untuk hilang dari hatinya. Namanya telah melekat dalam batinya. Bahkan ia sangat yakin suatu saat ia akan bersanding dengannya. Hati Rofan tetap yakin akan keinginannya.
Keinginan Rofan untuk bisa hidup dengan Aqila telah mendapat jawaban dari Allah. Perlahan-lahan, ada rasa cinta tumbuh di hati Aqila. Perasan takut Rofan dahulu telah menyemangatinya untuk bekerja keras demi mendapatkan hati Aqila. Setelah ia bekerja dan sukses membuka sebuah usaha, ternyata ia juga mendapatkan hadiah yang tak terduka. Rofan kembali menyatakan cintanya pada Aqila. Dan Aqila pun bersedia menerima cintanya.
Kerja kerasnya selama ini berhasil. Ia telah merubah kehidupan kedua orang tuanya. Dulunya, mereka hanyalah seorang penjual jamu dan kuli bangunan. Tapi, tekadnya untuk menjadi orang yang berhasil terpatri kuat dalam hatinya. Kini, ia bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Bahkan, kehidupan mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.
Rofan sangat bahagia memiliki seorang istri yang selama ini ia inginkan. Rasa cintanya yang tak pernah hilang meski Aqila tetap pada pendiriannya untuk bersahabat dengannya. Tapi, perlahan-lahan hatinya luluh dan ia menerima cinta Rofan. Keinginannya yang keras telah merubah hidupnya menjadi lebih baik. Semua itu karena ia tak ingin keluarganya terus-terusan hidup dalam kesusahan. Ia ingin hidupnya jauh lebih baik dari kedua orang tuanya.
Rofan ingin hidupnya tak sepahit jamu ibunya. Orang lain menyebutnya dengan jamu pahitan. Biasanya mereka suka membeli dari ibunya. Dulu, ia juga yang sering ke pasar membeli bahan untuk membuat jamu pahitan itu. Kini, ibunya tak usah lagi berjualan jamu. Semua kerja keras Rofan sudah bisa membantu menghidupi keluarganya. Bahkan ia juga membuaka sebuah usaha dan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Kini, cinta dan semuanya telah ia miliki.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Penyebab galau selain cinta
Ujian kemarin itu, menjadi ujian yang berarti bagiku, bagaimana tidak, aku yang tidak pernah keluar dari 3 besar kini mendapat nilai ujian Bahasa Inggris yang sangat yummy. 50 50 50 50
Bagaimana harus aku menyembunyikannya dari sepengetahuan keluargaku? sementara isak tangis terus berderai di pipiku. Belum lagi, aku harus berjalan menyusuri puluhan rumah ketika pulang sekolah. Ya Allah… memang apa salahku ketika aku ujian kemarin? Nyontek, enggak. haduuhh… aku nggak tau harus gimana lagi.

Air mataku menetes tanpa ada bendungan, mataku semakin merah… merah… merah… isak tangis tak berhenti, sampai-sampai teman jalanku menepuk bahuku, dengan menghela napas aku menoleh kearahnya “gila juga ni anak, galau itu karena cowok, putus, atau yang lain deh, pokoknya bukan karena nilai. menurut gue sih kayak gitu, nah lu? huh… emang ya, spesies orang kayak gini udah punah, tapi kenapa gue masih nemuin?” celotehnya sambil mentertawakanku, aku hanya tersenyum. tapi air mata masih belum terhenti.
Sampai di Rumah
Kamu kenapa?” tanya kakakku dan ibuku yang sudah lama tertawa-tawa di depan TV, setelah itu, kuceritakan semuanya. Malah mereka tertawa-tawa melihatku semakin terpuruk mengingat cerita hari ini. “sudah, nggak papa… namanya juga sekolah, yang penting SUKSES” hibur ibuku “Gimana mau sukses kalo naik kelas aja enggak?” lawanku makin kecewa, lalu kutinggalkan mereka berdua ke kamar. Ketika di kamar aku merenungi sesuatu yaitu “Rasanya, baru sekarang aku nangis karena masalah selain bertengkar sama kakak atau adikku di rumah, ternyata rasanya nangis + curhat itu SENSASIONAL” …


Hari Remidi
“Fitri Melani dan Dian Wahyu Safitri, masuk” teriak Pak Saiful dari dalam ruangan memanggilku dan kawan sekelasku. “Kenapa bisa sih fit? kamu kenapa? nilai 50 itu mustahil hukumnya bagi kamu, tapi ada apa sama kamu yang sekarang?” tanya Pak Saiful panjang lebar kepadaku, aku hanya menggeleng dan air mata kembali menghapus semua bedak di pipiku “Baiklah, duduk!” perintah Pak Saiful. “Fitri, kalo kamu dapat nilai diatas 80, bapak akan belikan kamu ice cream, coklat, permen coklat, dan sekaligus keripik singkong untuk kamu siang ini di kopsis” hibur Pak Saiful guru kesayanganku. Bu Wiwik tiba-tiba muncul di jendela ruangan untuk melihat keadaan siswa didiknya bertarung menghadapi masa-masa remidi pertama. Dian, dia hanya terus berdo’a karena selama ini dia tidak pernah menyukai bahasa inggris.
“Rasanya, aku ngerjain ujian ini juga sama aja kayak yang kemaren, cuma, lebih sepenuh hati aja” pikirku dalam hati.

Kukumpulkan lembar jawabanku di atas meja pak saiful dan kutambahi dengan senyum kecut ala ABG Galau dari lubuk otakku. Fiiuuhh… kuhela nafasku lalu duduk di bangku asalku, kulanjutkan dzikirku sejak pagi tadi. Kulihat Pak Saiful dengan teliti menelaah hasil ujianku, tidak lama kemudian Dian temanku mengikuti langkahku untuk mengumpulkan hasil kerjanya selama 30 menit ini.
“Lama sekali Pak Saiful ini, mana lembar kerja Dian diteliti duluan. rasanya mau protes aja” pikirku dalam hati. baru saja ingin kutinggal tiduran Pak Saiful yang matanya tidak berpaling dari lembar kerjaku. Lalu tiba-tiba Pak Saiful berteriak “sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… selamat” ucap Pak Saiful sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku menangis senang sekarang, rasanya ingin cepat pulang dan pamer-pamer di depan kakakku :DTapi kulihat Dian lebih terpuruk dariku kemarin, dia melihat lembarannya yang penuh dengan coretan merah “Gimana Yan?” tanyaku lembut Dian mengangguk-angguk lalu berkata “64″ lalu dia pergi meninggalkanku begitu saja…

Sesuai janji, pak Saiful mengajakku ke kantin untuk mentraktirku. “Wuuhhhuuuwww…” ucapku dalam hati senang.
Rasanya ini hikmah dari semua sikapku yang selalu terlalu menyepelekan bahasa inggris ketika ujian. Dan sekarang aku sadar Tertawa dan menangis itu sepasang. Kemarin aku pulang dengan derai air mata, sekarang aku pulang dengan gigi yang hampir kering karena kubuka terus mulutku ini untuk tersenyum-senyum sepanjang jalan :D

Cerpen Karangan: Fitri Melani

Nostalgia 17 Agustus.
Pagi ini langit begitu cerah mendukung suasana hari. Ya, hari ini 17 Agustus 2013 hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68 tahun. Terlihat banyak anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak semua berkumpul di depan mushola Al-Hidayah. Kebetulan disana ada tanah cukup luas. Dengan penuh antusias mereka ikut serta memeriahkan acara tujuh belasan yang diadakan oleh pak RT Eri.
Dengan semangat penuh anak-anak kecil mengikuti lomba-lomba. Melihat mereka, aku jadi teringat waktu aku seusia mereka. Ya sekitar 9 – 11 tahun lah. Saat itu aku bersama teman-temanku. Ada Elsa, Tri, aku dan lainnya, berada di tempat itu di depan mushola Al-Hidayah.
“Kiki ikutan lomba joget balon yuk” ajak Tri kepadaku.
“ayuk” aku mengiyakannya.

Aku dan Tri mengikuti lomba joget balon. Tapi belum berapa lama lomba joget balon dimulai balon ku terbang. Haha.. Gugurlah kami.
Kami juga mengikuti lomba-lomba yang lain seperti lomba makan kerupuk, masukkin benang ke jarum, lomba kelereng dan lainnya. Tapi sayangnya aku gak menang. Yah itulah kompetisi ada yang menang dan kalah.
Saat ini usiaku hampir 18 tahun sementara temanku 19 – 20 tahun. Aku memang paling kecil di antara mereka dan aku merindukan masa-masa itu.
Sekarang mereka berubah. Sibuk dan melupakan masa kecil kami. Saat ini teman kecilku hanya tersisa 1 yaitu Tri. Ya walaupun dia sibuk tapi dia masih memingatku dan masa kecil kami. Kami masih suka main walaupun jarang. Kami juga suka bernostalgia tentang masa kecil kami. Tapi itu akan lebih menyenangkan bila kita berkumpul seperti dulu bersama bernostalgia.
THE END
Cerpen Karangan: Nurhikmah Hakiki





Tidak ada komentar:

Posting Komentar